Pandemi Covid-19 ini mengerikan. Tapi, entah bisa disyukuri atau tidak, situasi ini membuka beberapa masalah dalam dunia pendidikan. Selain tak meratanya jaringan internet pada pembelajaran online, keterbukaan penggunaan uang pendidikan (Uang Kuliah Tunggal atau UKT di kampus negeri) selama pandemi Covid-19 menjadi sangat penting untuk diketahui. Terutama, karena mahasiswa sudah tak memakai sarana-prasarana kampus, terhitung sejak pertengahan Maret hingga kini. Dan besar kemungkinan akan berlanjut sampai akhir semester ini.
Di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), berminggu-minggu mahasiswa menanti kebijakan UKT dalam kebosanan dan lelah akibat kuliah tugas online. Harap-harap cemas. Perasaan yang sama juga terjadi ketika menunggu subsidi kuota internet dari kampus, yang awalnya dikira sebanyak 30 GB, ternyata cuma 14 GB.
Kebijakan itu akhirnya keluar pada 12 Mei 2020. Rektorat UNY mengeluarkan Surat Edaran (SE) bernomor T/819/UN34/KU.00/2020 tentang Mekanisme Penyesuaian Biaya Pendidikan/Uang Kuliah Tunggal UNY pada Masa Pandemi Covid-19.
Di dalamnya, tertulis skema penyesuaian UKT yang dikelompokkan dalam empat kategori, yaitu:
- Penyesuaian UKT karena orang tua meninggal atau ekonomi keluarga bangkrut terdampak Covid-19.
- Pembebasan sementara karena ekonomi terdampak Covid-19 untuk UKT kelompok 1 dan 2.
- Pembebasan UKT semester gasal 2020/2021 bagi mahasiswa tugas akhir yang terdampak pandemi sehingga tidak bisa mengambil data.
- Pembayaran angsuran.
Menurut skema di surat edaran tersebut, mahasiswa atau orang tua/wali harus mengirim surat ke kampus dengan menyertakan data pendukung yang relevan. Data pendukung ini disahkan oleh pejabat setingkat kelurahan domisili. Sedangkan untuk mahasiswa tugas akhir, bisa memakai surat keterangan pembimbing tugas akhir. Berkas tersebut kemudian diverifikasi oleh tim verifikator untuk kemudian direkomendasikan kepada rektor UNY untuk diputuskan.
Di sinilah, setelah saya membaca dengan saksama dan lebih dari sekali, saya merasa sangsi dengan isi dan mekanisme penyesuaian UKT yang sudah dibuat UNY.
Permasalahan di kategori pertama
Pertama, syarat kategori satu yang kejam bahwa untuk mendapat diskon UKT, orang tua mahasiswa harus meninggal karena Covid-19 atau bangkrut karena Covid-19 dulu. Kalau orang tua sudah meninggal atau bangkrut, jangankan membayar UKT yang sudah didiskon, mungkin untuk bertahan hidup di esok hari saja bingung. Kenapa tidak ada belas kasih untuk mahasiswa yang orang tuan mahasiswa yang penghasilnnya menurun karena pandemi? Mengapa harus menunggu jatuh bangkrut dulu baru ditolong?
Belakangan, syarat kategori tersebut diketahui ternyata serupa dengan syarat penurunan UKT sebelum pandemi. Lha, kok sama? Entahlah. Selain itu, di kategori pertama ini, berapa besar persentase diskon yang diberikan kepada mahasiswa pun hanya pejabat UNY yang tahu.
Ada indikasi, penurunan UKT dilakukan dengan mekanisme penurunan kelompok. Tapi menurut Aliansi, cara penurunan kelompok UKT begini takkan berdampak signifikan kepada mahasiswa ber-UKT kelompok 3 ke atas. Ya bagaimana, UKT kelompok 5 tuh Rp4,8 juta, sedangkan kelompok 4 sebesar Rp4,3 juta. Kalau mahasiswa UKT kelompok 5 “diberi diskon” dengan diturunkan kelompok UKT-nya ke kelompok 4, penurunannya cuma sebesar 500 ribu.
Soal persentase, Aliansi UNY Bergerak menuntut pengembalian atau diskon UKT pada semester 2020/2021 besarnya dibuat minimal 50 persen. Karena minimal, artinya lebih dari 50 persen pun bisa. Pertimbangannya, selain karena ekonomi orang tua terdampak pandemi, mahasiswa juga sudah tak memakai sarana-prasarana kampus sejak pertengahan Maret 2020.
