Akhirnya, hari raya Idul Fitri tiba. Bagi yang sudah maksimal dalam beribadah, sudah selaiknya merayakan momen kemenangan setelah satu bulan penuh menahan hawa nafsu—termasuk juga lapar dan haus. Setelah ini harapannya adalah kita semua menjadi manusia yang lebih baik lagi dan berguna bagi orang di sekitar.
Hal tersebut juga berlaku untuk semua orang, kita semua—termasuk saya. Persis seperti apa yang pernah dikatakan oleh Gus Dur bahwa, “Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.”Berkaca dari hal tersebut, semoga kita bisa menjadi sosok yang baik bagi sesama.
Selain ibadah secara vertikal (kepada Tuhan) yang biarkanlah menjadi rahasia antara Tuhan dengan pribadi masing-masing—yang tidak perlu diperlihatkan di media sosial apalagi untuk pamer—banyak ibadah yang dilakukan di bulan Ramadan berpotensi jarang muncul kembali di bulan berikutnya. Misalnya bagi-bagi takjil di pinggir jalan atau sahur on the road yang memang biasanya dilakukan sambil membagi makanan pada orang yang membutuhkan. Saran saya sih, kenapa tidak dilakukan secara berkala agar konsistensi dalam membantu orang yang membutuhkan tetap terlaksana dengan baik sekalipun dilakukan setelah bulan Ramadan.
Saat hari raya Idul Fitri, sudah menjadi bagian dari budaya kita semua saling bermaaf-maafan—merajut kembali tali silaturahim yang terputus atau sempat berkendala pada proses komunikasinya. Hal tersebut diharapkan menjadi penyemangat bagi kita semua yang mungkin tanpa atau dengan sengaja pernah saling menyakiti.
Harapannya demikian, sampai akhirnya saya mengalami sendiri—setelah dengan mesranya saling memaafkan, beberapa hari kemudian malah saling berdebat kembali. Bahkan kata maaf yang sebelumnya mudah diucap dan dikirim via chat saat lebaran, seakan sulit dan berat sekali disampaikan setelah momen lebaran.
Konflik dan masalah memang sudah menjadi suatu kesatuan bagi manusia yang merupakan makhluk sosial dan sulit dipisahkan. Namun, salah satu hikmah yang didapat dari bulan Ramadan dan lebaran dalam hal saling memaafkan seakan sulit diterapkan. Padahal sebelumnya seakan murah dengan hanya mengandalkan kuota atau biaya SMS yang tidak sampai 500 rupiah.
Tangisan selama berjabat tangan pun pemandangan yang biasa saya lihat saat lebaran, namun setelahnya seringkali romansa tersebut memudar dan akhirnya kembali ke tabiat asal. Suka marah-marah, kembali melakukan ghibah tentang orang yang baru saja dimaafkan. Jika sudah seperti itu, ke mana hikmah lebaran pergi? Di mana sifat sabar yang tertanam selama berpuasa?
Berkaitan dengan itu, saya makin memahami bahwa manusia itu tidak ada yang berubah antara sifat dan sikapnya, melainkan memang seperti itu (karakter) aslinya—hanya saja baru dimunculkan saat momen tertentu.
Saya pikir berpuasa adalah tentang bagaimana kita belajar dan mengendalikan hawa nafsu yang ada pada diri setiap individu. Jika memang setelahnya kembali menyakiti orang lain baik secara verbal maupun fisik, gampang mengkafirkan orang lain, bertakbir sambil mengancam membunuh, apakah latihan selama satu bulan penuh dianggap gagal? Jika termasuk ke dalam salah satu ujian hidup, sebaiknya kita semua segera ikut remedial yang tersedia.
Kendati demikian, saya percaya apa yang sudah dilakukan juga diusahakan tiada percuma. Selain pahala dan amal baik yang sudah dicatat, pasti ada hal baik yang bisa dipertahankan. Jadi terbiasa membantu sesama dengan cara memberi—misalnya karena sudah terbiasa berbagi santapan takjil dengan orang lain di transportasi umum saat waktu berbuka tiba.
Seperti apa yang ditampilkan di salah satu iklan dengan jargon, “mulai dari nol ya” sudah sebaiknya kita pun dapat merealisasikan hal tersebut. Kembali suci—kembali ke fitrahnya sebagai manusia yang butuh bersosialisasi dan tetap menjalin hubungan baik dengan yang lain.
Semoga setelah ini perpecahan yang diakibatkan perbedaan pandangan politik dapat menjadi satu kembali—romansa antara cebong dan kampret dapat diakhiri—tidak hanya di hari yang fitri tapi juga sampai dengan kemudian hari. Seperti kata orang bijak—merasa pintar itu baik, tapi lebih baik pintar merasa.
Atas latihan kesabaran selama satu bulan terakhir dengan segala tingkat ujiannya, semoga sifat pembenci bisa kita hilangkan meski pada akhirnya itu hanya akan menjadi pilihan (masing-masing).