Jika kebetulan sedang pulang kampung, saya selalu menyempatkan diri untuk ziarah ke makam tiga tokoh yang bagi saya memiliki andil besar dalam pembangunan peradaban kota Lasem. Makam-makam tersebut yaitu makam Sunan Bonang di desa Bonang, makam Adipati Wirabraja (adipati pertama Lasem), dan makam Adipati Wiranegara (adipati kedua Lasem) yang terletak di Lohgading-Sriombo.
Kebiasaan saya tersebut ternyata mendapat respons kurang enak dari beberapa kawan saya yang notabene adalah anak-anak pesantren. Bagi mereka, hanya ziarah ke makam Sunan Bonang lah yang paling tepat. Sebab, Sunan Bonang adalah tokoh ulama yang mendedikasikan hidupnya untuk mengenalkan ajaran Islam di bumi Lasem.
Sementara itu mereka agak sangsi dengan kebiasaan saya ziarah ke makam Adipati Wirabraja dan Adipati Wiranegara. Alasannya, dua tokoh ini sudah hidup dan berkiprah sejak Lasem masih menjadi salah satu negara vasal Majapahit. Mereka kemudian menyimpulkan, berarti dua adipati Lasem ini masih memegang teguh Hindu.
Nah, ini yang mereka permasalahkan. Masa orang Islam—lebih khusus saya yang alumni pesantren—ziarah ke makam orang Hindu? Kata mereka, akan lebih baik jika saya ziarah ke makam-makam ulama yang jelas-jelas memiliki peran dalam dakwah Islam di bumi Lasem. Wah, tudingan ini perlu sedikit diluruskan.
Sebenarnya saya bisa saja menjawabnya dengan pendekatan teologis atau tasawuf. Tapi, kayaknya lebih urgen untuk dijawab dalam konteks historis Islamisasi Lasem saja. Semoga sedikit membuka kesadaran mereka untuk melek terhadap sejarah leluhur mereka sendiri.
Baik, mari kita mulai.
Ngomongin soal Lasem sebenernya bisa sangat panjang, tapi secara ringkas kurang lebih bisa disimpulkan bahwa Lasem merupakan satu di antara sekian banyak negara atau kerajaan bawahan Majapahit. Di pesisir utara, dulunya Lasem dan Tuban menjadi bandar perdagangan besar di pesisir utara yang menghubungkan antara Jawa dengan Champa. Persinggungan dengan orang-orang Champa yang mayoritas beragama Islam inilah yang disinyalir menjadi gerbang awal masuknya gelombang islamisasi di Lasem.
Dalam naskah Carita Lasem gubahan R.M. Panji Khamzah disebut, gelombang pertama ini terjadi pada 1413. Waktu itu sekelompok awak kapal Laksamana Cheng Ho yang dipimpin oleh Bi Nang Un meminta izin kepada Pangeran Wijayabadra untuk menetap di Lasem.
Pangeran Wijayabadara adalah putera dari Pengeran Badra Wardhana yang merupakan putera dari penguasa Lasem, Bhre Lasem V Duhitendu Dewi (ada yang menyebut Rajasadhuhita Indhudhewi), yang tidak lain adalah puteri mahkota Bhre Pandan Salas, penguasa Majapahit sebelum Bhre Kertabhumi (Brawijaya V).
Singkat cerita, izin menetap diberikan. Sebagai hadiah, Bi Nang Un kemudian memberikan Bi Nang Ti, puterinya, untuk diambil istri oleh Pangeran Wijayabadra.
Dari pernikahan tersebut, keduanya dikaruniai seorang anak bernama Pangeran Badra Nala. Pangeran Badra Nala inilah yang kemudian menurunkan Pangeran Wirabraja, adipati pertama Lasem.
Ketika masa kekuasaan Bhre Pandan Salas berakhir, maka berakhir juga kekuasaan Bhre Lasem V atas Kerajaan Lasem yang berpusat di Istana Kriyan (Ada yang menyebut Sumbergirang). Hal tersebut lantaran kebijakan dari pemerintah pusat untuk menghapus Lasem dari bagian negara vasal Majapahit.
