Beberapa dekade belakangan, pemerintah mulai sadar jika jumlah petani di Indonesia tidak naik dengan signifikan. Mayoritas dari mereka sudah berada di ujung senja. Jarang ditemui pemandangan anak muda mau menjadi petani, bahkan di desa sekalipun. Isu ini adalah isu global yang dihadapi semua negara. Namun, beban Indonesia jelas lebih berat. Lha gimana, wong sudah mendeklarasikan diri sebagai negara agraris. Iya, toh?
Tidak tinggal diam, berbagai program sejatinya sudah dikeluarkan pemerintah agar minat pemuda terhadap sektor pertanian meningkat. Ibarat cinta yang bertepuk sebelah tangan, usaha ini pun tidak mendapatkan hasil yang diinginkan. Program-program yang dicanangkan ternyata tidak sampai menjadikan pemuda ke tahap ingin mencoba, muncul awareness saja sudah alhamdulillah.
Menjadi petani masih menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian besar anak bangsa. Lha gimana mau menjadi petani, media saja selalu menggambarkan petani sebagai orang tua, hidup kekurangan, rumahnya reot, dan segala hal negatif lainnya. Makin langgenglah stigma negatif anak muda terhadap petani. Ya, meskipun ada juga gerakan di dunia maya yang dengan masif memperlihatkan harapan untuk pertanian Indonesia ke depan.
Media sudah saatnya untuk memberikan sudut pandang lain kepada masyarakat terkait petani. Hmmm, mari kita berkaca ke program MasterChef yang bisa meningkatkan pamor juru masak.
Dulu, siapa orang yang bercita-cita menjadi chef? Ketika kelas 1 SD atau TK dan ditanya masalah cita-cita. Haqul yaqueeen, tidak ada satu orang pun yang menjawab ingin menjadi chef atau petani. Berbeda dengan hari ini, menjadi chef adalah harapan bagi sebagian besar orang. Salah satu penyebabnya karena program MasterChef yang naik daun.
Hampir 10 tahun, setiap Sabtu dan Minggu sore, tayangan ini semacam menjadi tontonan wajib masyarakat. Sama seperti melihat Tersanjung di awal tahun 2000-an. Endingnya, keinginan masyarakat untuk menjadi chef bisa berubah drastis. Melihat kesuksesan ini, bagaimana jadinya jika mencontek MasterChef sebagai upaya meningkatkan minat bertani para pemuda? Bukankah hobi kita memang amati, tiru, tiru, dan tiru? Modifikasinya belakangan saja.
Berkaca kepada MasterChef
“Waktu kalian tiga puluh menit lagi, make it good and delicious,” begitulah pekik Chef Arnold dan Chef Juna kepada mereka yang bermimpi menjadi chef profesional. Makian dan komentar yang sepedas sambel teri angkringan itu ternyata mampu menjadi candu masyarakat untuk melihatnya. Bahkan anak-anak muda tak kalah hebohnya, sampai lupa untuk tidak melakukan ibadah wajibnya, apalagi kalau bukan malam mingguan. Atau memang karena mereka jomblo aja, ya?
Kalau dulu weekend orang-orang sibuk mikir mau ke mana, mau makan apa, sekarang justru kebalikannya. Orang-orang menjadi rela mengosongkan jadwalnya hanya untuk duduk bersila di depan TV. Anak-anak jadi rajin mandi sore agar tidak kehilangan momentum. Bukan lagi untuk melihat kartun tetapi lebih ingin melihat orang memasak. Mungkin ini salah satu cara agar ketika mereka sudah dewasa tidak lagi minder ketika ditanya calon mertua bisa memasak ataukah tidak. Brilian!
Apalagi kaum ibu-ibu, dua chef dengan paras yang manly dan baby face jelas menjadi daya tarik tersendiri. Meninggalkan suami kelaparan pun bukan masalah berarti. Bapak-bapak, pahamilah, mungkin itu satu-satunya alasan istri Anda bahagia. Toh, bapak-bapak juga bisa melihat Chef Renatta yang tidak kalah aduhainya.
Berbicara output dari program ini, banyak jebolan MasterChef yang kemudian benar-benar menjadi chef. Setidaknya, mereka menjadi celebrity chef yang nampang secara rutin di kanal YouTube. Bahkan banyak dari mereka yang kemudian menjadi artis. Bayangkan saja kalau ada program seperti MasterChef tetapi khusus untuk petani. Outputnya setidaknya akan ada yang menjadi petani, YouTuber yang aktif membagikan info bertani, atau apes-apesnya bisa kerja di Dinas Pertanian. Dengan catatan, asal tidak jalur belakang dan korupsi saja.
Bikin saja MasterFarm
Balik ke ide untuk meniru, MasterFarm ini nantinya akan berkonsep sama dengan MasterChef. Namun, mari kita beri sedikit perbedaan yaitu dari sisi peserta. Khusus MasterFarm, mari kita batasi adalah mereka yang maksimal berumur 35 tahun.
Lalu untuk jurinya bagaimana? Saran saya sih coba cari sosok yang bisa menarik minat masyarakat. Tidak melulu pejabat pemerintah, rakyat sudah muak dengan mereka. Misal bisa menggandeng Melody eks JKT 48, secara doi alumni Pertanian, ambassador khusus bidang pertanian antara Jepang dan Indonesia, yang penting lagi adalah rupawan dan terkenal. Itu kan yang dicari masyarakat, apalagi fanbasenya juga patut diperhitungkan.
Ambil juga duta petani milenial yang sudah terlebih dahulu dipilih pemerintah. Biar duta-duta seperti itu ada gunanya. Terakhir, datangkan sosok petani yang kompeten sebagai juri, agar masukannya lebih berdasar kepada pengalaman lapangan. Untuk bintang tamu bisalah dibuat variatif, mulai dari petani daerah yang berprestasi, akademisi, birokrasi, hingga investor. Agar apa? Agar pemahaman dari peserta bisa komprehensif.
Setiap minggu tantangan tentu juga harus diberikan, mulai dari memilih benih yang baik, menanam berbagai jenis tanaman, membuat pupuk kompos, memformulasikan pestisida, mengenali hama penyakit, cara menyabit, mencari pemodal, hingga menjual hasil panennya. Pemenang nantinya harus difasilitasi untuk bisa menjadi petani, mulai dari penyediaan lahan hingga penjualannya.
Ngomong-ngomong, ide ini lahir dari anak petani yang tidak mau jadi petani. Jadi, mungkin nggak usah didengar saja, ya. Lagian, nambah-nambahin kerjaan pemerintah sama media nantinya. Di balik kehaluan ide ini, semoga pertanian kita baik-baik saja, meskipun tidak sehat-sehat juga, sih.
BACA JUGA Keputusan Menteri Pertanian Adalah Bukti bahwa OSIS Lebih Profesional Dibanding Pemerintah