Boleh dikata, makanan populer kedua di Indonesia adalah mi. Rasa-rasanya kalau sedang tidak selera bertemu nasi, mi adalah solusi. Apalagi bagi anak kos-kosan, mi instan adalah penyelamat.
Kepraktisan yang ditawarkan mi instan juga menjadikan makanan ini sebagai pilihan yang pas saat tengah malam dilanda kelaparan. Daripada keluar beli makanan atau pesan online, mending ceklek kompor sebentar, masak mi. Tiga menit matang. Perut pun aman. Malas ceklek kompor? Bukan masalah. Ada yang dalam kemasan cup yang tinggal di seduh pakai air panas dari dispenser. Porsi mi kemasan cup terlalu banyak? Gampang. Ada mi imut yang seukuran gelas minum kita. Intinya, ada banyak jalan menuju mi instan.
Sayangnya, ia telah dinistakan oleh sebagian orang. Bentuk penistaan yang mereka lakukan adalah dengan memberikan tambahan macam-macam bahan saat proses memasak, seperti: irisan daun bawang, caisim, kol, telur, tauge, timun, dan teman-teman lainnya. Waini. Tidak bisa dibiarkan yang seperti ini.
Menambahkan macam-macam bahan padanya jelas menyalahi kodrat mi instan itu sendiri. Sebagai penikmat, sudah selayaknya kita melayangkan protes keras pada pihak-pihak yang dengan jumawa-nya menambahkan ini dan itu padanya.
Pertama, berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), instan itu artinya langsung (tanpa dimasak lama) dapat diminum atau dimakan (tentang mi, sup, kopi, susu bubuk). Intinya, langsung. Nggak pakai lama. Lha, kalau harus ditambahi printilan-printilan, seperti, kol, caisim, dkk., apa malah nggak jadi lama masaknya?
Bayangkan betapa nelangsanya perut kita harus menahan lapar gara-gara ada caisim yang harus dipotong atau ayam yang harus disuwir. Apalagi kalau ada proses membentuk timun atau wortel jadi lope-lope, biar tampilannya lebih Instagram-able. Walah, keburu ilang lapernya, Malihhh….
Kedua, tujuan diciptakan mi instan adalah untuk mempermudah hidup kita. Mudah artinya tidak repot. Jadi, kalau dalam prosesnya kita harus mengiris daun bawang, memotong timun, mencincang bawang putih, dan printilan lainnya, jelas tidak bisa dikatakan sebagai sesuatu yang tidak merepotkan.
Belum kalau bicara soal “alat tempur” yang harus kita cuci akibat kegiatan potong-iris ini. Minimal, ada talenan dan pisau yang harus kita cuci karenanya. Dan itu, semakin merepotkan.
Ketiga, menambahkan banyak bahan tambahan padanya termasuk bentuk penistaan karena itu berarti kita merenggut apa yang seharusnya menjadi tugas dari mi hula-hula. Kalian tau, apa itu mi hula-hula? Itu loh… mi yang cuma mi doang. Nggak ada bumbunya. Di tempat kalian namanya apa? Mi telur? Ya, itulah pokoknya.
Jadi, mi yang sudah sepatutnya mendapat perlakuan berupa penambahan bahan ini dan itu adalah mi hula-hula. Bukan mi instan. Pasalnya, mi hula-hula tidak dibekali bumbu dan minyak di dalamnya, sedangkan mi instan komplit. Ada yang dilengkapi topping bawang goreng dan kerupuk pula!
Keempat, mereka yang menambahkan bahan biasanya beralasan supaya menambah cita rasa. Hadehhh… cita rasa, Mbokmu! Yang ada malah kehilangan rasa khas dari mi instan itu sendiri. Nyeruput kuahnya sudah nggak orisinil lagi. Sudah tercampur dengan aroma tauge, telur, caisim, dan teman-temannya. Sungguh suatu upaya menghilangkan identitas yang tidak bisa dimaafkan.
Sudah jelas, menyebut penambahan bahan untuk menambah cita rasa adalah salah besar. Penikmat mi instan sejatinya nggak butuh macam-macam, kok. Mereka cuma butuh rasa orisinil dari mi instan. Cukup.
Saya jadi curiga. mi instan yang melengkapi diri dengan sayuran kering di dalamnya jangan-jangan berawal dari sebuah keresahan. Produsen resah melihat produk mereka yang dimasak dengan tambahan ini dan itu. Akhirnya mereka menambahkan sayuran kering dalam kemasannya.
Jadi, jika setelah ditambahi sayuran kering di dalamnya kalian masih menambahkan bahan macam-macam, itu berarti kalian sungguh tega betul!
BACA JUGA Menantikan Mi Instan Limited Edition dengan Varian Rasa yang Tak Terbayangkan atau artikel Dyan Arfiana Ayu Puspita lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.