Sebuah malam musim panas di Los Angeles, keriuhan dan perhatian tertuju pada salah satu panggung di Coachella, festival musik musim panas terbesar di dunia. Ribuan orang menanti penampilan pertama girlband asal Korea yang sedang naik daun. Sementara itu di belakang panggung, rasa gugup keempat gadis ini sedang di puncak-puncaknya. Rose bertanya heran pada Jennie, “Mengapa ada banyak orang di luar sana?” Sementara itu, Lisa menjadi sangat gugup dan meminta air putih. Jennie yang juga gugup, meminta tolong untuk mengambilkan obat tetes mata sesaat sebelum naik panggung. Satu per satu dari mereka naik panggung, dan setelahnya adalah sejarah.
Paragraf di atas adalah cuplikan dari film dokumenter terbaru Blackpink: Light Up the Sky yang baru saja dirilis pada 14 Oktober kemarin melalui platform Netflix. Film yang berdurasi sekitar 79 menit ini menceritakan perjalanan empat gadis ini membentuk Blackpink. Dan bagaimana kehidupan belakang panggung mereka, yang sayang sekali di film ini mendapatkan porsi yang kurang banyak. Ini adalah film pertama mengenai K-Pop atau budaya pop Korea Selatan yang saya tonton. Dan saya tidak akan menyesal dengan keputusan itu, mengingat K-Pop tidak pernah menarik buat saya selama ini.
Meskipun saya adalah orang yang awam sekali dengan K-Pop, Blackpink tentunya bukan hal yang baru. Lagunya diputar di mana-mana, dan penggemarnya yang militan selalu memenuhi segala ruang, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Mau abai pun susah, karena ketenaran mereka benar-benar mengintimidasi.
Namun, setelah menonton film ini, pandangan saya mengenai Blackpink dan K-Pop tampaknya agak sedikit berubah. Saya yang dulunya tidak peduli (bahkan cenderung benci) dengan K-Pop, sekarang mulai melirik sedikit untuk cari tahu bagaimana industri mereka bekerja. Iya, saya lebih tertarik dengan industrinya, karena musik K-Pop sendiri sebetulnya tidak pernah cocok buat saya.
Di film Blackpink: Light Up the Sky, masing-masing personel mendapat cerita yang sama, yaitu bagaimana masa kecil mereka dan bagaimana perjalanan mereka mulai audisi hingga menjadi Blackpink. Kurang lebih sama dengan film dokumenter musisi lainnya. Namun, yang membuat pandangan saya akan K-Pop menjadi lebih terbuka adalah selain bagaimana kerja keras mereka berempat dalam berlatih menyanyi dan menari, kerja keras industri di Korea ternyata berhasil membentuk mereka sedemikian rupa. Sehingga, ketenaran dan kemampuan musikal yang Blackpink miliki menjadi cukup berkelas.
Saya juga akhirnya tahu bahwa mereka berempat punya tugas masing-masing di Blackpink. Ada yang berperan sebagai penyanyi rap, ada yang menjadi penari utama. Mereka punya porsi masing-masing di setiap lagu. Ini mematahkan asumsi saya bahwa K-Pop hanya modal tampang. Mereka benar-benar berlatih keras untuk bisa menyanyi sambil menari di atas panggung dengan sempurna. Oh iya, lagu Ddu-du-ddu-du terdengar lebih enak kalau dimainkan live dengan session band, meskipun saya tetap tidak cocok dengan musik K-Pop seperti ini.
Tidak ada gading yang tak retak, tidak ada film yang sempurna, termasuk film ini. Film ini rasanya kurang memberi ruang pada perspektif di luar Blackpink. Hanya produser dan pelatih pilates Jenny yang jadi narasumber selain Blackpink, itu pun orang-orang terdekat. Film ini akan terasa sangat kuat kalau ada pihak di luar Blackpink, entah dari label atau musisi lain, yang jadi narasumber. Selain itu, gambaran betapa lelahnya keempat personel Blackpink dengan ketenaran tidak diberi porsi yang cukup. Jujur, saya lebih penasaran dengan bagaimana lelahnya mereka tur dunia dan bagaimana kesepiannya mereka ketika tidak sedang manggung atau rekaman.
Secara keseluruhan, film ini memang menarik untuk ditonton. Ada kepuasan yang sedikit berbeda ketika saya selesai menonton film Blackpink: Light Up the Sky. Entah karena saya memang suka dengan film dokumenter, atau karena asumsi saya tentang K-Pop satu per satu mulai terjawab? Saya tidak tahu pasti.
BACA JUGA Mau Bersaing dengan K-Pop? Dukung Industri Kreatif, Bukan Bikin Wajib Militer dan tulisan Iqbal AR lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.