“Saya kuliah di Lembaga Pers Mahasiswa, sementara saya ikut Unit Kegiatan Mahasiswa Fakultas Ekonomi.” Begitulah kira-kira jawaban saya jika ditanya dulu kuliah apa. Hal itu murujuk pada profesi saya saat ini sebagai penulis lepas, yang bukan saya dapat berkat ijazah Sarjana Ekonomi yang saya miliki. Saya senang dengan pekerjaan sekarang ini, kecuali bagian bahwa kadang saya masih harus menulis tentang sinetron India.
Saya bergabung dengan pers mahasiswa sejak semester tiga atas anjuran teman. Itu keputusan iseng. Waktu itu saya bosan setelah dua semester hanya disibukkan dengan safari antarkos teman yang tidak ada juntrungannya.
Bahkan saya juga tidak ada bayangan hal-hal yang dilakukan di LPM. Namun, di situlah tempat saya mulai membaca, meliput, serta menulis. Hal itu merupakan titik awal menuju pekerjaan saya sebagai penulis lepas di sebuah media online saat ini.
Sebelum secara “resmi” menjadi penulis lepas, kepala biro si media yang berada di Yogyakarta meminta saya datang untuk wawancara. Sepertinya wawancara itu untuk menentukan rubrik yang harus saya isi ke depannya.
Saya bingung. Tidak ada ketertarikan khusus terkait tema tulisan. Sebenarnya saya suka menulis tentang sosok, namun untuk penulis lepas, rubrik itu bukan jatahnya. “Saya suka nonton film, Mas,” demikian jawaban spontan saya hanya karena sebelumnya sedang menonton drama Korea Selatan berjudul Voice.
Itu hanya celetukan spontan. Tidak ada ketertarikan tentang film atau dunianya. Belum tentu dalam sebulan saya menonton satu film saat itu. Tapi, untuk mencari aman dan mendapat kesempatan bergabung sebagai penulis lepas, jadilah rubrik film itu saya ambil.
***
Sejak memutuskan menulis tentang dunia perfilman, minat saya mulai terbentuk. Banyak hal yang saya pelajari tentang film yang kemudian membuat saya tertarik. Sejak saat itu, setiap minggu minimal satu kali saya menonton film di bioskop. Apabila sedang banyak waktu luang (dan uang), bisa dua kali atau tiga kali. Memang itu terbilang jarang untuk orang yang mengaku menyukai film, tapi bagi saya yang baru belajar, hal itu sudah lumayan.
Selain menonton film di bioskop, saya lebih sering menonton secara streaming. Alasan utama tentu karena lebih murah bahkan gratis. Sebatas informasi, teman saya yang menyukai film, sebulan bisa menonton 30 film di bioskop. Hal itu bisa berarti setiap hari ke bioskop, atau sehari bisa nonton lebih dari satu atau dua film di bioskop.
Saya sering menulis tentang jadwal penayangan film, berita seputar film, atau sinopsis. Dalam menulis sinopsis bisa merujuk pada film atau serial. Banyak yang mengira bahwa tulisan saya tentang film merupakan hasil dari menonton. Mereka salah besar. Apabila hanya sebatas tulisan sinopsis, tentu menonton trailernya saja sudah cukup.
Namun hal itu pernah jadi bumerang, terutama untuk trailer film serial yang sudah memiliki beberapa musim. Pernah saya menulis trailer serial Game of Thrones (GoT) musim kedelapan yang merupakan musim terakhir. Dalam trailer pertama yang singkat, saya hanya berisi gambar-gambar simbolis es yang membekukan patung serigala dan naga serta api yang melahap singa. Kemudian dua elemen itu bertemu dan membuat sebuah gumpalan hitam yang mengerikan.
Dari trailer tersebut, kurang lebih saya menulis bahwa kekuatan es dan api akan bertemu. Mereka akan bertempur dan kemudian menciptakan sebuah kehancuran dan malapetaka.
Tidak lama setelah tulisan itu diunggah, ada salah satu teman yang chat personal. Dia mengirim link tulisan tersebut sembari berkata, “Kamu enggak nonton GoT ya?”
Itu salah satu hal paling memalukan sebagai seorang penulis. Menulis tanpa tahu apa yang ditulis. Pertanyaannya itu merujuk pada tulisan saya yang tidak menyentuh esensi cerita GoT sama sekali. Ternyata simbol api merupakan sebuah simbol naga dari karakter Daenarys Targaryen, seorang perempuan kuat yang hendak menggulingkan raja dari tujuh kerajaan. Kala itu raja dari tujuh kerajaan berasal dari klan Lannister dengan simbol singa. Daenarys memiliki peliharaan tiga naga yang bisa menyemburkan api. Sementara es merupakan simbol dari White Walkers, pemimpin pasukan zombi dari tempat bersalju yang kemudian akan menjadi lawan Daenerys.
Sejak peristiwa itu, saya menonton tujuh season GoT secara maraton. Usaha menonton secara maraton juga untuk berjaga-jaga, apabila mendapat tugas untuk menulis sinopsis per episode GoT season kedelapan. Dan benar saja, saya mendapat tugas untuk menulisnya. Setidaknya sudah ada bayangan tentang cerita secara utuh. Dan yang pasti, saya tidak akan mendapat chat personal lagi dari teman perkara “menulis tanpa tahu isinya.”
