Tidak semua orang yang ikut bela diri pencak silat adalah atlet. Tidak semua atlet pencak silat bisa menjadi wasit juri. Tetapi, wasit juri pasti pernah menjadi atlet. Nah, saya adalah pengecualian. Belum pernah jadi atlet, tapi jadi wasit dan juri.
Saat itu hari Rabu di rayon tempat latihan, SMAN 3 Blitar, latihan pencak silat telah usai. Saya yang baru saja melatih, tiba-tiba dipanggil pelatih senior, Mas Imam. Tiba-tiba saja saya ditawari menjadi wasit juri pertandingan pencak silat Kridha Siswa tingkat kecamatan, bersama Mas Juliadi. Hah? Wong saya midek sikil (menginjakkan kaki) di gelanggang saja nggak pernah (maksudnya menjadi atliet), kok ujuk-ujuk jadi wasit juri?
Ah iya, mungkin ada yang bertanya-tanya, bukankah wasit dan juri itu berbeda? Iya memang berbeda. Wasit adalah orang yang memimpin pertandingan. Sedangkan juri adalah yang menilai dan memutuskan kalah atau menang.
Untuk pertandingan pencak silat, seseorang bisa bergantian peran menjadi wasit dan juri. Hal ini karena pertandingan pencak silat yang per pertandingan waktunya minimal tiga menit. Belum kalau ada pesilat sudut netral atau cedera. Satu hari bisa sampai ada seratus partai. Partai dalam hal ini adalah pertandingan.
Maka, tidak mungkin seorang wasit sehari jadi wasit terus. Lelah juga. Butuh duduk juga. Begitu pula juri, juga pegel kalau duduk terus. Eh iya, dalam satu partai terdapat lima juri dan satu wasit yang berperan bergantian.
Sebagai rayon di bawah kecamatan, demi kesuksesan acara, per rayon diminta mengirim dua orang pelatih untuk menjadi wasit juri. Ya saya paham sih, untuk meminimalkan dana. Maka dari itu, wasit jurinya beberapa ada yang masih newbie, seperti saya dan Mas Juliadi.
Saya menerima tawaran dari ketua rayon tersebut. Lumayan untuk menambah pengalaman dan merasakan berada di atas gelanggang.
Hampir setiap hari kami belajar untuk persiapan pertandingan. Dari pertemuan tersebut, saya menyadari bahwa mereka yang diwakilkan untuk menjadi wasit juri pernah punya pengalaman sebagai atlet. Atau setidaknya pernah ikut pertandingan. Mas Juliadi juga demikian. Di situ saya merasa hanya remahan rempeyek.
Ya, sebenarnya saya dulu pernah hampir ikut pertandingan. Sudah mengambil formulir. Sudah berlatih selama beberapa minggu. Eh, mendekati hari H pendaftaran, kedua orang tua melarang saya ikut. Keinginan saya kandas.
Saya memahami orang tua yang terlalu melindungi. Mereka takut kenapa-kenapa. Duh, kenapa nggak dari dulu saya dilarang ikut pencak silat? Toh buktinya selama saya ikut silat, saya nggak kenapa-kenapa. Meski lecet sedikit.
Wong ya setiap pertandingan itu pakai body protector, melindungi bagian tubuh vital dari benturan, pukulan, atau tendangan sehingga risiko cedera akan berkurang. Ya sudah, saya manut apa kata orang tua saja.
Kembali ke latihan menjadi wasit juri. Saya belajar tanda-tanda isyarat. Bagaimana empat serangan harus berhenti, pembinaan, teguran, jatuhan sah dan tidak sah, pesilat sudut netral, dan lain-lainnya. Saya juga belajar menilai pukulan dan tendangan yang tepat sasaran, elakan, jatuhan, tangkisan, dan lain-lain.
Hari H tiba, seragam kami berwarna putih sedangkan pesilat mengenakan seragam hitam. Saya merasa keren gitu pakai seragam wasit juri. Dan paling utama, menginjakkan kaki di gelanggang untuk pertama kalinya sebagai wasit juri, bukan sebagai atlet pencak silat. Suatu kebanggan bagi diri sendiri. Oh jadi gini rasanya.
Tapi mungkin karena baru pertama kali dan lumayan grogi, saya melakukan suatu kegoblokan yang kebangeten. Ketika pesilat salah satu sudut melakukan kesalahan dan mendapat teguran pertama, saya salah mengangkat tangan. Harusnya mengacungkan tangan kanan, malah mengacungkan tangan kiri.
Ketua pertandingan pun memencet-mencet bel, tanda ada yang salah. Saya malah kebingungan. Padahal bukan sedang pesilat sudut netral. Ketua pertandingan meneriakkan kata kanan. Saya belum ngeh. Agak lama, akhirnya saya menyadari ketololan saya. Cepat-cepat saya angkat tangan kanan untuk mengisyaratkan teguran pertama. Astaga.
Hal yang paling mendebarkan saat menjadi wasit adalah ketika salah satu atlet pencak silat jatuh dan tak segera bangun. Niat hati ingin menolong, tapi kami harus menghitungi sampai sepuluh. Jika lebih dari hitungan sepuluh, dinyatakan tak bisa melanjutkan pertandingan.
Karena keterbatasan penglihatan pula, kadang kami diingatkan oleh ketua pertandingan dengan sudut netral. Semua juri dipanggil menghadap wasit. Menanyai para juri, apakah benar yang dilakukan wasit? Benarkah keputusan wasit? Apakah jatuhannya sah atau tidak? Apakah pukulannya masuk atau tidak? Karena sekali lagi, juri berada melingkari gelanggang. Bisa jadi apa yang dilihat juri tidak dilihat oleh wasit.
Dan ternyata betapa melelahkannya menjadi wasit dan juri. Saya merasa lebih lelah dari atlet pencak silat karena harus selalu di gelanggang. Sedang atlet pencak silat, jika tidak bertanding, bisa istirahat sambil menonton pertandingan. Kami hanya punya waktu istirahat satu jam ketika siang hari dan kurang lebih dua jam di sore menjelang malam. Kami tak seleluasa atlet. Kami harus menjaga stamina hingga pukul sebelas malam.
Kami juga salah satu wujud dari lagunya Armada, pergi pagi pulang pagi, hanya untuk mengais rejeki, doakan saja aku pergi, semoga pulang dompetku terisi. Bagaimana tak pulang pagi, rata-rata pertandingan pencak silat dalam satu hari selesai pukul 00.00, kok. Dan besok harus pergi lagi pagi, sebelum pertandingan dimulai.
Sumber gambar: Wikimedia Commons.
BACA JUGA Surat Hanoman kepada Sinta dan tulisan Ervinna Indah Cahyani lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.