Membicarakan soal upah, bagi saya menjadi tema yang sentimentil. Setiap yang bekerja tak mungkin tidak mengharap timbal balik yang sebanding dengan tenaga yang sudah dikerahkan untuk bekerja. Upah kerja merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap intensitas bekerja seseorang. Belum lagi kalau upah itu rendah, sehingga akan menciptakan kegelisahan sekaligus ketidaknyamanan dalam bekerja.
Saya pernah beberapa kali mendengar kegelisahan teman, kegelisahan itu akibat dari ketidakseimbangan antara upah dengan pekerjaan. Pada akhirnya teman-teman saya yang mengalami ketimpangan itu memutuskan putus kerja. Saya menyebut kasus itu sebagai ketimpangan, sebab segala sesuatu yang tak seimbang merupakan sesuatu yang timpang.
Mendengar cerita teman itu, membuat saya juga merasa geram. Sempat saya menanyakan pada mereka, kenapa tidak meminta kenaikan upah kepada perusahaan. Mereka memiliki jawaban yang sama, bahwa standar upah yang diberikan perusahaan sudah sesuai dengan ketentuan pemerintah. Dari jawaban itulah membuat mereka pasrah, sebab untuk meminta kenaikan upah pada pemerintah, mereka sudah pesimis sejak awal. Lantaran setiap pekerja tidak selalu memiliki nasib yang sama.
Mereka percaya, segala sesuatu dapat diubah ketika setiap pekerja atau individu sebagai pekerja memiliki nasib yang sama. Sedangkan, mereka berpikir tidak setiap pekerja merasa menderita, artinya ada pekerja lain yang tidak menderita lalu tak acuh dengan nasib pekerja yang lain. Perihal perbedaan nasib ini juga pernah saya jumpai, ketika sedang mengobrol dengan dua teman saya yang memiliki latar belakang pekerjaan pun upah yang berbeda.
Sebut saja kedua teman saya ini Nami dan Sanji, nama yang sengaja saya buat fiktif, tetapi jangan ragukan cerita ini karena berdasarkan kisah nyata. Nami bekerja dalam sebuah pabrik tekstil di Bantul. Sedangkan Sanji bekerja di butik yang terletak di Sleman. Mulanya obrolan kami berjalan begitu asik karena membahas asmara. Siapa yang tidak merasa senang membicarakan asmara kecuali cintanya ditolak?
Kedua teman saya itu sama-sama pekerja asli Gunungkidul yang paling selatan, alias daerah yang jauh dari pusat kota Gunungkidul. Mereka memilih bekerja keluar kabupaten, karena upahnya yang lebih besar dibanding di Gunungkidul. Pertama Nami merasa gelisah, katakanlah ia merasa menderita dari upah kerjanya yang tidak sepenuhnya memenuhi kebutuhan harian hingga bulanan: pangan, sandang, dan papan (kos). Sehingga seringkali ia mengubah pola hidupnya seminimal mungkin. Kemudian Sanji menanggapi keluhan Nami untuk menyikapi permasalahan itu dengan pernyataan “kerja tinggal kerja, nanti juga diberi upah, semua bergantung pada diri masing-masing.”
Kemudian, Nami menimpali pernyataan itu dengan nada keras, mungkin karena ia sudah merasa kesal dengan kenyataan yang dihadapinya. Ia mengatakan kepada Sanji bahwa perspektifnya tak berlaku buat diri Nami. Kemudian Nami menyinggung upah Sanji yang lebih besar darinya— ia merasa Sanji tak merasakan nasibnya. Namun, ternyata sanji tak mau kalah menderita, lalu Sanji menanggapi dengan kepala panas, bahwa dirinya juga merasa hal yang sama seperti Nami. Ia juga merasa tak terpuaskan dengan upahnya meskipun lebih besar dari Nami.
Saya pun merasa bingung untuk menengahi kemelut di antara mereka karena saya belum bekerja dan tak mungkin berlagak paling tahu diantara mereka. Tetapi, pada akhirnya saya dapat mengatasi perdebatan mereka yang terbilang kalut. Wis to cah kalian sama-sama menderita, kalian malah berlomba-lomba untuk menentukan siapa yang paling menderita. Kalian seharusnya saling mendukung satu sama lain atau saling bekerja sama untuk menciptakan kehidupan yang mapan untuk semua pekerja.
Dengan perdebatan malam itu, pada akhirnya mampu menyadarkan kami bertiga untuk saling memperdulikan sesama pekerja. Beberapa waktu lalu informasi UMP 2021 di Yogyakarta mengalami perubahan, meskipun kenaikan upah bisa dibilang tidak menunjukan perubahan yang signifikan. Akan tetapi, regulasi perusahaan harus sesuai dengan ketentuan UMP. Apabila terjadi penambahan jam kerja harus ada nilai upah tambahan atau insentif. Dengan begitu, sebagai pekerja harus peka terhadap kondisi lingkungan kerja, agar kesejahteraan pekerja dapat dicapai bersama.
Pada akhirnya saya dan kedua teman saya itu berkesimpulan, sebagai pekerja harus sama-sama saling menyadari bahwa pekerja satu dengan pekerja yang lain harus saling memberi dukungan, meskipun berbeda lokasi maupun wilayah tempat bekerja. Artinya kesejahteraan pekerja merupakan tanggung jawab bersama.
Kemudian kami bertiga sepakat, sebagai pekerja yang menjadi penganut regulasi, sama-sama bekerja di bawah sistem yang sama. Yaitu bergerak di bawah regulasi pemerintah, sesama pekerja jangan sampai saling merasa mengagungkan diri bahkan saling merendahkan. Oleh karena itu, sebagai sesama pekerja, jika ada regulasi yang tak mensejahterakan dapat diluruskan bersama.
Sehingga tak ada lagi peristiwa adu penderitaan sesama pekerja di Yogyakarta ataupun di wilayah lainya. Namun, di balik penderitaan pekerja, bagi saya ada sosok yang lebih menderita ketimbang pekerja di Yogyakarta, ialah Raja. Yogyakarta sebagai wilayah istimewa ialah karena keberadaan Raja. Saya berpikir beliau yang paling menderita karena menanggung begitu banyak beban dari sekian banyak rakyatnya.
Akan tetapi, beban itu serasa tak mungkin ditanggung beliau seorang diri. Di Yogyakarta ada sesosok gubernur yang berwewenang atas segala regulasi. Sehingga Raja perlu mendapat dorongan dari rakyat Yogyakarta untuk melakukan pendeketan pada gubernur agar kesejahteraan dapat dirasakan rakyatnya. Maka dari itu rakyat Yogyakarta seharusnya menyadari perlunya memberi dukungan kepada Raja.
BACA JUGA Seni Menghadapi Harta Dunia Melalui Peribahasa Madura Asel Ta’ Adina Asal dan tulisan Nikma Al Kafi lainnya.