Jangkar kapal sudah diangkat dari dasar laut dan layar-layar kapal mulai terkembang. Rombongan Kerajaan Majapahit siap untuk berangkat ke negeri yang letaknya di ujung Pulau Sumatera, Samudera Pasai. Di antara ratusan orang yang tergabung dalam rombongan tersebut, ada satu wanita yang hatinya berbunga-bunga. Dia putri Majapahit yang bernama Raden Galuh Gemerencang, salah satu putri Prabu Hayam Wuruk. Ia tak sabar untuk segera tiba di negeri Pasai. Untuk segera membayarkan rindu yang sudah lama membuncah di dada. Bertemu dengan sang pangeran yang sudah lama namanya terpatri di lubuk hati, Tun Abdul Jalil.
***
Samudera Pasai sedang tidak baik-baik saja. Sultan yang berkuasa saat itu memiliki tabiat lalim dan biadab. Jauh dari syariat Islam yang menjadi dasar negaranya. Keadaan ekonomi sosial rakyat kurang ia perhatikan. Ia sibuk untuk memenuhi nafsu bejatnya yang bak binatang, tak punya akal maupun nurani. Kepada dua putrinya yang sudah beranjak menjadi gadis jelita, Tun Medan Peria dan Tun Takiah Dara, ia menaruh birahi kepada keduanya yang tak lain merupakan darah dagingnya sendiri.
Kelakuan bejatnya diketahui oleh para abdi dalem. Namun, mereka hanya berani kasak-kusuk di belakang sang sultan. Hanya seorang Tun Beraim Bapa, putra sulung Ahmad Malik Az-Zahir yang berani menentang perilaku ayahandanya. Sekuat tenaga ia berusaha melindungi kedua adiknya dari kedhaliman sang ayah. Namun, Sultan Ahmad Malik Az-Zahir malah semakin menjadi keberingasannya. Ia perintahkan orang-orangnya untuk meracuni anaknya yang seharusnya akan meneruskan takhtanya. Tun Beraim Bapa tewas akibat racun tersebut. Tun Medan Peria dan Tun Takiah Dara semakin ketakutan sepeninggal sang kakak yang selama ini menjadi perisai mereka. Akhirnya keduanya memilih bunuh diri dengan minum racun daripada harus menjadi korban kekejian sang ayah.
Tak ada yang berani menentang sultan atas peristiwa tersebut. Semuanya diam, dibungkam oleh Sultan Ahmad Malik Az-Zahir.
***
Jangkar kapal-kapal Majapahit telah diturunkan di Pelabuhan Samudra Pasai. Kapal tersebut sudah merapat berlabuh di Samudra Pasai. Raden Galuh Gemerencang segera turun dari kapal untuk menemui sang pujaan hati yang harusnya kini sudah menunggunya di tepi pelabuhan. Namun, nihil, tak ada Tun Abdul Jalil yang menunggunya. Ah, mungkin kekasihnya tersebut menunggunya di istana. Mungkin kekasihnya tengah menyiapkan kejutan besar untuknya setelah sekian lama tak bersua. Hanya kemungkinan untuk menghibur hatinya sendiri yang sebenarnya kecewa.
Rombongan Majapahit pun berbondong menuju istana yang terletak di ibu kota. Di tengah perjalanan itulah, rombongan Majapahit dicegat oleh orang-orang yang mengaku sebagai kawan terdekat Tun Abdul Jalil. Mereka ingin menyampaikan suatu hal penting kepada Raden Galuh Gemerencang. Sang putri mengiyakan. Mereka berbicara di tenda sementara milik Majapahit yang didirikan di sebuah lapangan.
Orang-orang kepercayaan Tun Abdul Jalil mulai berbicara. Dengan hati yang berat, mereka mengungkapkan bahwa sebenarnya kekasih Raden Galuh Gemerencang sudah tiada. Tun Abdul Jalil mati mengenaskan karena perbuatan keji ayahandanya sendiri.
Ternyata sepeninggal Tun Beraim Putra dan kedua putrinya, kekejian Sultan Ahmad Malik Az-Zahir tak kunjung padam. Kali ini sasaran kekejiannya tak lain ialah putra kandung keduanya, Tun Abdul Jalil. Ia tak rela anaknya tersebut menikah dengan Raden Galuh Gemerencang. Ternyata Sultan Ahmad Malik Az-Zahir jatuh hati pada paras ayu kekasih anaknya yang pernah ia temui tempo yang lalu. Sama seperti sebelumnya, ia ingin memiliki Raden Galuh Gemerencang, tak peduli apapun caranya bahkan menghabisi anaknya sendiri akan ia lakukan untuk memenuhi hasratnya. Maka, ia menyusun sebuah siasat yang amat keji. Pada suatu malam, ia memerintahkan orang-orang kepercayaannya untuk menghabisi nyawa putranya. Tun Abdul Jalil mati mengenaskan. Ia tak dikuburkan dengan baik, jasadnya pun ditenggelamkan ke dasar lautan.
Langit Raden Galuh Gemerencang pun runtuh. Hatinya teriris mengetahui sang tambatan hati telah tiada dengan cara yang mengenaskan. Ia tak bisa membayangkan bagaimana rasa sakit yang ditanggung oleh kekasihnya tersebut. Hatinya pilu setiap kali membayangkan kekejian yang diterima Tun Abdul Jalil hingga nyawanya tiada. Keesokannya, Raden Galuh Gemerencang bersikeras untuk mendatangi laut tempat jasad Tun Abdul Jalil ditenggelamkan. Tak ada satu pun yang bisa mencegahnya. Sesampainya di tempat terakhir Tun Abdul Jalil, ia meminta semua pengawal dan dayang meninggalkannya sendirian di tempat tersebut. Ia menangis hebat. Air matanya tak bisa dibendung lagi. Keputusannya pun telah bulat. Ia ingin menemani Tun Abdul Jalil yang kini sendirian di dasar lautan. Ia tak tega kekasihnya kesepian di sana. Maka, ia pun menjeburkan dirinya ke dasar lautan. Untuk membayar utang rindu dan menemani kekasihnya di keabadian yang tak sempat bisa bersatu di dunia fana.
(Disarikan dari catatan sejarah dari abad ke -14 berjudul Hikayat Raja Pasai)
BACA JUGA Keumalahayati, Inong Balee, dan Akhir Tragis Cornelis de Houtman dan tulisan Annisa Herawati lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.