Kebetulan serupa juga terjadi saat menonton serial anime Naruto. Ada total 500 episode. Saya menonton itu setiap hari selama satu setengah bulan. Sebagai bayangan, satu episode berdurasi sekitar 25 menit.
Beberapa hari setelah itu, saya mendapat tugas untuk menulis sinopsis dan preview serial anime Boruto: Naruto Next Generation, serial lanjutan Naruto. Pengalaman saya menonton Naruto sebelumnya sangat membantu untuk menulis tentang Boruto.
Penugasan menulis Boruto lantaran serial tersebut tayang di salah satu stasiun televisi Indonesia. Jadi setiap ada film atau serial yang tayang di televisi, saya menulis sinopsis atau preview-nya. Di sinilah penyiksaan itu terjadi, selain serial anime, saya mendapat tugas untuk menonton serial atau sinetron India berjudul Yeh Teri Galiyan dan Meri Durga.
***
Sejak menulis dan lebih tahu banyak tentang dunia film, saya sangat menikmatinya. Bahkan saya sempat berujar dalam hati, “Misal pun saya tidak mendapat bayaran dari menulis film, saya akan ikhlas.”
Namun, kita tahu bersama, setiap ada kebahagiaan, penderitaan tidak jarang mengikuti. Dan penderitaan itu adalah menonton Yeh Teri Galiyan dan Meri Durga. Dua sinetron asal India itu tayang di salah satu stasiun televisi Indonesia.
Coba saja Anda menonton Yeh Teri Galiyan. Sebelum masuk esensi cerita atau detail adegan, Anda sudah lelah duluan dengan teknik kamera zoom-in yang dilakukan terus-menerus. Pernah saya coba menghitungnya, tapi tetap tidak sanggup saking banyaknya. Teknik zoom-in memang sering dipakai di sinetron atau acara reality show. Hal itu menunjukkan bahwa ada hal penting atau mengagetkan yang terjadi. Pada dasarnya, adanya hal itu sudah mengganggu, apalagi ditambah pengulangan yang berpuluh-puluh kali, seperti “neraka” kecil di dunia. Sialnya, teknik zoom-in juga sering dipakai pada adegan yang biasa saja. Tidak ada yang penting, tidak ada yang mengagetkan. Tidak kontekstual.
Kemudian kita masuk ke adegan. Di sinetron Yeh Teri Galiyan, ada sebuah adegan manakala karakter Shantanu yang tadinya baik kemudian berubah menjadi jahat. Sebelumnya dia merasa bahwa Asmita, sahabat sejak kecil serta cinta sejatinya, telah menjebak dan memasukkannya ke penjara.
Kini Shantanu merupakan orang yang jahat, terutama di hadapan Asmita. Pernah dia mengenakan jas tanpa memakai pakaian dalam, entah kaos atau sejenisnya. Pemandangan yang membuat mata sakit. Setelah itu, dia memarahi Asmita yang datang ke tempatnya. Dia mengusir Asmita yang kala itu meminta bantuan. Setelah mengusir, entah apa yang terjadi, Shantanu melepas jasnya dan bertelanjang dada. Kemudian Shantanu memainkan drum yang tiba-tiba sudah ada di dekatnya. Perlu saya sampaikan, tidak ada kaitannya cerita dengan hal-hal berbau musik. Sinetron ini seputar percintaan dan perebutan harta keluarga, premis cerita yang sangat sering dipakai untuk sinetron.
Saya melihat adegan memainkan drum adalah cara sutradara membuat Shantanu terlihat keren. Tidak lama setelahnya, ada perempuan yang berpakaian mini menghampiri. Usaha untuk membuat Shantanu menjadi lebih keren lagi, sepertinya. Hal-hal macam ini sangat mengganggu rasionalitas berpikir. Dan ingat, itu baru salah satunya. Masih banyak adegan-adegan lain yang serupa.
Belum lagi masalah alur cerita. Banyak sekali ketidaksengajaan yang berulang-ulang. Shantanu sering kali secara tidak sengaja mendorong orang yang berakibat pada kematian atau luka parah. Pernah dia tidak sengaja mendorong ibunya ke jurang serta kakaknya dari atap hotel. Sudah kebetulan yang dipaksakan, orang yang terdorong dari jurang masih sempat berbicara banyak hal. Astaga. Adegan-adegan sebagai bagian dari plot yang dipaksakan merupakan salah satu jenis “kekerasan” dalam dunia perfilman.
Serial Meri Durga lebih mendingan. Cerita dan adegannya cukup halus, walaupun berbelit. Seakan karakter utama sebagai protagonis selalu mendapat masalah yang tak berkesudahan. Namun, satu hal yang paling mengganggu adalah kebiasaan geleng-geleng para karakternya. Walaupun tidak ikut geleng-geleng, rasanya ikut capek.
Hal-hal yang saya tidak suka dari sinetron tersebut bukan berarti saya membenci film atau sinetron India secara keseluruhan. Saya sangat suka dengan film-film Aamir Khan atau Shahrukh Khan. Saya hampir menonton semua film Aamir Khan dan sangat menikmatinya. Namun untuk dua serial itu, terutama Yeh Teri Galiyan, mungkin Anda perlu merasakan sensasi menderitanya langsung.
Setelah menonton sinetron itu, saya sering melihat film yang saya pastikan itu bagus. Sebuah usaha untuk menawar “racun” yang masuk melalui mata.
BACA JUGA Mencari Satyameva Jayate yang Hilang di Perguruan Tinggi dan tulisan Sirojul Khafid lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.