Sudah puluhan tahun kita terjebak dalam pertimbangan moralitas perihal acara gosip. Dari aspek aksiologi, dipersempit lagi ke dalam ranah etika, acara gosip memang diserang begitu hebatnya. Satu sisi memang nggak baik, di sisi lainnya kita seakan menciptakan sebuah ekosistem baru bahwa kehidupan publik figur, ada di puncak “rantai makanan” konsumsi hiburan dari masa ke masa.
Kemiskinan nilai sudah digaungkan sejak dulu. Sebagian orang memang menganggap acara gosip ini nggak penting sama sekali. Mengetahui sisi kehidupan orang lain, mengorek kesedihan para pelaku hiburan, sampai hal ndagel seperti pola hidup mereka. Perihal itu memang terlihat wagu untuk dilihat. Tapi percayalah, beberapa orang sangat terhibur kala publik figur idolanya bahagia atau bahkan tertimpa masalah.
Celah-celah ini yang dimanfaatkan oleh oknum di dunia selebrita. Mulai dari membuat berita palsu, mempublikasikan sebuah berita bohong mengenai sebuah hubungan atau bahkan pernikahan. Kita diajak melihat seorang pria lompat dari helikopter seperti monyet hanya untuk ketenaran. Kita mengamini dengan cara meningkatkan traffict si orang ini.
Mutualisme antara hal-hal bodoh ini menjadikan acara gosip makan besar tiap malam. Acara-acara dengan nama belati tajam pun menjadi primadona. Dari acara pagi, siang, sore, hingga jam prime time pun hadir silih berganti. Padahal, kalau mau jujur-jujuran, isi beritanya sama saja. Perceraian, gosip rumah tangga retak, atau seorang publik figur yang mengajak kameramen mengitari rumah mewahnya.
Itu satu dekade yang lalu. Kala saya harus beradu argumen dengan Ibu saya antara acara gosip pagi atau Spongebob. Berebut antara acara gosip siang melawan Si Bolang. Ya, lagi-lagi, perebutan antara acara gosip sore atau serial kartun Hey Arnold. Di atas, adalah gambaran nyata dari acara gosip tahun 2000an sampai menjelang 2015.
Apakah setelah itu semua mereda? Oh, tentu saja makin parah. Selain terjebak dalam ranah moralitas, acara gosip kini terjebak dalam hal yang lebih memilukan, yakni kemalasan dalam mengolah konten-kontennya. Bagaimana kemalasan ini bisa terjadi? Mari kita bahas pelan-pelan.
YouTube datang seiring dengan menambahnya ponsel pintar di Indonesia. Dahulu, musuh utama YouTube bukan dari segi konten para penggunanya, melainkan kuota para penikmatnya. Kini, menjelang dekade yang baru, rasanya di kota-kota besar, kuota bukan lagi sebuah masalah. Kita bisa mendapatkan 100GB dengan ongkos Rp 100 ribu. Sebuah angka yang lebih pantas ketimbang 1GB, Rp50 ribu.
YouTube menjadi hal yang amat memikat setelah sekitar tahun 2013 mereka menyediakan fitur adsense, ketika si pengguna kanal YouTube dibayar oleh pihak developer. Tentunya, syarat dan ketentuan berlaku. Salah satunya ya, banyaknya orang yang mengikuti. Kita bisa melihat para YouTuber bersimbah darah guna mendapatkan massa, sedangkan para artis datang, membawa basis fansnya, angka 100 ribu subscriber tidaklah seberapa.
Para artis yang nyemplung di YouTube dan melakukan monetisasi, bukan masalah. Hitungan hari sudah direngkuh dengan sempurna. YouTube kehilangan kualitas, dihegemoni oleh kuantitas. Para artis, tiap hari harus ada video yang tayang. Kontennya? Kehidupan sehari-hari ala mereka. Ya, acara gosip yang dekade lalu marak disajikan layar kaca, kali ini hadir di platform yang lebih ramah kepada penggunanya.
Apa hubungannya artis yang nyemplung ke YouTube dan kemalasan acara gosip masa kini? Jelas sangat berhubungan erat. Acara gosip tidak perlu repot-repot reportase blusukan ke rumah artis lantaran semua yang mereka butuhkan, tersedia di kanal YouTube artis yang akan mereka cari tahu.
Mau cari tahu isi rumah mewah Anang dan Ashanty? Nggak perlu repot-repot datang ke rumah blio lantaran kanal YouTube The Hermansyah A6 sudah menyediakan semua. Mau keluarga Raffi Ahmad? Oh, tenang saja, nggak usah repot-repot atur waktu dengan blio yang sibuk, semua yang mereka cari, sudah ada di Rans Entertainment.
Mencari berita sensasi? Kanal YouTube para artis ini sudah paham apa yang digandrungi oleh fansnya melalui pola acara gosip sedekade yang lalu. Setingan demi setingan, tersedia semua dengan begitu apik.
“JUDUL MENOHOK, KAPITAL SEMUA, DAN TANDA SERU TIGA!!!” adalah tipikal judul ala mereka. Kontennya? Nggak jauh dari seorang pria melamar gadisnya dengan cara lompat dari helikopter seperti seekor monyet.
Ya, begitulah. Tinggal sadur saja video dari YouTube artis yang mereka cari, bubuhkan sumber pranala di pojok kanan bawah, beres. Dubber bercuap-cuap membakar gelora dunia pergunjingan duniawi, urusan visual sudah beres.
Kita seperti masuk dalam sebuah paradoks yang membingungkan. Televisi masuk YouTube, pun sebaliknya. Konten-konten YouTube yang dulunya “nyomot” dari televisi, kini malah terbalik dan berbalik. Hal ini memang nggak menyalahi aturan, tapi kita bisa melihat kualitas YouTube yang terjun bebas, apalagi acara gosip di televisi. Coba, apa bedanya acara gosip dengan kanal YouTuber Kepo?
Bahkan, kanal YouTube macam TnM dan Hirotada Radifan, lebih enak untuk diikuti ketimbang acara gosip yang menunjukkan gaya bicara para host yang super wagu itu. Entah kedepannya bagaimana, yang jelas YouTube sebagai platform favorit berbagi video, sudah menyajikan sampah yang serupa.
BACA JUGA Menghitung Denda Pelanggaran PSBB yang Dilakukan Warga Rawa Bebek dan tulisan Gusti Aditya lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.