Saya kepikiran nasib perajin tempe karena mogok produksi dan distribusi pada 1-3 Januari 2021. Sebagai perajin yang bertumpu pada pendapatan harian, berarti selama tiga hari itu pula mereka tidak ada pendapatan.
Tadi siang sampai sore, saya dan ketua DPC PSI Pamulang, Kuncoro Damar Parikesit, menemui kawan kami, seorang penggerak usaha tempe di Kedaung, Pamulang. Kami ingin mendengar langsung apa yang terjadi, Pak Tawas namanya. Pria asal Pekalongan ini sudah berpengalaman bikin tempe sekitar empat dekade.
Pak Tawas menceritakan bahwa harga kedelai mengalami peningkatan signifikan hanya dalam beberapa pekan. Dari kisaran Rp6.500/kg menjadi Rp9.300-9.400/kg. Saya coba cek harga kedelai internasional, ternyata terlihat memang ada kenaikan. Dan kenaikannya mulai terlihat antara Juli-Agustus.
Biaya pengadaan kedelai mungkin bisa memakan 60-70% biaya produksi tempe. Sisanya bahan bakar, air, plastik atau daun, ragi tempe, dll. Sebab tempe ini pasarnya sangat elastis terhadap harga, perajin tempe relatif sulit menaikkan harga jual tempe secara signifikan dengan alasan harga kedelai mahal.
Tadi Pak Tawas sudah mulai produksi tempe untuk dijual besok. Beliau cerita betapa beratnya produksi tempe dengan harga kedelai Rp9.400/kg. Berbekal pengalaman, Pak Tawas melakukan serangkaian penyesuaian agar tetap bisa bertahan produksi dan menjual tempe. Ukuran tempe diperkecil dan harga dinaikkan. Saya diperlihatkan langsung tempe bungkus daun pisang yang panjang, biasanya Rp45rb per lonjor, sekarang jadi Rp50rb. Yang kemasan plastik, biasanya Rp4rb, sekarang menjadi Rp5rb. Tadi saya lihat proses pembuatan Tempe untuk dijual besok. Ya, besok adalah perdana tempe masuk pasar lagi dengan ukuran yang berbeda.
Saya beberapa kali beli tempe di sini. Menurut saya, tidak ada perbedaan ukuran. Pak Tawas tertawa. Menurutnya saya kurang jeli. Pas sampai rumah, saya bawa beberapa tempe dagangan Pak Tawas ke rumah, istri saya langsung tahu, ini ukurannya lebih kecil .
Saya sempat bertanya ke Pak Tawas, bagaimana mungkin kedelai naik hampir 50% dan harga jual naik 10-20%? Bukankah perajin tempe akan rugi? Pak Tawas cuma tertawa dan menjawab bahwa penyesuaian harga dan ukuran dilakukan agar usahanya tetap hidup.
Ada berapa yang seperti Pak Tawas di Kedaung Pamulang? Ada ratusan orang terlibat bekerja dengan konsumsi kedelai bisa 15-20 ton per hari. Ada berapa usaha milik perajin tahu-tempe se-Indonesia? Sejumlah 160 ribu, itu pun yang kemarin ikut aksi stop produksi. Berapa konsumsi kedelai industri tahu tempe dalam negeri? Bisa lebih dari dua juta ton per tahun.
Dampak pengganda tempe ini sangat besar jika dihitung dari berapa orang yang mendapatkan nafkah. Perajin, pekerja, pengiriman, pedagang, warung, tukang jual gorengan, horeka (hotel, restoran dan katering), dan lain-lain. Ada jutaan orang terlibat. Saya menaruh hormat kepada Pak Tawas yang tetap percaya dengan usaha yang ditekuninya, seberat apa pun itu. Saya juga berharap bahwa konsumen mau menerima kondisi bahwa ada perubahan harga dan ukuran tempe.
Demo dan mogok produksi tempe tempo hari bukan yang pertama. Beberapa tahun yang lalu juga terjadi.
Awal tahun ini penyebabnya cukup pelik. Produksi kedelai dunia tahun ini tak sebaik tahun-tahun sebelumnya. Perang dagang Tiongkok dan Amerika membuat harga kedelai sempat tertekan beberapa tahun.
Perang dingin mereda. Tiongkok mulai mengimpor kedelai. Tak tanggung-tanggung langsung 30 juta ton. Brazil, salah satu produsen Kedelai terbesar di dunia sampai melakukan impor kedelai untuk memenuhi permintaan dari Tiongkok. Hal yang mirip juga terjadi di Vietnam sebagai penghasil lada terbesar dunia, impor lada dari Indonesia untuk memenuhi kebutuhan ekspor mereka. Perdagangan dunia memang seperti itu.
