Sadar atau tidak, selain BPN dan Pak Prabowo, kita semua pasti pernah merasakan yang namanya the bitterness of rejection di hidup kita.
Malam itu saat—saya dan keluarga sedang menyaksikan acara komedi di sebuah televisi, tiba-tiba acara favorit kami harus diskors karena ada breaking news tentang hasil sidang putusan Mahkamah Konstitusi terkait sengketa Pemilu Presiden 2019. Secara garis besar, isi beritanya ialah ketua MK Anwar Usman yang menyatakan bahwasanya menolak eksepsi termohon (kubu BPN Prabowo-Sandi) dan pihak termohon untuk seluruhnya. Artinya drama panjang tentang penolakan putusan hasil Pemilu telah diketok palu oleh MK dengan hasil kemenangan bagi pasangan calon presiden nomor urut 01 yaitu Joko Widodo dan Kiai Ma’ruf Amin. Sontak seisi rumah heboh karena kebetulan kebanyakan orang di sini mendukung pasangan calon 02. Seakan mereka semua kecewa terhadap penolakan yang dilayangkan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut.
Sebagai seorang Mas-Mas biasa aja, aku selalu punya pandangan lain tentang permasalahan tersebut. Meski tidak mendukung keduanya karena lelah untuk memilih. Kiranya saya berhak menyatakan sesuatu tentang penolakan ini. Sadar atau tidak, selain BPN dan Pak Prabowo, kita semua pasti pernah merasakan yang namanya penolakan di hidup kita.
Penolakan pertama yang berkesan di hidup saya, adalah ketika sekolah favorit menolak saya karena Nilai Ebtanas Murni (NEM) saya tidak memenuhi standar minimal. Nilai batasan masuk SMA negeri tersebut adalah 34,00 sedangkan NEM saya hanya 33,95. Bayangkan betapa waktu itu aku sangat membenci angka 00,05 yang kurang pada kertas NEM saya. Andai dulu ada sistem zonasi, tentu saya akan masuk SMA yang saya ingini.
Bila saya jadi BPN pun mungkin saya akan turut membenci angka 11,00 %. Sebab angka itu menjadi jurang pembeda antara suara Jokowi dan Prabowo—yang turut menyebabkan kekalahan pula.
Kemudian penolakan berikutnya hadir ketika saya harus merasakan rasanya ditolak dalam sebuah pergaulan. Sebagai orang yang cukup sering baca buku, tentunya pemikiran saya pun turut terinspirasi oleh banyak penulis dan tokoh politik baik dari spektrum politik kiri maupun kanan. Pernah sewaktu kuliah—kira-kira di bulan September—dalam sebuah obrolan santai mereka berbicara tentang peristiwa G30S/PKI yang kebetulan ramai waktu itu.
Mereka bersikukuh bahwa itu salah PKI karena PKI itu liberal dan atheis. Aku pun ikut dalam obrolan tersebut, dan langsung menyanggah argumen kawan saya. Aku jelaskanlah bahwa PKI itu partai bukan ideologi, sedangkan atheisme itu lebih pada penolakan keberadaan Tuhan bukan tidak percaya Tuhan—dan liberal beda dengan komunis. Dari situ nampak kawan saya mengerutkan dahi pertanda dia tidak mengerti tapi tidak ingin sepakat juga dengan apa yang saya tanggapi.
Semenjak saat itulah, ketika dia sedang mengobrol dengan kawan lain—ketika saya datang—saya dijauhi dong. Ya dengan alasan bahwa saya itu pro komunis karena membelanya. Hmm maka semenjak peristiwa tadi saya belajar bahwa ditolak dalam pergaulan hanya karena beda pemikiran itu menyakitkan.
Rasa-rasanya mungkin perasaan saya waktu itu sama dengan Prabowo dan para pendukungnya di dunia maya, yang gemar meyakini berita-berita berseliweran di beranda Facebook. Mereka membaginya dengan para teman virtualnya dengan tujuan menyampaikan pemikiran. Sayang hal itu berujung pada debat kusir di kolom komentar dan berakhir dengan unfriend atau bahkan di-block langsung oleh akun media sosial orang yang berseberangan.
Terakhir, penolakan yang paling memalukan tentunya ialah ditolak oleh wanita yang kita idam-idamkan. Hal ini selalu saya yakini sebagai peristiwa yang memberi pelajaran tentang nyadar diri.
Kira-kira waktu itu saya masih SMP. Namun saya sudah mulai naksir seorang teman wanita yang berada di kelas yang sama. Ia merupakan siswi yang cantik,pintar sekaligus modis, hal itu terlihat dari bajunya yang ketak dan roknya yang agak di atas lutut tren anak nakal waktu itu.
Namanya anak SMP kita seringlah dulu main jodoh-jodohan atau ciye-ciyean. Permainan itu biasa dimulai oleh seorang anak cewek yang doyan ngoceh, kemudian teriak-teriak, “Ciye ciye, adeuy” diikuti satu kelas manakala ada siswi cowok dan cewek duduk dalam satu meja.
Nah waktu itu saya request dan pengen banget ketika saya sengaja duduk bareng di bangku si cewek tadi langsung di “ciyein” supaya dia merasa begitu. Kebetulan si ceweknya lagi membelakangi saya. Ketika saya bergegas duduk di sampingnya, dan si cewek ngoceh mau teriak, “Ciii…” —belum selesai teriakan itu—ada yang sontak bilang “ada guru!”. Semua orang di kelas langsung duduk rapi.
Tinggalah saya dan cewek tadi yang belum ngeh saya ada di sampingnya. Eh sialnya, pas dia nengok, dia langsung teriak kaget “Ahhh Ibu tolong najis! Ada cowok jelek di samping saya!” Seluruh kelas pun mentertawakan saya dengan kerasnya. Begitu juga dengan Ibu Nani guru IPS-ku.
Well, dari situ memang aku harus sadar aku telah ditolak di tengah kelas yang hening dan di depan Ibu guru. Peristiwa tersebut membuatku sadar diri bahwa aku biasa aja dan falling in love with someone we can’t have itu benar adanya.
Ya memang Aku dan pak Prabowo pernah terlalu percaya diri di depan umum. Aku terlalu ngebet pingin deket doi, eh doi-nya nggak mau. Pak Probowo pun ingin jadi Presiden, eh 55% rakyatnya nggak mau.
Jadi, baik BPN, Pak Prabowo, dan Aku, kita semua pernah merasakan penolakan. Jadi, tidak perlu kecewa atau sampai menggeruduk MK (Masa laluKu). Lha wong sudah ditolak, apa mau dikata?