Efek pandemi COVID-19 belum berakhir. Bahkan di Indonesia sudah mendapatkan silver play button, dan masih melaju kencang. Entah kita harus bangga atau bersedih atas pencapaian ini. Bahkan konspirasi mengenai COVID-19 semakin tumbuh subur. Padahal, awal COVID-19 masuk ke Indonesia, semua orang was-was dan takut untuk terinfeksi.
Karena kondisi masyarakat yang mulai berada di titik jenuh, lebih mudah untuk menghembuskan konspirasi di tengah masyarakat. Hal ini semakin mengkhawatirkan, karena beberapa orang yang terkenal—yang dapat menjangkau orang banyak—berada di barisan konspirasi.
Tetapi, hal yang didengungkan sebetulnya itu-itu saja. Misalnya, COVID-19 itu sebenarnya tidak ada, hanya ulah elit global. Kini berganti menjadi COVID-19 itu ada, tetapi memang dibesar-besarkan oleh media dan tenaga kesehatan saja.
Jangan tanyakan efeknya. Kini masyarakat tidak mengindahkan protokol kesehatan, seperti menggunakan masker dan menjaga jarak. Selain karena pemerintah yang kurang tegas, influencer-influencer itu juga turut andil dalam perubahan masyarakat.
Beberapa teman kuliah saya percaya bahwa virus COVID-19 adalah konspirasi. Bayangkan, ini mahasiswa loh. Yang seharusnya menjunjung tinggi logika, nalar kritis dan keilmuan bisa juga percaya. Apalagi orang yang masih percaya bahwa forward berita WhatsApp dari blogspot adalah berita yang sahih.
Sering saya mendapatkan komentar berbau konspirasi di media sosial. Karena gabut dan pengen cari ribut, saya ladeni saja argumen dari mereka. Rata-rata mereka menutup dialog. Kalau tidak dibilang debat kusir dengan argumen “Coba kau tengok itu Instagram jrxsid, agar mata kau terbuka”. Kalau nggak, ya “Masih aja percaya sama media yang jadi antek-anteknya WHO”
Lantas apa yang mereka maksud untuk tidak percaya media? Apakah mereka nggak sadar, kalau konspirasi yang mereka terima itu dari mana kalau bukan lewat media. Instagram yang menjadi alat propaganda JRX itu juga media, Podcast-nya Deddy Corbuzier itu juga media, bahkan Channel Flat Earth 101 itu juga media.
Kalau yang dimaksud media adalah media mainstream. Rasa-rasanya bukan hanya petugas kesehatan saja yang akan menangis, tetapi jurnalis juga. Gimana nggak nangis. Wong jurnalistik itu memiliki kode etik, bisa di cross-check kebenarannya, nggak sembarangan. Berbeda dengan hipotesis konspirasi yang bisa lempar sembarangan, seperti COVID-19 itu ulah elit global.
Saya lebih percaya kepada media mainstream, yang sudah teruji kredibilitas-nya dan minim bias daripada channel YouTube yang ujug-ujug membahas tentang konspirasi, dan banyak bias-nya.
Kalau membaca media mainstream, nalar saya masih terjaga untuk tetap kritis. Tapi nggak tahu kenapa, kalau lihat hipotesis konspirasi seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Karena konspirasi itu sekedar asumsi, tidak bisa dibuktikan secara konkrit, tidak bisa dikritik juga. Akhirnya cuma manggut-manggut saja.
Lucu saja ketika mereka menyuruh untuk tidak menelan mentah-mentah apa yang diberitakan oleh media. Sedangkan, mereka malah menelan mentah-mentah konspirasi yang mereka terima.
Karena merasa ia mengetahui banyak hal, dan argumennya tidak dapat dicounter. Mereka menjadi jumawa. Toh kalau berhasil dicounter, mereka akan bilang “kamu kalau nggak percaya, lihat sendiri di Instagram bla-bla-bla, YouTube bla-bla-bla” Lha gimana ya, kalau nyodorin Instagramnya JRX ke orang yang tidak percaya konspirasi itu sama aja nyodorin orang NU hukumnya rokok di website Salafi. Yo ora mathuk.
Selain itu, kalau mentok tidak bisa menggunakan otak, ia akan menggunakan otot untuk menyelesaikan masalah.
“Cek DM-mu sat” atau “Cek email-mu sat, udah kukirim invoice tiket ke Bali, baku hantam kita” menjadi guyonan di media sosial. Loalah, dikira semua masalah bisa diselesaikan dengan baku hantam begitu?
Belum lagi masalah latar belakang pendidikan. Apakah orang yang berada di panggung itu kompeten atau tidak? atau hanya meraba-raba saja. Dokter yang berada di bidangnya saja tidak berani berasumsi atau beropini pribadi atas virus baru ini.
Eeeeh, tapi kan orang yang percaya konspirasi COVID-19 itu didukung oleh beberapa opini dokter?
Nih, saya mengutip dari artikel Pak Damar Prasetya Ajie Putra Begini Cara Dokter Menyatakan yang Benar itu Benar dan yang Salah Itu “Salah”. Ternyata tingkat yang paling dibawah adalah pernyataan para ahli. Lihatlah saudara-saudari pecinta konspirasi. Pernyataan para ahli saja berada di tingkat terbawah.
Misalnya, klaim ahli dari Universitas anu yang menyatakan penangkal dari virus corona adalah ini dan itu. Klaim dari para ahli saja masih patut untuk dikritisi, sebelum adanya tes sampel yang menunjukkan memang itu adalah penangkalnya.
Justru yang patut dipertanyakan adalah, apa tendensi dari beberapa dokter itu yang bilang kalau virus corona memang sebuah konspirasi?
Ingin rasanya membalas semua argumen para pecinta konspirasi yang ada di sosial media. Namun saya batalkan, buru-buru menghapus semua kalimat yang sudah saya ketik. Karena saya tahu kalau argumen bakal ditolak mentah-mentah. Lantas mengganti dengan “Guobloooook”. Seketika lega hati saya.
Eh bentar ya, tiba-tiba ada yang DM ngirimin invoice buat ke Bali.
BACA JUGA Demi Kebaikan, Sebaiknya Pedagang Jangan Menerapkan Tarif Seikhlasnya atau tulisan-tulisan Achmad Bayu Setyawan lainnya di Terminal Mojok.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.