Permasalahan di kategori kedua
Apa landasan pertimbangan pembebasan UKT sementara hanya diberikan kepada UKT kelompok 1 dan 2? Jika alasannya kelompok ini diasumsikan berasal dari keluarga miskin, asumsi ini jadi berbahaya. Padahal di media massa sudah banyak dilaporkan, efek ekonomi pandemi Covid-19 tidak pandang bulu. Bukan cuma orang yang sudah miskin yang terpukul, 110 juta kelas menengah Indonesia (yang berpenghasilan di atas 2 juta/bulan) juga dilaporkan rentan jatuh miskin. Syarat ini jadi terasa diskriminatif seperti permasalahan di kategori pertama tadi: orang harus ambruk dan tersungkur dulu ekonominya baru dibantu.
Permasalahan di kategori ketiga dan keempat
Dua kategori ini rentan bermasalah karena syaratnya tidak mengakomodasi kerumitan di lapangan. Misal, di kategori ketiga, mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi tapi tidak bisa melakukan penelitian karena wabah, akan dapat pembebasan UKT. Kalau baru ngerjain bab 1 terus gimana dong?
Di kategori keempat, soal pembayaran angsuran, awalnya dalam surat edaran diatur bahwa pelunasan angsuran hanya diberi waktu dua bulan. Batas itu kemudian diralat setelah gerakan #UNYBERGERAK trending di Twitter, menjadi maksimal 3 kali angsuran dengan jangka waktu sesuai kemampuan orang tua yang telah disepakati dengan UNY. Lalu ada pertanyaan, kalau sudah dapat diskon UKT 50 persen, apa masih boleh membayar secara mengangsur?
***
Beberapa tahun belakangan, Rektor UNY Sutrisna Wibawa tiba-tiba jadi selebritas di media sosial karena terkenal jenaka dan melek budaya pop. Akun media sosialnya centang biru. Ia dianggap “merevolusi” UNY walau cuma bermodal pembangunan fisik, termasuk masang patung baru. Tak cukup itu, Sutrisna Wibawa yang seorang profesor filsafat Jawa jadi rektor pertama yang menginisiasi konser untuk mahasiswa dengan tiket masuk berupa nilai IPK. Rektor yujiem mana kepikiran ide seperti ini.
Sutrisna Wibawa mendadak jadi media darling. Ia kerap diberitakan sebagai rektor yang giat memposting kegiatan dan konten humoris di media sosial. Tak banyak rektor seperti itu. Dari semua media, adalah Suara.com yang sudah menyerupai media pribadinya. Hampir setiap Pak Tris memposting konten lucu, beberapa jam kemudian jadi berita di Suara. Ketika Pak Tris butuh menyatakan pendapatnya tentang persoalan kampus, Suara juga yang pertama kali menampungnya. Mahasiswa jadi suuzan, apa Suara sudah jadi humas Sutrisna Wibawa? Apalagi gerakan #UNYBERGERAK tempo hari sama sekali tak diberitakan media ini.
Namun, dalam riuhnya puja-puji, ada beberapa hal esensial yang luput dari Pak Tris. Entah sengaja atau tidak. Yakni menjamin kebebasan berpendapat dan keamanan mahasiswa dari kekerasan seksual di area kampus.
Contoh kasusnya terjadi akhir November 2019 ketika demonstrasi #TresnaUNY digelar mahasiswa D-3 dan D-4 UNY cabang Wates, Kulonprogo. Mereka keberatan mesti bolak-balik Wates dan Jogja, yang jaraknya lumayan, karena kuliah teori dan praktik ditempatkan di lokasi berbeda.
Tapi, sewaktu ada mahasiswa yang menyampaikan keluhan lewat pesan pribadi ke akun media sosial @sutrisna_wibawa, bukannya sambutan antusias dan reflektif yang diterima. Pak Tris malah membuka data pribadi mahasiswa pengkritik dan mengumbarnya ke khalayak umum di media sosial. Saya nggak habis pikir, birokrat kampus kan suka menganalogikan dirinya sebagai orang tua bagi mahasiswa, tapi masak orang tua mengumbar protes si anak?
Saat melakukan doxing, Pak Tris juga menyertakan kalimat “Bersyukur, berusaha, berprestasi dan pakailah kata-kata yang sopan”. Ini mungkin yang dinamakan Antonio Gramsci sebagai “hegemoni”. Yaitu kemampuan penguasa untuk meyakinkan golongan yang dikuasai bahwa mengkritik atau mengeluh adalah dosa. Dosanya jadi dobel-dobel ketika yang mengkritik tidak berprestasi (di mata kampus. Kalau berprestasi di luar, sangat mungkin lho kampus nggak tahu).
