Saya akui, saya mungkin di antara orang yang terlambat dalam mencintai Gus Dur. Keterlambatan saya untuk mencintai sosok guru bangsa ini disebabkan saya dulu masih terlalu ingusan untuk memahami pemikiran-pemikiran beliau mengenai situasi yang terjadi di negeri ini, dan mengenal pandangan-pandangan beliau tentang keadaan yang terjadi di negara-negara lain.
Meski dulu, pada tahun 1999, saat beliau hendak diangkat menjadi presiden menjadi bukti bahwa beliau bukan sosok yang sembarangan, amun lagi-lagi, karena kedunguan saya, pada akhirnya pun saya membantah tentang kehebatan beliau dengan sebuah pertanyaan yang penuh keraguan, apa yang bisa dilakukan oleh beliau, sementara beliau—mohon maaf—tidak bisa melihat?
Dalam akal polos saya yang waktu itu masih duduk di bangku kelas 6 MI, terus terang waktu itu saya masih bingung dengan apa yang akan dilakukannya sementara beliau tidak bisa melihat keadaan bangsa, dan terlebih lagi beliau tidak bisa membaca karena kondisi fisik yang memang demikian.
Waktu terus berlalu dan saya yang hanya disibukkan dengan rutinitas belajar pelajaran-pelajaran sekolah menjadikan saya acuh dan sama sekali dan tidak tertarik dengan keadaan politik di negeri ini.
Rasa penasaran saya pada mantan presiden keempat ini baru muncul pada saat saya menjadi mahasiswa baru tahun 2006. Pada waktu itu, salah seorang teman kuliah saya, Emyra Salim Ogara, selalu senang mengutip perkataan dari Ahmad Dhani, Gus Dur adalah sosok yang terlalu maju untuk negeri ini.
Respons saya atas ungkapan teman saya tadi di dalam hati, apakah benar beliau itu sebegitu majunya? Dan jika memang benar, mana buktinya? Pertanyaan khas mahasiswa baru yang sok kritis dan idealis.
Saya yang waktu itu terlalu menyibukan diri dengan kegiatan perkuliahan seakan tidak sempat untuk meneliti kehebatan, sepak terjang yang telah dilakukan sosok yang bernama lengkap Abdurrahman Wahid ini di kancah perpolitikan nasional maupun global.
Ditambah lagi, latar belakang saya sebagai seorang mahasiswa polos yang mengambil Jurusan Manajemen di Fakultas Ekonomi, seakan semakin menguatkan angan saya bahwa politik itu tidak ada kaitannya sama sekali dengan ilmu ekonomi yang saat itu saya pelajari. Padahal jika saya kembali mengingat hal itu, rasanya saya ingin terus tertawa karena kebodohan saya.
Rasa cinta saya kepada salah seorang cucu dari KH Hasyim Asy’ari ini barulah muncul pada saat salah seorang teman saya yang bernama Lutfi Aminulloh memutar video beliau saat diwawancarai dalam program Kick Andy. Barulah waktu itu saya sadar sesadar-sadarnya, bahwa beliau bukanlah makhluk dari planet ini. Namun berasal dari planet lain. Beliau adalah the allien. Jika dalam dunia sepak bola mungkin beliau akan disetarakan dengan Lionel Messi.
Dalam tayangan itu beliau tampak begitu lincahnya dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan Andi F Noya yang terkenal kritis dan ‘licin’ dalam bertanya. Gus Dur seakan paham betul, mana pertanyaan dari Andy itu yang serius dan mana pertanyaan yang jebakan.
Jika pertanyaan itu serius, maka beliau akan spontan dalam menjawab. Dan jika itu pertanyaan jebakan, beliau dengan mudahnya menyerang balik si penanya untuk bertanya langsung pada pihak yang berkaitan. Dalam gumam saya, sungguh kejeniusan yang tidak mungkin akan saya tandingi meski saya harus belajar sekian tahun lagi dengan titel yang berjejer-jejer.
Di samping cerdas, siapa pun pasti tidak ada yang membantah bahwa Gus Dur merupakan sosok yang sangat humoris. Terbukti pada saat diwawancari di acara tersebut, beliau selalu mampu menutup penjelasannya dengan joke yang diiringi riuhnya gelak tawa seluruh audience yang hadir di studio. Jika meminjam istilahnya para komika, beliau bisa membuat suasana menjadi ‘pecah’. Dan itulah puncak keberhasilan dari seorang komika. Menyaksikan kepiawaian beliau ini saya pun menjadi semakin minder, bahwa saya tidak akan pernah mampu menandingi kelucuan beliau meski harus bereinkarnasi ribuan kali.
Itulah momen yang mampu membangkitkan rasa cinta saya pada sosok guru bangsa ini sekaligus membuat saya semakin penasaran untuk terus menelusuri sepak terjang beliau dalam perpolitikan bangsa ini. Selain itu, saya pun juga semakin penasaran untuk menelusuri latar belakang beliau sehingga beliau mampu menjadi sehebat itu.
