Saat masih duduk di bangku SD hingga SMA, guru sejarah saya, ketika menerangkan tentang agama asli penduduk Jawa Kuno atau lebih luas lagi penduduk Nusantara, selalu menyebut animisme-dinamisme, yaitu kepercayaan terhadap roh nenek moyang serta kepada kekuatan gaib yang bersemayam pada benda-benda tertentu, seperti batu-batu besar, pohon-pohon besar, dan benda-benda bertuah. Agama Kapitayan tidak pernah dijelaskan.
Penjelasannya selalu singkat, tanpa dirinci dari mana kepercayaan itu berasal, bagaimana cara peribadatannya atau tambahan penjelasan yang lain. Tentu saja saya dan juga teman-teman yang lain, bahkan mungkin seluruh pelajar se-Indonesia kala itu hanya bisa mengira-ngira seperti apa ajaran animisme-dinamisme tanpa memiliki gambaran konkret.
Celakanya, penjelasan dalam buku pelajaran juga sesingkat penjelasan guru. Sulit bagi kami untuk menambah referensi pengetahuan terkait agama asli penduduk Jawa Kuna.
Baru setelah informasi dapat diperoleh dengan mudah melalui jaringan internet, pertanyaan yang bertahun-tahun tersimpan dalam kepala akhirnya dapat terjawab. Berikut informasi tentang agama asli penduduk Jawa Kuna yang saya kumpulkan dari berbagai sumber.
P. Mus dalam bukunya yang berjudul L’inde vue de L’Est. Cultes Indiens etindigenes au Champa, menyebutkan bahwa kepercayaan yang diyakini masyarakat Jawa termasuk juga penduduk yang tinggal di wilayah India, Indo Cina, kepulauan Nusantara hingga Pasifik ternyata tidak sesederhana yang disampaikan guru-guru sejarah saya, yaitu animisme-dinamisme, melainkan merupakan agama kuna yang disebut Kapitayan.
Mengenal agama Kapitayan  Â
Agama yang disebut Kapitayan telah dianut dan dijalankan turun temurun semenjak Asia Tenggara termasuk Kepulauan Nusantara dihuni ras Proto Melanesia hingga kedatangan ras Austronesia.
Pembawa dan penyebar agama Kapitayan ini menurut keyakinan para penganutnya adalah Danghyang Semar, keturunan Sanghyang Ismaya yang berasal dari Lemuria yakni sebuah benua yang tenggelam karena diterjang banjir besar yang membuat Semar bersama kaumnya mengungsi ke Pulau Jawa. Kisah ini selanjutnya banyak dihubungkan dengan banjir besar yang terjadi pada masa Nabi Nuh.
Selain Semar ada juga saudaranya yang bernama Togog (Sang Hantaga) yang tinggal di luar Jawa dan juga mengajarkan agama Kapitayan namun dengan tata cara yang sedikit berbeda. Satu lagi saudara Semar yaitu Sang Manikmaya yang tinggal di alam gaib atau ka-hyang-an.
Agama yang disebut Kapitayan ini memuja tuhan yang mereka sebut Sanghyang Taya. Makna dari kata Taya adalah Suwung, Kosong, Hampa dan tidak bisa dipikir, dibayangkan serta dideteksi dengan pancaindra.
Sanghyang Taya diasosiasikan memiliki sifat Tu atau To yang terdiri atas dua sifat yakni kebaikan dan ketidakbaikan. Tu dipercaya tersembunyi dalam berbagai benda yang mengandung kata Tu seperti watu (batu), tu-ngkub (bangunan suci), tu-nda (bangunan berundak), tu-k (mata air), tu-mbak (jenis lembing), tu-nggak (batang pohon) serta yang lain.
Dalam pemujaannyapun juga digunakan sesajen yang mengandung kata tu, seperti tu-mpeng, tu-mpi (kue dari tepung), tu-ak (arak), tu-kung (sejenis ayam), tu-mbu (tempat bunga) serta yang lain.
Tata cara pemujaan agama Kapitayan Â
Cara pemujaan yang dilakukan para penganut Kapitayan ini berbeda antara masyarakat awam dengan para ruhaniawan. Untuk menyembah Sanghyang Taya, masyarakat awam biasanya mempersembahkan sesajen di tempat-tempat keramat. Sedang para ruhaniawan melakukan pemujaan di tempat khusus bernama sanggar yang berupa bangunan beratap tu-mpang yang memiliki tu-tuk (ceruk pada dinding).
Tata cara bersembahyang yang dilakukan para ruhaniawan diawali dengan tu-lajeg (berdiri tegak) tepat ke arah tu-tuk (ceruk) dengan tangan diangkat untuk memanggil Sanghyang Taya agar bersemayam dalam Tu-tud (hati). Setelah Sanghyang Taya dirasakan sudah hadir dalam Tu-tud, kedua tangan lantas bersedekap tepat di hati yang disebut swa-dikep.
Usai melakukan tulajeg dalam waktu yang cukup lama disusul dengan posisi tu-ngkul (membungkuk dengan mata memandang ke bawah) yang juga dilakukan dalam waktu relatif lama. Selanjutnya membuat posisi tu-lumpak (duduk bersimpuh dengan menduduki kedua tumit) dan diakhiri dengan posisi to-ndem (bersujud seperti janin dalam perut).
Proses beribadah yang dilakukan tersebut berlangsung lebih dari satu jam dan dilakukan dengan segenap rasa dengan tujuan untuk menjaga keberadaan Sang Hyang Taya agar tetap bersemayam dalam tu-tud (hati).
Demikian sedikit penjelasan tentang agama asli penduduk Jawa Kuno yang disebut Kapitayan beserta tata cara beribadah yang oleh banyak orang dikenal dengan sebutan animisme-dinamisme. Padahal, pada dasarnya, pemeluk Kapitayan bukan menyembah nenek moyang maupun roh melainkan kepada Tuhan yang mereka sebut Sang Hyang Taya.
BACA JUGA Filsafat Hidup Orang Cina Ternyata Mirip sama Orang Jawa atau tulisan lainnya di Terminal Mojok.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.