Hegemoni ini makin nyata jika melihat komentar-komentar di postingan Pak Tris tentang kritik yang masuk kepadanya. Ciri khas komentar mereka adalah bikin perbandingan yang sebenernya jadi kayak pamer. Biasanya dimulai dengan kalimat, “Saya dulu tak begitu”, “Menyayangkan saja mental para mahasiswa sekarang yang suka mengeluh”, dan ditutup dengan “anak muda jaman sekarang kebanyakan mengeluh”.
Ya gimana nggak mengeluh kalau situasi yang kami hadapi memang depresif. Di usia kami yang belum genap 30, kami sudah dua kali merasakan krisis ekonomi, terjebak wabah global yang terakhir terjadi 100 tahun lalu, kenyang dengan perselisihan pilpres yang mengular dari level politik tinggi sampai grup WhatsApp keluarga, disadarkan bahwa Tesis 17 Agustus adalah pesan kematian filsuf progresif, dan menyaksikan sendiri konsolidasi oligarki makin menjadi.
Dan sebagian besar kami harus mengalami itu semua dengan kondisi ekonomi keluarga yang tak baik-baik saja.
Memposisikan diri sebagai selebgram dan pejabat negara sepertinya cukup tricky bagi (admin?) Pak Tris. Sering, berbagai kritikan hanya ditanggapi secara template, agar “bersyukur dan berusaha”. Tapi, suatu petang, akun Pak Tris pernah sangat intimidatif saat menjawab kritikan soal Uang Pangkal Pengembangan Akademik (UPPA). Twit yang begitu menyakitkan bagi mahasiswa, khususnya yang masuk UNY lewat Seleksi Mandiri.
Kebijakan UPPA bagi mahasiswa baru seleksi mandiri diterapkan pada tahun 2018. Setahun setelah SW ditetapkan sebagai Rektor UNY. SW berdalih bahwa ada peraturan menteri untuk mahasiswa seleksi mandiri yang memperbolehkan menarik biaya sumbangan pembangunan institusi. Entah benar ada-tidaknya peraturan menteri tersebut, adanya UPPA di UNY adalah sebuah pengkhianatan pada sistem bernama Uang Kuliah Tunggal (UKT).
UKT merupakan sistem pembayaran biaya kuliah yang ditujukan untuk menyederhanakan pembayaran biaya kuliah dan mengantisipasi adanya pungli. Sehingga pembayaran biaya kuliah hanya dilakukan sekali setiap semester. Serta, dengan diberlakukannya sistem UKT, maka biaya sumbangan institusi, uang gedung, biaya administrasi, biaya KKN-PPL, UPPA dan lain sejenisnya ditiadakan. Secara serentak, semua perguruan tinggi negeri mulai memberlakukan UKT pada tahun 2013.
Dalam sosialisasinya, mahasiswa baru (maba) seleksi mandiri, kata SW, boleh memilih UPPA sebesar nol rupiah. Lantas, kalo saya ditanya maba, “Apakah nominal UPPA bisa memengaruhi seleksi penerimaan?” Jawab saya, “Bisa jadi iya”. Lha wong formulir UPPA dengan materai enam ribunya disepakati sebelum pengumuman penerimaan kok.
Pun, berdiri pada persimpangan antara selebgram dan pejabat negara, sering kali membuat Pak Tris menyikapi situasi dengan cara yang anti-klimaks. Bayangin rasanya ketika kami meminta kampus mengeluarkan subsidi kuota internet, ia malah memposting foto ini.
Menjadi influencer media sosial hak Sutrisna Wibawa kok. Kita tak bisa melarangnya. Tapi, sebagai rektor UNY, ia tidak menampakkan diri serius mau mendengarkan masalah mahasiswa soal UKT ini.
Bisa jadi UNY memang kampus dengan pelayanan impresif dalam kemudahan membayar uang kuliah, tapi ribet dalam memberi subsidi bagi mahasiswanya. Dalam mempertahankan legitimasi surat edaran penyesuaian UKT selama pandemi, Sutrisna Wibawa bersikukuh berdasarkan asas keadilan. “Jangan sama rata, harus berkeadilan, sesuai permasalahan yang dihadapi (mahasiswa). UNY akan membantu case by case,” katanya, dikutip dari Pandangan Jogja. Tapi, apakah mampu tim verifikator, secara adil, mengeluarkan putusannya? Sementara preseden kasus penurunan UKT sebelum pandemi saja sudah banyak masalah.
Bahagia membayangkan jika kelak ada keterbukaan informasi anggaran UNY selama pandemi Covid-19. UKT digunakan untuk apa, subsidi kuota internet dan sembako bagi mahasiswa rantau (kapan lagi nih dibagikan?) ongkosnya dari mana, dan seterusnya.
BACA JUGA Pak Menteri, Tolong Beri Imbauan Rektor untuk Nurunin UKT Semester Ganjil Nanti!
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.