Kecelakaan lalu lintas, dalam beberapa kasus tidak dapat diketahui penyebab pasti terjadinya. Terkadang, kecelakaan tersebut terjadi di luar akal manusia. Mobil yang tiba-tiba terbalik, motor yang masuk jurang karena tiba-tiba remnya blong, atau kecelakaan lain yang memakan banyak korban.
Seperti semua hal yang seakan-akan nggak bisa dilogika, masyarakat kita dengan mudah mengklaim bahwa hal tersebut ada kaitannya dengan hal gaib.
Beberapa hari lalu, teman kerja saya menceritakan dua kejadian kecelakaan antara mobil dengan motor di tempat yang sama dalam jangka waktu yang berdekatan. Melalui status WhatsAppnya, ia mengunggah gambar kondisi kedua kendaraan yang “remuk jujuk” dengan caption, “Seminggu wis ping 2 loh, jen demite kakean jalukan.” Yang artinya ‘Seminggu sudah 2 kali loh, dasar setannya banyak minta.’
Sekilas info, kecelakaan lalu lintas tersebut terjadi di tanggal 10 dan 12 September kemarin di Bulak Prumpung, sebuah daerah di perbatasan antara Kecamatan Sidareja dan Kecamatan Cipari, Kabupaten Cilacap. Kecelakaan pertama antara minibus dan sepeda motor, sedangkan kecelakaan yang kedua antara mobil sedan dan truk box.
Maksud dari “setan yang banyak minta” itu, tentu saja merujuk pada hal gaib bernama tumbal. Tumbal diminta ketika makhluk gaib menagih nyawa seseorang untuk diserahkan padanya. Tidak ada yang tahu makhluk gaib itu menginginkan tumbal untuk apa. Tapi satu hal yang pasti, ada kepercayaan masyarakat pada mitos bahwa di tempat tertentu ada “penunggunya” yang kadang minta tumbal sehingga harus dihormati. Kepercayaan demikian masih sangat kental.
Setan ini gila hormat juga, ya? Atau orang-orang saja yang terlalu melebih-lebihkan?
Entahlah. Tapi banyak yang meyakini bahwa setan memiliki kewenangan terhadap apa pun dalam suatu wilayah itu. Mungkin termasuk nyawa manusia yang hanya kebetulan melintasinya. Sungguh random banget kamu, Setan!
Kembali ke teman saya, menurutnya, TKP kecelakaan lalu lintas yang dekat dengan tempat tinggalnya itu, merupakan wilayah yang terkenal angker bagi penduduk setempat. Tentu saya juga percaya makhluk gaib ada di mana pun. Tapi untuk ikut percaya bahwa suatu tempat lebih menakutkan dibanding yang lain, nggak dulu deh. Apalagi sampai menjadikannya sebagai penyebab kecelakaan.
Kemudian untuk memperkuat asumsinya, ia menambahkan argumen selain “tempat angker” yang bisa dikaitkan dengan kecelakaan, yaitu bulan Suro. Masa-masa yang dianggap sakral dan keramat oleh kepercayaan orang Jawa. Katanya, terdapat pantangan-pantangan yang harus dihindari di bulan ini. Salah satunya adalah bepergian jauh.
Sialnya, secara kebetulan salah satu mobil yang mengalami kecelakaan itu berpelat nomor Jakarta. Hal ini mendukung argumen bahwa kecelakaan itu terjadi karena korban bepergian menempuh jarak yang cukup jauh, dari Jakarta ke Cilacap. Dan artinya korban dianggap melanggar pantangan bulan Suro itu. Tapi kan, Jakarta bukan termasuk Jawa, ya? Ups~
Sudah terjadi di tempat yang dianggap angker, ditambah waktu kejadian di bulan yang dianggap mistis, kuatlah asumsi teman saya itu.
Saya pikir, teman dengan kepercayaan seperti ini hampir selalu ada di setiap tongkrongan. Meski itu wajar saja, tapi mbok ya jangan setiap ada keanehan dalam sebuah kecelakaan selalu dikaitkan dengan hal gaib.
Padahal seaneh apa pun sebuah peristiwa kan bisa dicari argumen logisnya, layaknya teman saya yang cari-cari alasan mistisnya.
Menurut teman saya yang lain, yang berprofesi sebagai polantas, kecelakaan lalu lintas terjadi karena kurangnya kehati-hatian pengendara, kendala teknis pada kendaraan, dan kondisi jalan yang ekstrem di tempat tertentu.
Pengertian ekstrem suatu tempat tentu bukan karena keangkerannya, melainkan seperti kontur daerah yang menyebabkan jalan menanjak dan menurun serta memiliki banyak tikungan. Bisa juga karena jalan yang licin dan berlubang. Jadi, mengasumsikan suatu kecelakaan karena jalan yang dilewati memiliki “penunggu” sungguh nggak masuk akal.
Yang lebih suram lagi adalah menambahkan argumen bulan Suro untuk memperkuat asumsi. Seolah menyalahkan makhluk gaib dalam sebuah tragedi.
Daripada berasumsi dengan argumen nyeleneh, lebih baik berasumsi bahwa kesalahan teknis kendaraan dan ketidakhati-hatian sebagai penyebab suatu kecelakaan.
Dari kedua hal di atas, pengendara yang lain bisa bercermin terhadap ketidakdisiplinan masing-masing dalam merawat kendaraan. Mungkin karena sibuk atau malas ke bengkel, kendaraan yang sering digunakan pun tahu-tahu performanya sudah memburuk. Seperti kondisi rem yang sudah tidak pakem atau ban yang sudah halus. Masalah ini bisa membahayakan dalam situasi yang tak terduga di perjalanan.
Selain itu, kita juga harus lebih memperhatikan cara berkendara. Bisa saja saat berkendara kita terlalu ngebut seakan-akan sedang balapan di sirkuit. Berkendara dengan terburu-buru juga bisa membuat kita menjadi ceroboh. Apalagi jika pengendara tidak dalam kesadaran penuh, bisa karena ngantuk atau karena sedang mabuk. Malaikat maut say hello.
Ngomong-ngomong soal ngebut, saya teringat salah satu scene film Rush (2013). Scene saat Niki Lauda sedang berkendara di jalan umum dengan seorang wanita yang baru dikenalnya. Ia ditantang oleh si wanita untuk membuktikan bahwa ia merupakan pembalap di ajang Formula 1 dengan balapan di jalan. Namun dengan enteng ia menjawab, “Untuk apa ngebut di jalan umum? Hanya menambah risiko kecelakaan. Kita nggak sedang buru-buru, dan aku nggak dibayar.”
Singkatnya, terdapat penyebab yang logis dalam kecelakaan agar kita bisa mengantisipasinya. Kurang-kurangi “menyalahkan” makhluk gaib di tempat angker apalagi dikaitkan dengan bulan Suro. Sebab sudah terlalu sering kita menyalahkan hasutan setan sebagai penyebab kejahatan kita sendiri.
BACA JUGA Keresahan Radiografer yang Suka Dikatain Mandul dan Profesinya Nggak Ada di KBBI dan tulisan Fadlir Rahman lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.