Memang, di dunia ini tak ada yang abadi, persis seperti apa yang dikatakan Peterpan pada album terakhirnya. Yang ada akan tiada, yang sudah tiada akan ada penggantinya. Namun, hal ini akan sangat bertentangan bila Anda coba mampir ke desa saya di Banyuwangi, tepatnya Desa Kebaman, Kecamatan Srono.
Di desa saya tercinta ini, ada satu keabadian yang mencolok dan membikin risih, yakni masalah sampah. Jika Jogja baru-baru ini menghadapi permasalahan sampah, kami sudah mengalami sejak puluhan tahun yang lalu.
Saking lamanya, sampai kami sebagai warga desa tak tahu kapan pertama kali masalah ini muncul. Tapi apapun itu, masalah ini jelas sangat merugikan. Bahkan, jika seluruh elemen, baik warga maupun sang empunya wewenang di Banyuwangi tak segera ambil solusi, masalah ini akan kian membesar seiring berjalannya waktu.
Daftar Isi
Dampak dosa sampah di Desa Kebaman, Banyuwangi
Jangankan untuk kedepannya, untuk saat ini saja dampaknya sudah melebar. Banyak sungai di Desa Kebaman, Banyuwangi yang sekarang sudah tak semestinya karena banyaknya sampah yang menumpuk. Selain itu, potensi munculnya dampak lainnya juga sudah mengintai. Misalnya soal bencana, bau tak sedap, hingga potensi penyakit.
Permasalahan sampah di desa saya ini memang sangat kompleks dan amat memprihatinkan. Tentu, saya nggak akan menyalahkan Pemerintah Banyuwangi saja mengenai hal ini. Beberapa faktor yang akan saya sebutkan di sini, juga menunjukkan beberapa peran warga terhadap munculnya permasalahan ini.
Desanya luas, tapi penampungan sampahnya nggak ada
Mengenai masalah sampah yang tak kunjung selesai di Desa Kebaman, Banyuwangi, mungkin faktor inilah yang menjadi sumber masalahnya. Bayangkan sebuah desa yang memiliki 5 dusun yang cukup luas, namun tempat penampungan sampahnya nggak ada sama sekali. Jadi, nggak heran jika banyak warga yang pada akhirnya membuang sampah di sembarang tempat.
Kelak, ketika saya menanyakan hal ini pada seorang pejabat desa, saya justru mendapatkan jawaban yang sangat mind blowing, Katanya, “Ya tempat sampahnya barengan aja sama yang ada di Pasar Srono.” Jawaban semacam ini tentunya nggak layak keluar dari mulut seorang yang sedari kecil rajin imunisasi.
Lagian, Pasar Srono itu terletak di tengah Desa Kebaman, Banyuwangi. Masalahnya, seperti apa yang sudah saya bilang tadi, desa ini punya 5 dusun yang sangat luas. Dan kalau tempat penampungan sampah cuma 1 dan udah gitu barengan, maka hal ini akan sangat merepotkan bagi masyarakat yang rumahnya cukup jauh dari Pasar Srono. Udah gitu, kalau tempat penampungan sampahnya cuma 1, emang nggak bikin tambah repot untuk mengelolanya ?
Ya, saya tahu. Walaupun banyak orang yang hidup di Desa Kebaman justru memakai Bahasa Jawa Matraman Wetan, tapi pengelolaan sampahnya nggak usah disamain kayak Jogja juga kali, Pak.
Kurangnya kesadaran masyarakat
Peran masyarakat dalam menyeruaknya masalah sampah di desa ini juga nggak kalah vital. Bahkan hingga saat ini, mayoritas warga di Desa Kebaman, Banyuwangi, masih membuang sampah di sungai. Jangankan untuk dicemplungin manusia, ikan wader saja pasti gatal-gatal kalau hidup di sungai itu.
Selain membuang sampah di sungai, masyarakat di desa ini juga sering membakar sampahnya secara sembarangan. Kurangnya kesadaran ini sangat disayangkan. Jika saya melihat Jogja, di setiap RW/ RT, memiliki tempat pengumpulan sampah masing-masing.
Tak cukup sampai di situ, beberapa tahun yang lalu, beberapa anak muda di Desa Kebaman, Banyuwangi sempat menawarkan ide kepada masyarakat umum tentang penanganan sampah ini. Idenya ialah dengan memberi tempat sampah di setiap rumah, lalu nantinya setiap seminggu sekali akan ada orang yang mengambilnya untuk dikirimkan ke Bank Sampah yang ada di kecamatan sebelah.
Anehnya, justru ide yang bagi saya brilian ini ditolak mentah-mentah oleh mayoritas warga, terutama golongan tua. Mereka menolak ide itu dengan dalih merepotkan karena sudah biasa membuang sampah di sungai.
Dengan itu, saya menjadi semakin yakin, kalau satu-satunya yang abadi di dunia ini adalah dosa sampah di Desa Kebaman, Banyuwangi. Mungkin ketika hari kiamat nanti, dajjal pun juga akan risih melihatnya.
Penulis: Rino Andreanto
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Bandung Lautan Sampah: Sebuah Ironi Ibu Kota Provinsi
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.