Saya terkesiap membaca tulisan Mbak Aisyah Nabilla yang menganggap seblak sebagai makanan yang paling aneh. Ia kemudian melengkapi anggapannya itu dengan argumen-argumen yang menurutnya logis. Namun, bagi saya, argumennya ngawur. Sebagai pencinta seblak, izinkan saya untuk membalas tulisan tersebut dengan argumen yang juga sangat logis.
Oke, disclaimer dulu, dalam tulisan Mbak Asiyah itu, ia tidak bermaksud nyari ribut sama penggemar seblak. Terlebih, katanya, cara ia menyampaikan argumennya secara damai. Dan mungkiiin ia berharap argumennya itu bisa disetujui banyak orang yang juga punya pemikiran sama.
Nah, tulisan ini tujuan utamanya hanya untuk membalas artikel Mbak Asiyah yang tentu saja, saya tidak setuju sama pendapat-pendapatnya. Jadi, tulisan ini tidak bermaksud pengin ribut sama yang tidak suka seblak, wabil khusus sama Mbak Asiyah.
Baiklah. Begini, Mbak Aisyah. Saya sebagai orang Sunda yang mana daerah saya penghasil seblak terbanyak kedua setelah kota Bandung, saya perlu menginformasikan dulu kepada Mbak atau teman-teman pembaca sekalian bahwa orang yang doyan makan seblak itu bukan hanya di kala lapar dan pas hujan datang.
Akan tetapi, makan seblak itu sudah menjadi tradisi bagi orang Sunda. Ketika reunian misalnya, tak jarang beberapa di antara kami bilang “Nyeblak, yuk!” Pun, dari mulai anak kecil, orang dewasa, dan orang tua, kami kerap melakukan aktivitas nyeblak. Padahal, kami udah pada makan nasi. Bahkan, orang tua kami bilang bahwa kalau makan seblak itu harus makan nasi dulu biar nggak sakit perut. Terus, makan seblak pas cuaca lagi panas juga afdal, kok. Sejak kapan mencari seblak sebagai jajanan utama di kala hujan datang. Ngaco. Maksud saya, jangan sotoy lah.
Nah, terkait memesan seblak dengan level pedas tertinggi, lalu berusaha menghabiskan isi beserta kuah-kuahnya, ini bukan demi mendapat pengakuan sebagai “ratu cabai” atau bagi lelaki “raja cabai”, tapi lidah orang Sunda, kalau sudah terbiasa makan pedas terus makan yang tidak pedas, suka jadi agak gimanaaa gitu. Yang jelas, kami makan seblak dengan level pedas tertinggi tidak bermaksud untuk mendapat pengakuan semacam itu, bukan! Ini soal kebiasaan.
Mari masuk ke inti pembahasan.
Ada tiga argumen yang Mbak Asiyah sampaikan terkait seblak sebagai makanan yang paling aneh. Pertama, isi seblak tidak konsisten. Kedua, seblak hanya bisa dinikmati untuk orang yang menyukai makanan pedas. Ketiga, pada jenis seblak berkuah, ada isian berupa kerongkongan maupun tulang ayam yang kalau dibayangin sama Mbak Asiyah jadi bingung. Sebab, katanya, ayam yang pada dasarnya dimasak untuk diambil dagingnya, eh malah diambil tulangnya untuk isian makanan. Sungguh, tiga alasan yang ada ada saja.
Mari saya jelaskan.
Pertama, seblak bukan tidak konsisten. Namun, dalam usaha kuliner, hampir seluruh pengusaha melakukan modifikasi. Para pengusaha lebih aware terhadap usaha yang dimilikinya agar tidak sama dengan para pesaingnya. Artinya, para pengusaha makanan selalu berpikir untuk melakukan berbagai inovasi agar makannya terlihat menarik. Apalagi para pengusaha seblak di Bandung, mereka dituntut untuk melakukan modifikasi sedemikian rupa agar seblaknya selalu memunculkan inovasi baru untuk tetap eksis.
Nah, itu sebabnya, seblak dimodifikasi dengan tambahan telur, sayur, dan lain-lain. Sekaligus, itu sebabnya seblak jadi banyak jenisnya. Itu sebabnya, seblak ada yang kering-kering yang kalau dimakan berbunyi “krenyes-krenyes”.
Kedua, seblak tidak hanya dinikmati oleh mereka yang suka makanan pedas, Mbak. Sebab, banyak juga orang yang makan versi tidak pedas. Lantas soal kenikmatannya tidak perlu ditanyakan. Bumbu yang Mbak tulis itu memang untuk versi pedas. Tapi, ini disebabkan ketidaktahuan Mbak, jadi malah ngaco.
Ada beberapa macam seblak yang tidak pedas dengan bumbu halus seperti garam, bawang putih, kencur, merica. Lengkap dengan toppingnya, sosis dan telur. Ada jenis yang khusus buat anak-anak kecil dengan bumbu daun bawang, kerupuk udang, telur, daun pokcoy, garam, gula, bawang putih, bawang merah. Dan seterusnya dan seterusnya. Bahkan, ada buanyakkk penggemar seblak tidak pedas garis keras, salah satunya Mbak Nida Nur Fadilah yang tulisannya dimuat di Terminal Mojok dengan judul “Penggemar Seblak Tak Pedas Garis Keras, Memangnya Kenapa?“
Kesimpulannya, Mbak Aisyah ini tidak tahu soal seblak dan belum menemukan yang cocok di lidah.
Ketiga, Mbak Asiyah menanyakan, apa yang diharapkan dari memakan topping tulang ayam? Lalu mengajak kepada pembaca dengan ajakan untuk membayangkan, ada semangkuk makanan berkuah pedas dengan potongan tulang ayam, lalu saat kalian makan tulangnyaaa, pasti sulit jika harus menggunakan sendok. Jadi mau tidak mau harus menggunakan tangan.
Apa yang diharapkan dari makan tulang ayam? Pertama, saya mau tanya, Mbak Aisyah ini pertama kali makan seblak di mana dulu? Kalau pengin menikmati seblak Ceu Ecin, sini ke Garut. Kedua, apakah sudah jeli memperhatikan tulang ayam itu pure tulang ayam aja? Soalnya, di dalam tulang ayam maupun kerongkongannya, biasanya masih ada sisa-sisa daging yang nempel. Sumpah, saya bakal protes sama tukang seblak kalau cuma tulang doang. Maka, saya mempertanyakan, di mana Mbak Asiyah pertama kali makan makanan khas Sunda ini?
Nah, terkait sisa-sisa daging yang nempel di tulang ayam maupun kerongkongan, itu ada filosofinya. Jadi, orang Sunda ini memercayai bahwa ada kelezatan di balik sisa-sisa daging yang nempel itu. Pernah denger tidak tentang ada keberkahan di balik sebutir sisa nasi? Nah, begitu. Ini saya benar, tidak sedang bercanda.
Buat Mbak Asiyah, saya tidak keberatan sih kalau Mbak tidak ada keinginan untuk memakan seblak lagi. Toh, saya yakin penggemar dan mang-mang penjualnya tidak akan peduli juga. Namun, ketika menganggap seblak sebagai makanan paling aneh, terus beragumen tidak logis, saya tidak terima.
BACA JUGA 3 Tebak-tebakan Sunda yang Melegenda walau Super Nyebelin dan tulisan Muhammad Ridwansyah lainnya.