Untuk mengobati rasa penasaran saya mengenai sepak terjang Gus Dur ini, pada akhirnya saya memutuskan untuk membeli sebuah buku tentang perjalanan beliau sedari kecil hingga dewasa. Bahkan saya membeli dua buku yang berbeda. Yakni novel “Peci Miring” karyanya Aguk Irawan, dan yang satunya lagi adalah “Sejuta Hati Untuk Gus Dur”, karya dari Damien Dematra.
Dari pembacaan saya pada novel biografi Gus Dur itu mengantarkan saya pada sebuah kesimpulan bahwa beliau merupakan sosok negarawan yang harus diteladani. Maka tak heran, jika petuah-petuah beliau senantiasa sering hadir untuk menjawab keresahan-keresahan bangsa sekaligus menjadi pelipur lara bagi siapa saja yang merindukan kehadirannya dalam menegakkan keadilan di negeri ini.
Beberapa hari yang lalu, kita mendapatkan berita tentang aparat kepolisian di sebuah wilayah yang memanggil seorang anak remaja yang mengunggah quote Gus Dur pada status Facebooknya. Langkah yang telah mereka lakukan ini menjadikan saya berasumsi bahwa pihak kepolisian itu barangkali berada pada dua kondisi, yang pertama, mereka belum mengenal baik siapa itu Gus Dur. Dan yang kedua, mereka sangat mengenal, mengagumi, dan merindukan Gus Dur.
Namun kemudian, untuk alasan saya yang pertama ini saya anggap jelaslah tidak mungkin bagi para polisi itu, apalagi posisi mereka sebagai aparat negara yang sedikit banyak pasti akan bersinggungan dengan beliau pada saat menjadi orang nomor wahid di negeri ini.
Dan jika mereka tidak pernah bersinggungan sekalipun dengan Gus Dur, saya kira di zaman teknologi yang sangat maju seperti sekarang ini tidak mungkinlah bagi mereka untuk tidak mengenal siapa itu sosok Gus Dur. Minimal bisa mengenal beliau melalui browsing seperti yang saya lakukan ini. Maka saya pun mengasumsikan bahwa pihak kepolisian itu sebenarnya juga seperti saya, yakni mereka adalah para pengagum Gus Dur yang senantiasa merindukan kehadiran beliau.
Pihak kepolisian yang memanggil anak cabe rawit itu barangkali ingin bertanya padanya, barangkali saja ia telah mendapatkan pesan dari Gus Dur melalui mimpinya. Kira-kira pesan apa yang beliau titipkan pada anak kecil itu untuk para penegak hukum di negeri ini melalui mimpi. Dan keterbatasan sosok polos dari anak bangsa ini untuk mengingat seluruh pesannya akhirnya ia pun hanya dapat mengungkapkannya dengan cara yang mudah yaitu melalui quote yang nyata-nyata memang pernah diucapkan oleh beliau.
Kehadiran anak kemarin bawang di markas kepolisian itu tentu saja untuk meminta maaf, sebab ia tidak mampu menyampaikan seluruh pesan Gus Dur yang begitu penting untuk disampaikan yang ia dapatkan melalui mimpinya, dan ia hanya meringkasnya dalam quote ucapannya beliau yang dulu, yang semoga saja isinya tidak kedaluwarsa.
Pihak kepolisan pun sebenarnya juga telah meminta maaf kepada seluruh bangsa ini sebab mereka secara keseluruhan belum dapat meneladani sosok Pak Hoegeng yang Gus Dur gambarkan sebagai sosok paripurna dari potret polisi yang jujur itu. Pak Hoegeng jelaslah tokoh panutan bagi seluruh aparat kepolisian manapun, dan ini tidak terbantahkan.
Dan mereka, yakni pihak kepolisian itu tentu saja ingin untuk dapat terus menandingi kadar kejujuran dari Pak Hoegeng yang telah beliau teladankan untuk negeri ini. Dalam mimpi itu, Gus Dur sebenarnya hendak berpesan, sosok polisi yang jujur di negeri ini sebenarnya bukan Pak Hoegeng saja akan tetapi masih banyak aparat kepolisian yang lainnya asalkan mereka mampu menandingi kadar kejujuran Pak Hoegeng itu.
Dan rupanya hal itulah yang menjadi keterbatasan dari anak imut itu untuk mengingat dan menyampaikan nama-nama polisi jujur yang beliau sebutkan dalam mimpi.
Namun setidaknya melalui mimpi itu, ada pesan yang kembali muncul yang patut untuk terus direnungi, yakni jalan ninja untuk menjadi polisi yang jujur adalah dengan meneladani sosok Pak Hoegeng. Semoga seluruh polisi di negeri ini dapat meneladani beliau.
BACA JUGA Tidak Ikut Menjerat Gus Dur, Tapi Saya Pernah Terlibat Dalam Penculikan Gus Dur dan tulisan Muhammad Adib Mawardi lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.