Bagi sebagian orang—termasuk saya—bekerja di gedung perkantoran merupakan suatu gengsi meski hal tersebut sudah menjadi lumrah dan biasa bagi banyak kalangan. Apalagi jika kantor yang ditempati bertingkat dan memiliki setidaknya 15-25 lantai. Sudah terbayang seberapa tingginta gedung tersebut menjulang, kan?
Percaya atau tidak, bekerja di sebuah gedung bertingkat bisa menjadi sebuah cita-cita bergengsi, seperti teman saya yang entah memang jujur atau polos menyampaikan bahwa dia memiliki harapan bekerja di gedung dan lantai yang tinggi—lantai atas—sehingga bisa melihat pemandangan atau jalan di bawah dan agar bisa bercerita pada orang tua beserta temannya di kampung, bagaimana rasanya ada di tempat yang tinggi.
Saya perlu mengapresiasi hal tersebut karena dari kejujuran serta kepolosan itu, saya langsung tersadar bahwa bahagia itu tidak perlu mewah—hal sederhana dan biasa bagi banyak orang pun bisa membahagiakan dan meninggalkan kesan menyenangkan bagi sebagian kalangan.
Saya sendiri bekerja di suatu gedung perkantoran yang memiliki 25 lantai, tempat saya bekerja di lantai 18 dan 22—iya, dua lantai dan bolak-balik tergantung kebutuhan. Soal kenapa tidak di lantai yang berurutan saja dan harus berbeda empat lantai, mohon maaf saya belum tanya lebih jauh kepada atasan saya sehingga sampai dengan saat ini belum mengetahui jawaban pastinya—lebih kepada saya sendiri pun nggak peduli, sih.
Di tempat saya bekerja, tidak semua karyawan masuk di waktu office hour—masuk pagi dan pulang sore atau petang—ada pula yang jam kerjanya shifting—tergantung jam masuk—ada yang harus masuk siang pulang tengah malam, ada pula yang masuk malam pulang pagi. Tergantung kebutuhan dan para karyawan yang sudah dijadwalkan masuk atau jaga malam, siap tidak siap, mau tidak mau harus mengikuti aturan yang berlaku—tetap masuk sesuai jadwal yang diberikan.
Sebelumnya menurut saya, bekerja di lantai 18 tidak akan mendapat gangguan dari “makhluk halus”. Sebab saya pikir, memang para hantu ini ke lantai 18 atau 22 pakai apa? Naik lift gitu? Mencet tombolnya gimana?—tentu hal ini sempat membuat saya penasaran dan ingin tahu meski terdengar konyol.
Sampai akhirnya teman saya yang sedang jaga malam bercerita, dia mendapat kejadian mistis seakan diteror oleh makhluk halus—bahkan dua teman saya diganggu dalam waktu yang berasamaan—di malam yang sama. Dimulai dari kursi yang bergerak sendiri sampai dengan botol minum yang bergeser—lagi-lagi dengan sendirinya.
Awalnya mereka tidak percaya bahkan sampai menggosok mata, khawatir mereka ngelindur atau mengantuk karena sedang jaga malam. Nyatanya, kursi kembali bergeser dengan sendirinya dan akhirnya mereka berdua langsung lari ke luar ruangan secara bersamaan sambil berteriak histeris.
Kejadian lainnya menimpa rekan kerja saya di bagian finance, yang tiap akhir bulan harus rela pulang malam karena tutup buku yang sudah menjadi rutinitas bulanan. Suatu hari, dia bercerita pulang larut malam sekitar pukul 23.50 karena pada jam tersebut pekerjaan baru saja beres dan akhirnya selesai setelah beberapa kali mengkalkulasi soal pengeluaran perusahaan serta rekapituliasi gaji karyawan.
Teman satu tim yang lain sudah pulang lebih dulu, bukan karena tidak setia kawan atau karena teman saya kerjanya lambat, tapi karena ada selisih yang harus juga diselesaikan sehingga menambah waktu dan beban kerja. Karena sudah larut malam, sebelum pulang teman saya memutuskan untuk video call istrinya terlebih dahulu sekadar memberi kabar bahwa pekerjaan akhirnya selesai dan memastikan bahwa istrinya belum tidur.
Setelah terhubung, tanpa basa-basi teman saya langsung menyapa istrinya. “Halo, Sayang. Akhirnya kerjaan aku beres sebentar lagi aku pulang, ya.”
Namun entah kenapa istrinya langsung menjawab dengan ketus, “kamu bohong sama aku ya? Katanya di ruangan sendirian!”
“Beneran kok di ruangan aku sendirian. Yang lain udah pada pulang dari jam 10,” jawab teman saya sekaligus menenangkan dan meyakinkan istrinya.
“Oh, oke. Kamu langsung pulang aja ya. Nanti aku ceritain di rumah. Hati-hati, Mas,” jawab istrinya yang langsung percaya dengan jawaban suaminya.
Setibanya di rumah, istri teman saya langsung bercerita bahwa, sewaktu video call di belakang suaminya ada seorang wanita berambut panjang sampai menutupi wajah mengenakan gaun merah yang terbilang seksi namun sosok tersebut terlihat tinggi menjulang sampai ke atap dan terlihat menjauh-mendekat juga mondar-mandir di ruangan, di belakang teman saya.
Mengetahui hal itu, teman saya langsung merinding, cuci muka dan langsung memilih untuk tidur—berharap wanita bergaun merah juga sudah pulang dari kantor sebab jika lembur terlalu lama, tidak terbayang berapa banyak uang lemburan yang harus dibayarkan oleh perusahaan.