Saya kepikiran menulis tulisan ini setelah di suatu malam seorang teman dekat saya curhat tentang tentang hubungannya dengan sang ayahandanya setelah padu beberapa waktu sebelumnya. Ngomong-omong seputar hubungan anak laki laki dan ayah, sobatku yang budiman apalagi yang kebetulan laki laki masih umur tanggung seperti saya ini pasti relate lah bagaimana “pasang-surutnya” hubungan kalian dengan sosok figur yang pasti kita idolakan di masa kecil.
Tenaaang, saya tau sobat budiman pasti bakal bertanya “lho terus opo hubungannya sama Profesor Snape?’’ Saya sendiri awalnya juga agak terkejut dengan lamunan saya sendiri ketika sepulang dari menemui teman saya di perjalanan pulang. Dengan menaiki beat 110cc keluaran 2009 yang diajak jalan 60km/jam udah ogah-ogahan milik ibu saya, secara resmi saya berkelana menyusuri dinginnya Boyolali pada dini hari dengan tujuan mulia pulang ke rumah dengan selamat sentosa.
Belum ada yang aneh sampai beberapa menit sebelum sampai ke rumah saya, masih melamun di atas motor mak jegagik saya teringat di salah satu scene film Harry Potter and The Goblet of Fire keluaran 2004 di mana Profesor Severus Snape secara heroik mendobrak pintu bersama Dumbledore untuk menyelamatkan Harry yang akan dibunuh Barty Crouch Jr yang nyamar jadi Alastor “Mad-Eye” Moody guru pertahanan terhadap ilmu hitam Hogwarts setelah meminum polyjuice yang dicolong dari Profesor Snape.
Nah ceritanya Si Alastor Moody palsu ini bikin skenario gimana caranya biar Harry memenangkan turnamen Triwizard yang legendaris itu. Sesuai skenario, Harry lolos sampai tantangan terakhir di mana peserta harus bisa menemukan piala yang diletakkan di tengah labirin penuh jebakan yang ternyata sama si Alastor Moody palsu ini pialanya diubah jadi portkey (benda yang digunakan untuk mengangkut penyihir di film tersebut untuk pindah dari satu tempat ke tempat lain pada waktu yang sudah ditentukan, hanya dengan menyentuhnya) yang setelah disentuh si Harry bersama sama si Cedric malah membawa mereka ke Voldemort.
Singkat cerita Harry lolos dari tantangan terakhir yang sebenarnya udah diakalin Alastor Moody palsu. Dalam adegan selanjutnya si Moody palsu nggak terima dong kalo Harry berhasil selamat dan berniat membunuh Harry. Selanjutnya Harry disekap dan di detik-detik terakhir dengan heroiknya seperti adegan film pada umumnya Dumbledore, Prof Minerva, dan Prof Snape mendobrak pintu dan kejadian selanjutnya udah ketebak Harry pasti selamat.
Namun bukan itu yang membuat saya merasa tertampar setelah memendam suudzon berkepanjangan sama si Snape, dalam adegan selanjutnya Snape ditugaskan menahan Si Barty Crouch Jr anak buah “You-Know-Who” Lord Voldemort yang menurut saya lebih mirip psikopat daripada seorang pembunuh bertangan dingin macam Jack The Ripper.
Dalam adegan one-on-one tersebut dengan terkejut saya bisa melihat bagaimana dengan gagah berani diiringi ketulusan yang terpancar Profesor Snape tidak peduli resiko tinggi berhadapan dengan Barty Crouch Jr. yang berbahaya.
Saya sendiri dari awal nonton Harry Potter sempat menaruh curiga kalo jangan – jangan si Snape ini bakal berkhianat atau paling nggak berbuat jahat ke Harry, lah bagaimana nggak curiga coba? Selain doi karena mantan anak buah Voldemort, dari perangainya sendiri kita bisa lihat Profesor Snape ini tak ubahnya dengan pegawai TU SMA yang ribet, nggak mau jelasin prosedur yang berurusan dengan birokrasi sekolahan, ditambah yang sewotnya minta ampyun.
Namun, yang jadi tamparan buat saya, setelah memendam rasa suudzon selama bertahun-tahun, dalam scene tersebut saya melihat sebuah ketulusan dan aura kebapakan yang terpancar dari mata Profesor Snape di mana tak sedetik pun ia melepaskan pandangan dari penjahat nomor satu to make sure everything will be fine. Ada perasaan campur aduk setelah saya mengingat-ingat scene tersebut. Ternyata di balik sikap dingin tak bersahabat ia tak ada ubahnya seperti stereotip bapak-bapak Indonesia yang bakalan tega mukul pantat anaknya sampai merah kalau main seharian nggak balik-balik namun dalam seketika bakalan jadi superhero yang siap mati ngebela sang anak misal kalau ada yang nekat mengganggu kenyamanan sang buah hati.
Profesor Snape adalah tipikal bapak-bapak Indonesia yang mencintai anaknya lebih dari apa pun tapi ya emang nggak ekspresif aja alias kurang bisa menunjukkan emotional vocabulary kepada anak-anaknya. Profesor Snape juga gambaran ayah saya yang tega menggampar saya ketika keceplosan misuh , juga Profesor Snape adalah gambaran ayah saya yang tiba-tiba muncul menyelamatkan saya saat hampir dikeroyok di jaman SD dan ketika beliau dengan siap menjadi penengah saat saya terlibat insiden saat SMA.
Kita semua pasti pernah cinta dan benci kepada seseorang yang kita sayangi, yah mau gimana lagi ada masa dimana ego kita selalu berbenturan dengan keinginan orang tua. Ada masa ketika kita tidak saling bicara dengan orang tua karena satu lain hal. Ada masa di saat jalan pikiran kita dan orang tua jauh berbeda yang ujung-ujungnya padu lagi.
Yah daripada saya semakin melantur semoga tulisan ini bisa membuat kita lebih khuznudzon ke Profesor Snape dan membuat saya, teman saya sekaligus sobat budiman yang lain untuk lebih bijak dalam bersikap di masa-masa labil tanpa melukai perasan orang yang kita sayangi.
BACA JUGA Level Sombong Ultimate: Nggak Mau Turun Mobil Pas Beli Roti Bakar
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.