Beberapa tahun terakhir ini, banyak pemerintah daerah yang membuat kebijakan, yang bagi saya kurang logis, yaitu melarang warung makan buka di siang hari bulan Ramadan. Halooo, ada enam agama yang diakui di Indonesia, Cuy! Dikira ini negara milik orang muslim doang apa? Saya sebagai orang muslim juga tidak setuju dengan kebijakan tersebut.
Kami yang muslim saja, itu juga tidak semua umat kami wajib melaksanakan puasa. Pasalnya, kalau ada di antara kami yang sedang haid, hamil, menyusui, orang tua yang sudah tidak mampu berpuasa, atau musafir (sedang melakukan perjalanan), kan tidak wajib berpuasa. Seharusnya, di samping ingin menghormati umat muslim yang wajib berpuasa, juga harus menghormati umat muslim yang menjalani rukhsoh tersebut, dong.
Kalau ada pertanyaan dan sanggahan, emang nggak bisa ya, mereka yang nggak wajib puasa itu masak sendiri di tempat tinggal masing-masing? Mohon maaf nih, nggak semuanya bisa!
Begini, ya. Contoh, nih, saya tinggal di pesantren. Di pesantren saya, tidak boleh masak sendiri di dapur pesantren. Kalau para santri sedang haid, jelas jadi kebingungan dong mau makan di mana. Akhirnya, satu-satunya yang bisa diharapkan ya cuma makan di warung.
Kami sebagai konsumen di siang bolong di hari Ramadan juga tetap mikir kok. Kalau mau masuk warung dekat asrama, pasti bakal celingak-celinguk dulu lihat keadaan. Biar pun kami sedang menjalani rukhsoh, kami juga tetap menghormati orang-orang di sekitar yang sedang menjalankan ibadah puasa. Toh, kami juga nggak makan di warung. Makanannya kami bungkus dan dimakan di dalam asrama. Itu pun, saat kami makan bakal mengusahakan menghindar dari teman-teman lain yang sedang puasa. Kurang menghormati apa coba?
Tidak hanya santri aja, sih. Begitu juga dengan anak kos, misalnya. Saya yakin tidak semua bisa mengusahakan untuk memasak di tempat tinggal masing-masing. Jadi wajar saja kalau di dekat area pesantren atau kos itu banyak warung tetap buka. Lantas, apa salahnya warung-warung makan itu tetap buka dengan ditutup tirai, kain, atau koran di etalase kaca? Saya kira itu sudah cukup kok, buat menghormati yang berpuasa.
Saya setuju dengan ceramah Emha Ainun Najib a.k.a Cak Nun, yang kurang lebih mengatakan, “Kita berpuasa untuk menghormati orang lain, bukan untuk dihormati orang lain. Gunanya puasa itu untuk belajar bisa menghormati orang, bukan malah minta dihormati. Hanya orang yang tidak terhormatlah yang minta penghormatan orang lain.”
Misal ada sanggahan lagi yang bilang: Tapi biasanya warung makan yang buka dan ditutupi dengan tirai itu, di dalamnya malah berisi orang-orang muslim yang tidak sedang menjalani rukhsoh, Kak. Kan sama saja menyediakan fasilitas buat orang yang melanggar aturan Tuhan?
Mbok ya dibalik. Kenapa mikirnya nggak yang husnuzan aja gitu. Warung makan yang buka di siang hari saat Ramadan itu buat meringankan orang-orang yang sedang menjalani rukhsoh. Wong ya, adanya rukhsoh itu juga aturan dari Tuhan, kok.
Lalu, apa ya nggak mikir kalau pemerintah membuat kebijakan menutup warung tersebut, malah menurunkan citra umat muslim? Nanti dikira intoleran sama non muslim, dikira nggak tahan godaan puasa sendiri, dikira imannya lemah. Wkwkwk.
Alternatif saja, sih. Buat kalian yang ingin buka warung makan untuk kebutuhan ekonomi dan supaya terhindar dari adanya orang-orang yang tidak berpuasa tanpa alasan tersebut, mungkin bisa di depan warung kalian yang sudah ditutupi tirai tersebut ditulis, “Maaf, hanya untuk non muslim dan muslim yang sedang menjalani rukhsoh untuk tidak puasa.” Gitu.
BACA JUGA Esai-esai Terminal Ramadan Mojok lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.