Peningkatan harga kedelai tahun lalu sebenarnya terlihat sejak Juli dan Agustus. Namun, tak ada langkah strategis untuk mengamankan pasokan maupun upaya stabilisasi harga. Padahal di tengah pandemi dan lesunya ekonomi, tahu dan tempe, ditemani telur ayam serta ikan lele, menjadi pilar penyangga protein terjangkau untuk rakyat.
Sudah mulai bermunculan kalimat-kalimat sakti dalam casing nasionalisme. Mengapa kedelai saja impor? Media juga menulis RI kecanduan impor. Apakah benar? Sebagian benar, tapi tidak memperlihatkan gambaran utuh. Terlihat gagah dan vokal tapi tak menyelesaikan permasalahan.
Dari sisi lahan, lahan panenan kedelai di RI kian susut. Sekarang mungkin tinggal 500 ribu hektar bahkan mungkin sudah berkurang. Produktivitas sekitar 1-1,5 ton/hektar. Produksi tahunan kini 400-600 ribu ton sementara kebutuhannya 3 juta ton/tahun. Di Brazil dan Amerika, luas lahan panen kedelai bisa mencapai lebih dari 30 juta hektar dengan panenan per tahun di atas 100 juta ton. Secara skala, teknologi dan benih (terutama penggunaan benih GMO), negara-negara tersebut unggul jauh termasuk harga jual yang ekonomis. Mengejarnya butuh keseriusan, bukan buih ludah.
Lalu mengapa RI tidak tanam kedelai? Salah satu alasannya mungkin petani lebih memilih komoditas lain yang marginnya lebih tinggi. Menanam kedelai minim keuntungan dan harga berikut keseragaman bentuk, kalah dengan produk impor, termasuk harga yg ekonomis.
Apa yang perlu dilakukan?
Dalam jangka pendek yang perlu dilakukan adalah kampanye tetap beli tempe. Meyakinkan perajin tempe tetap berproduksi dengan melakukan serangkaian penyesuaian karena harga kedelai yang naik. Menurut saya, lebih baik tahu dan tempe ada walau harganya naik 20-25% dengan ukuran lebih kecil. Dengan demikian nafkah perajin kembali berjalan, masyarakat tetap bisa mengonsumsi tahu dan tempe. Pahit memang harga harus naik gara-gara kedelai mahal.
Jangka menengahnya, mengkaji (jika perlu) pengadaan kedelai sistem kuota menjadi tarif. Paralel dengan membuka mitra dagang dengan negara selain Amerika Serikat. Argentina dan Brazil misalnya. Kemudian memperbaiki rantai distribusi kedelai sampai ke tangan perajin tempe dan tahu.
Mengapa perajin tempe dan tahu diutamakan? Sebanyak 70% lebih konsumsi kedelai ada di tangan mereka. Tangan-tangan terampil mereka yang menghasilkan tempe. Sumber protein yang dikonsumsi masyarakat Indonesia hingga 6 kg/kapita/tahun. Perbaikan rantai distribusi ini untuk menjaga agar harga kedelai eceran tidak terpaut terlalu jauh dengan harga pengadaan. Saya sempat cek harga kedelai per ton untuk kontrak future sebesar $430-an (saya lupa tepatnya) per metrik ton. Saya konversi dengan kurs Rp14.000/dolar, jadilah Rp6,7 juta/ton atau 6.700/kg. Harga kemarin ketika saya bertemu perajin tempe dan tahu adalah Rp9.400. Lalu siapa yang dapat untung paling besar dalam distribusi kedelai? Entahlah. Saya juga tidak tahu.
Dalam jangka menengah panjang, kita bisa melakukan rangkaian kebijakan strategis. Daerah yang masih memproduksi kedelai karena lahannya sangat sesuai harus mendapat bantuan khusus dari urusan bercocok tanam, permodalan, hingga branding dan marketing. Produk turunan kedelai lokal harus mendapat keistimewaan dgn branding kedelai lokal non GMO dengan harga yang tentu lebih mahal untuk segmen SES atas.
Perlu juga terus riset produksi tempe menggunakan komoditas non kedelai. Kacang tanah, kacang hijau, petai cina/lamtoro, koro pedang, koro benguk, hingga daun singkong. Substitusi penggunaan kedelai dgn produk lain dari dalam negeri (yang harganya tentu lebih ekonomis) lebih masuk akal daripada terus meneriakkan swasembada kedelai. Iya, swasembada kedelai terus digaungkan dengan dasar nasionalisme. Didesakkan menjadi program penting. Anggaran dari APBN turun utk swasembada. Anggaran habis, swasembada tak tercapai dan minim yang mengungkit efektivitas penggunaan anggaran karena program sudah diselimuti nasionalisme. Mengkritisi swasembada langsung distigma antek asing, pro impor, dll.. Beraaat.
BACA JUGA Quo Vadis Peternak Rakyat: Diminta Menjaga Ketahanan Pangan dengan Jalan di Tempat