Pernahkah kawan-kawan sekalian membayangkan hidup di negara yang masih terjajah hingga kini? Terlebih saat memasuki bulan Ramadan yang sudah sepatutnya setiap umat Islam seluruh dunia menyambut dengan penuh kegembiraan—khusyu’ dalam setiap peribadatan, menyantap menu berbuka dan sahur yang dihidangkan di atas meja dengan obrolan ngalor ngidul dalam suasana keakraban keluarga tanpa harus takut akan adanya percikan api di atas atap gedung ataupun rumah mereka.
Pernahkah kawan- kawan membayangkan—bagaimana harus memupuk keberanian untuk sekadar memberitahu para Zionis bersenjata lengkap bahwa mereka telah mengambil tanah, membunuh rakyat sipil dan menghancurkan masa depan anak-anak?
Pernahkah kawan-kawan membayangkan—bagaimana susahnya anak-anak di Palestina belajar sambil dagang sayuran dan buah-buahan untuk sekadar membeli menu berbuka buat keluarga mereka dalam suasana yang mencekam?
Ada sebuah lagu yang dinyanyikan oleh Micheal Heart dengan kutipan terjemahan liriknya seperti ini, “kau boleh hancurkan masjid kami, rumah kami dan sekolah kami tetapi semangat kami tak akan pernah hilang dan kami tak akan menyerah” Lagu tersebut tak hanya menjadi gambaran perlawanan bangsa Palestina atas Zionis Israel. Namun menjadi teguran bagi bangsa-bangsa lainnya bahwa apa yang terjadi pada Palestina bukan hanya tragedi agama melainkan kemanusiaan. Upaya Zionis Israel untuk menghancurkan entitas Islam di Palestina tak hanya menelan korban dari umat Islam pun dari agama lainnya.
Masih terpatri dalam ingatan pun menjadi hal yang paling menyanyat hati kita ialah saat rudal-rudal Israel terus menggempur wilayah Palestina dalam suasana menyambut Ramadan. Begitu pemberitaan media arus utama yang sampai pada kita walaupun jarak nan jauh pun waktu yang berbeda. Tentu ujian bangsa Palestina memasuki Ramadan sangatlah berat, tak hanya sekadar menahan lapar dan haus—namun harus berkompromi dengan stok makanan dan minuman—pun menjaga diri dari serangan yang tiba-tiba datang saat beraktivitas atau menjalankan ibadah bersama.
Saya teringat pada seorang filsuf, aktivis dan kritikus kebijakan Amerika Serikat—Noam Choamsky—yang berkali-kali mengkritik Israel dan menganggap tindakan Israel adalah noda hitam dan kejahatan terbesar dunia abad 21. Bahkan ketakutan Israel terhadap Choamsky sampai pada larangan filsuf tersebut memasuki daerah Palestina pada tahun 2010 silam. Namun upaya Choamsky untuk sampai dan melihat langsung daerah jajahan Zionis Israel membuahkan hasil pada tahun 2012 saat menghadiri dan menjadi pembicara dalam forum konferensi di Universitas Islam Gaza—dengan tegas dia menyatakan bahwa blokade Israel di jalur Gaza harus terhenti dan bangsa Palestina harus merdeka bebas dari jajahan Israel.
Tak hanya mengkritik Israel, Choamsky pun mengecam Amerika sebagai negara adikuasa yang memiliki kekebalan hukum terhadap setiap tindakannya yang juga diwariskan kepada sekutu dan klien-kliennya. Choamsky hanya menjadi salah satu dari ilmuwan Amerika yang menentang diamnya Amerika serta ganasnya Zionis Israel terhadap bangsa Palestina. Terlebih saat Amerika—Presiden Trump—mengakui bahwa Yerussalem menjadi wilayah kuasa Israel di tengah kecaman dunia atas invasi dan penjajahan yang terjadi di negeri para nabi tersebut.
Jika kembali mengingat sejarah, Palestina adalah negara pertama yang mengakui kedaulatan NKRI bahkan sebelum Indonesia merdeka secara de jure ( pengakuan dari negara-negara lain ) melalui seorang Mufti besar Palestina. Beliau ini juga yang mengajak negara-negara Islam lainnya untuk mengikuti jejaknya—untuk mendukung kemerdekaan Indonesia—di tengah bangsa Palestina melawan Imperialis dan Zionis Israel yang ingin menguasai kota Al-Quds. Ada sebuah solidaritas yang tak hanya didasari pada kesamaan agama—mayoritas Islam—namun juga penolakan terhadap berbagai bentuk penjajahan yang menghilangkan harkat, martabat dan nilai-nilai kemanusiaan.
Tak lama berselang sang revolusioner dan proklamator indonesia—Bung Karno pada tahun 1962 juga turut memberi dukungan terhadap bangsa Palestina. “Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itu Indonesia menentang penjajahan Israel.” Begitulah kira-kira yang disampaikan presiden pertama RI dalam catatan sejarah atas upaya mengikat tali persaudaraan atas bangsa Palestina.
Ada sebuah momentum pada hari Jumat terakhir bulan Ramadan yang digagas oleh Imam Khomeini untuk mengingatkan seluruh umat manusia guna menentang penjajahan Zionis Israel atas palestina yang terjadi hingga kini yang disebut sebagai hari Al-Quds Internasional yang tak hanya diperingati oleh umat Islam di seluruh dunia melainkan seluruh umat manusia yang hatinya tergerak dan mengutuk segala tindakan Zionis Israel.
Maka hari Al-Quds menjadi aksi solidaritas—menyuarakan dukungan kita terhadap kemerdekaan bangsa Palestina dan mengecam tindakan Israel yang menginvasi dan membunuh rakyat sipil, pun menentang segala dukungan Amerika terhadap sekutunya tersebut.
Al-Quds day pada hari Jumat tertanggal 31 Mei bulan Ramadan adalah upaya merawat ingatan kita terkhusus para pemimpin dunia bahwa masih ada bangsa yang terjajah hingga kini.