Suatu malam saya antara kepengin ketawa dan nangis, ketika mendapati skrinsutan komentar seseorang di Facebook menyebut Gibran Rakabuming Raka mirip Usamah bin Zaid.
“Gibran anak muda hebat. Penuh idealisme dan pekerja keras. Dia pantas jadi kandidat Wali Kota Solo, di luar ia anaknya Jokowi atau bukan. Sayangnya generasi mapan tidak rela. Rada-rada mirip pengangkatan Usamah jadi panglima perang,” demikian katanya.
Tentu siapa saja berhak memirip-miripkan seseorang dengan orang lain. Wartawan-wartawan sepak bola kita kerap menyamakan Egy Maulana Vikri dengan Lionel Messi hanya karena keduanya sama-sama kidal. Teman saya yang pencahayaan di wajahnya agak redup hobi mengaku-ngaku seganteng Aliando. Para wartawan itu tentu saja bermaksud hiperbolis, sedangkan teman saya sekadar bergurau.
Sementara si penyebut Gibran mirip Usamah kelihatan serius dan penuh keyakinan. Saya tidak tahu pasti kenapa ia bisa sepede itu. Mungkin ia memang penggemar fanatik Gibran atau pelanggan Markobar yang nggak mau Gibran dijadikan samsak kritik terus. Kita tahu seorang penggemar fanatik seringkali bicara tanpa mikir dulu. Yang penting ngegas dulu. Kroscek mah belakangan.
Gibran dan Usamah tentu saja beda banget. Selain Usamah nggak pernah jualan martabak, Usamah juga nggak suka aji mumpung. Ketika pada usia 17 tahun Usamah diangkat jadi panglima perang, itu bukan faktor KKN, tapi ya karena memang dia layak mendapat jabatan itu. Ia kuat, saleh, bertakwa, dan bukan kader PDIP.
Lagi pula, panglima perang nggak sama kayak calon wali kota. Panglima perang itu status yang berat. Taruhannya adalah nyawa. Lah, jadi wali kota mah taruhannya apa? Kalo nggak terpilih masih bisa hidup enak. Kalo terpilih untung gede. Jadi, ora nyambung blas memadankan antara Gibran dan Usamah.
Namun itu belum seberapa. Bapaknya Gibran lebih sering lagi disama-samakan dengan sahabat Nabi.
Pada 2018 menjelang panas-panasnya pilpres, Ketua DPP PDIP Bidang Kemaritiman Rokhimin Dahuri mengibaratkan kepemimpinan Jokowi kayak Umar bin Khatab.
“Leadership style atau sytle kepemimpinan Pak Jokowi luar biasa. Karena beliau seperti saya juga, asalnya dari rakyat biasa. Jadi sangat approachable, sangat mudah didekati beliau kemana saja salaman, nggak ada protokoler. Beliau kayak Umar bin Khatab kan selalu datang ke sana ke mari menjemput,” ujar Rokhimin sebagaimana dikutip Detik.
Kalo cuma (konon) dekat sama rakyat dan gampang diajak salaman mah Ketua RT dan Ketua DKM di perumahan saya juga begitu. Kepala Sekolah saya pas SMP dan SMA juga begitu. Bapak saya juga begitu. Apa berarti mereka semua mirip Umar bin Khatab? Waduh, keren banget dong. Ternyata selama ini saya hidup berdekatan dengan orang-orang yang memiliki karakteristik serupa sahabat Nabi yang dijamin masuk surga.
Bukan hanya Rokhimin. Saat membela aksi Jokowi yang blusukan membagikan sembako tempo hari, Politikus PDIP Arteria Dahlan juga menganggap Jokowi mirip Umar. Politikus yang nggak ada akhlak saat berdebat dengan ekonom senior Emil Salim itu bilang begini, “Kalau dalam perspektif keislaman, kita punya (presiden dengan) gaya kepemimpinan egaliter sebagaimana telah dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khatab. Tidak bermaksud menyamakan, tapi ada kemiripan-kemiripan dalam hal kepemimpinan mereka.”
Tidak bermaksud menyamakan, tapi bilang ada kemiripan. Gimana sih, dasar Bambang, eh, Arteria!
Bukan cuma Umar, banyak juga selentingan beredar bahwa Jokowi mirip Abu Bakar Ash-Shiddiq. Konon keduanya sama-sama lembut dan tidak gampang marah kepada rakyat. Soal Abu Bakar saya sepakat. Soal Jokowi yang katanya lembut dan nggak emosian saya juga sepakat. Sebab yang jadi kasar dan gampang marah kan rakyatnya. Yha kebalik atuh, Bro…
Kali lain ada narasi Jokowi mirip dengan Usman dalam hal kedermawanan. Mungkin benar Jokowi suka membantu dan menyumbang. Tapi masak cuma gara-gara dermawan dikit dibilang mirip Usman? Bill Gates dan Cristiano Ronaldo juga suka nyumbang kok. Dengan nominal yang lebih banyak malah.
Tempo hari heboh soal Jokowi bagi-bagi sembako. Momen ketika Jokowi membagi-bagikan sembako kepada warga diliput sedemikian rupa layaknya selebritis. Tentu sama sekali nggak ada salahnya berbagi. Tapi kok ya Bapak Presiden kasihan sekali, bagi-bagi sembako aja harus turun langsung. Memangnya para pesuruhnya pada ke mana, ya? Apa supaya bisa mirip Usman secara kaffah gitu?
Tapi tidak ada yang lebih menakjubkan selain pernyataan Ketua Forum Silaturahmi Guru Ngaji (Fastra Aji) se-Kabupaten Jember, pada 2014 silam.
Pada masa cebong vs kampret edisi perdana itu, KH Fathullah selaku selaku Ketua Fostra Aji berujar, “Ini bukan pemilu bupati, bukan pemilu gubernur, tetapi pemilu untuk memilih pemimpin tertinggi di negeri ini. Untuk itu, diperlukan sosok yang tegas serta mampu menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” lalu ia meneruskan, “kalau boleh dinilai, beliau, Pak Prabowo, adalah Umar-nya Indonesia.”
(((Pak Prabowo adalah Umar-nya Indonesia)))
Kesembronoan orang-orang yang enteng betul mengecap tokoh politik mirip sahabat Nabi tentulah amat disayangkan. Selain ada unsur mengobral agama demi politik, itu juga semacam bentuk pelecehan terhadap para sahabat Nabi yang mulia. Sebab sahabat Nabi sama sekali berbeda dengan para politikus yang gila kekuasaan. Fokus sahabat Nabi itu ya rida Allah, bukan rida ketua partai atau oligarki.
Dalam suatu hadis, Nabi Muhammad bersabda, “Janganlah mencela sahabatku! Janganlah mencela sahabatku! Demi Dzat yang jiwaku berada di genggaman-Nya, seandainya kalian menyedekahkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan dapat menyamai satu mud (sekitar 600-an gram) sedekah mereka; tidak juga setengahnya.”
Wayolooh, sedekah sebesar Uhud aja nggak bakal bikin seseorang setara sahabat Nabi. Lha ini, berani-beraninya menyamakan tokoh politik yang sedekahnya aja belum tentu ikhlas dengan sahabat Nabi. Mbok ya mikir dulu. Barangkali yang benar para politikus itu bukan mirip Abu Bakar atau Umar, tapi mirip Abu Lahab dan Abu Jahal. Barangkali lho ya…
BACA JUGA Rasulullah Iseng Ngeprank? Afwan Akh @Hawaariyyun, Nabi Muhammad Bukan Atta Halilintar dan tulisan Erwin Setia lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.