Satu tahun setelah lenyapnya Kerajaan Lasem, pada 1469 Pangeran Wirabraja menginisiasi berdirinya Kadipaten Lasem. Atas wasiat dari sang ayah, Pangeran Badra Nala, dia kemudian memindahkan pusat pemerintahan dari Kriyan ke Bonang. Bahkan sang ayah meminta agar Pangeran Wirabraja membebaskan masyarakatnya untuk memeluk Islam. Seperti yang terekam dalam naskah Carita Lasem berbunyi:
“… Supaya enggal pindhah yasa dalem kadipaten ring Bonang bumi Binangun lan nglegakno kawulane padha ngrasuk agama rasul “ (… Segera pindahkan pusat kadipaten ke Bonang-Binangun dan memberi keleluasaan pada rakyat untuk memeluk agama rasul, yaitu Islam).
Pada masa pemerintahan Adipati Wirabraja, persebaran Islam di Lasem bisa dibilang belum terlalu masif. Adipati Wirabraja hanya memberi keleluasaan masyarakat dalam urusan beragama, tapi belum ada model dakwah terpusat.
Beberapa orang menyebut bahwa Pangeran Wirabraja belum Islam. Tapi, beberapa yang lain meyakini waktu itu dia sudah memeluk Islam. Hal tersebut diperkuat dengan fakta kedekatannya dengan Sunan Ampel jauh sebelum Kadipaten Lasem berdiri. Bahkan, sang putera mahkota, Pangeran Wiranegara, dikirim ke Ampel Denta untuk menimba ilmu dari Sunan Ampel. Di Ampel Denta, Pangeran Wiranegara dikenal dekat dengan putra Sunan Ampel bernama Makdum Ibrahim, yang kelak dikenal dengan gelar Sunan Bonang.
Sepeninggal Adipati Wirabraja pada 1474, tampuk kekuasaan kemudian jatuh ke tangan Adipati Wiranegara. Di bawah kekuasaannya, Islam ditetapkan sebagai agama resmi kadipaten. Untuk memperkuat kedudukan Islam di Lasem, Adipati Wiranegara sampai harus mendatangkan sahabatnya, Makdum Ibrahim, untuk mengajar di Bonang. Dari sinilah asal-usul gelar Sunan Bonang yang dia sandang.
Bahkan sebelum itu, untuk memperkuat jalinan ukhuwah Islamiyah, Adipati Wiranegara sudah menempuh langkah diplomatis dengan menikahi kakak dari Sunan Bonang, yaitu Nyai Ageng Maloka. Pada masa inilah agama Islam berkembang cukup pesat.
Sepeninggal Adipati Wiranegara pada 1479, Nyai Ageng Maloka kemudian menyerahkan sepenuhnya bangunan kadipaten di Bonang kepada Sunan Bonang untuk dikelola sebagai pesantren. Sementara Nyai Ageng Maloka memindahkan pusat pemerintahan ke Cologawen (Cologowok-Soditan). Dalam meneruskan pemerintahan, Nyai Ageng Maloka dibantu oleh Pangeran Santhipuspa hingga wafatnya pada 1490 dan dimakamkan di Caruban, Lasem.
Dengan rangkaian penjelasan tersebut saya mau menegaskan bahwa tegaknya Islam di bumi Lasem dan banyaknya pesantren yang berkembang sampai hari ini secara genealogis sebenarnya nggak bisa dipisahkan dari peran Adipati Wirabraja dan Adipati Wiranegara. Para ulama setelah era mereka bisa dibilang tinggal meneruskan.
Adipati Wirabraja meletakkan fondasi dasarnya berupa kelonggaran memeluk Islam. Sementara Adipati Wiranegara, Nyi Ageng Maloka, dan Sunan Bonang merancang aktivitas dakwah terpusat yang kemudian ditempatkan dalam satu wadah bernama pesantren
Justru harusnya saya yang sangsi, kok bisa ada orang yang ngaku santri Lasem, tapi nggak memberi penghargaan sama sekali kepada para tokoh inisiatornya?
BACA JUGA Manusia yang Eksploitatif Adalah Manusia yang Kegeeran dan tulisan Aly Reza lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.