Saya bukan orang yang rutin olahraga. Paling-paling cuma jogging atau sepedaan waktu pagi hari, itupun jarang. Jadi, ketika akhirnya memutuskan buat mendaki gunung untuk pertama kalinya, bisa dibilang itu keputusan yang agak nekat. Dan lebih nekat lagi karena gunung pertama saya adalah Gunung Lawu via Candi Cetho, jalur yang kata orang sih nggak ramah buat pemula. Apalagi yang belum pernah muncak.
Waktu itu memang saya dan seorang teman saya sudah merencanakan dari jauh hari buat naik ke gunung. Saya tertarik soalnya saya suka melihat pemandangan alam, sekaligus pengin menjajal kamera yang baru saya beli buat motret tanaman atau hewan unik yang ada di gunung.
Keputusan akhirnya jatuh buat muncak ke Lawu, dengan alasan teman saya pernah sekali ke sana walau belum sampai puncak. Ini jadi sebuah “bekal” tersendiri bagi kami. Karena kami cuma dua orang, kalau keduanya nggak ada pengalaman sama sekali bisa gawat.
Lika-liku muncak di Gunung Lawu, HP hampir hilang
Karena kami berangkat dari rumah terlalu siang, alhasil sampai di Karanganyar sudah sore hari. Kami memulai perjalanan dari basecamp sekitar jam 4 sore. Jalur awal dari bawah hingga pos 3 cenderung tertutup, gelap, dan kadang becek. Beberapa kali saya sempat tergelincir. Waktu sudah menunjukkan sekitar jam setengah 7 malam ketika saya melewati pos 2. Mulai agak panik juga karena suasananya makin gelap, walau sebenarnya saya sudah menyiapkan senter.
Saya termasuk orang yang suka ngos-ngosan. Jalan baru beberapa meter, harus istirahat. Di tengah perjalanan itu, saya sempat kehilangan HP. Baru sadar setelah berjalan cukup jauh ke atas. Mau tak mau, saya harus turun lagi, setengah berlari, sambil berharap HP masih di tempat yang saya perkirakan.
Tapi begitu sampai di lokasi perkiraan, HP sudah tak ada. Panik? Jelas. Saya sudah berpikiran aneh-aneh apalagi suasana sudah gelap sekali. Bahkan saya sempat berpikir buat nggak lanjut dan turun aja. Beruntung sekali, ternyata ada rombongan pendaki lain yang menemukannya dan mengamankannya. Rasanya seperti diselamatkan dari bencana kecil. Terima kasih banyak buat mas-mas baik hati di Gunung Lawu itu. Saya benar-benar bersyukur.
Namun, tenaga saya sudah terkuras banyak karena insiden itu. Akhirnya, saya dan teman saya memutuskan untuk ngecamp di pos 3. Kami tiba sekitar jam 9 malam, hawa sangat dingin, dan tubuh rasanya sudah mau ambruk.
Habis ngecamp di Gunung Lawu, harapannya sih jalurnya enak…
Awalnya berencana lanjut pagi-pagi sekali, tapi rasa malas dan lelah lebih besar. Jadi kami baru lanjut sekitar jam 11 siang. Dari pos 3 Gunung Lawu ke atas, jalurnya mulai terjal, tapi belum seberapa dibandingkan setelah pos 4. Setelah pos 4, jalur mulai terbuka, berdebu, dan curam. Vegetasinya makin sedikit, napas mulai sesak, tapi pemandangan di atas awan membuat semuanya terasa layak.
Dari pos 4 ke 5 menurut saya adalah bagian paling jauh. Jalurnya sedikit menurun lalu kembali menanjak curam sebelum akhirnya bertemu hamparan sabana yang luas. Kami tiba di pos 5 sekitar jam 5 sore. Tapi karena lokasinya kurang nyaman buat ngecamp, kami lanjut ke Gupakan Menjangan, sekitar 20 menit jalan dari sana.
Begitu tiba, langsung kami langsung aja mendirikan tenda buat istirahat. Sabana Gunung Lawu luas terbentang, udaranya segar, dan suasananya tenang. Rasanya seperti mendapat hadiah setelah perjuangan panjang.
Keesokan harinya, kami lanjut muncak sekitar jam 10 pagi. Di puncak, cuaca panas tapi tetap dingin. Sangat aneh bagi yang pertama kali muncak kayak saya. Setelah puas menikmati pemandangan dan berfoto di puncak, kami menyempatkan diri buat mampir ke salah satu warung di puncak, termasuk saya sempat mampir ke warung yang dikelola oleh Mbok Yem (almarhumah).
Nggak berani langsung pulang karena capek
Kami turun Gunung Lawu sekitar jam 2 siang, dan menurut saya, perjalanan turun ini lebih menyiksa daripada pas naik. Karena emang tenaga udah habis-habisan. Saya pikir, turun itu enak karena cepet. Tapi tetep aja capek. Jeda istirahat di selang berjalan saya lebih parah daripada pas naik. Kami sampai di basecamp sekitar jam 7 malam, dan menjadi yang terakhir turun di hari itu.
Karena kaki rasanya udah nggak karuan, saya nggak berani pulang malam itu dan memilih buat menginap aja di basecamp.
Gunung Lawu mungkin bukan gunung yang ramah buat pendaki yang belum pernah muncak terkhusus saya. Tapi setelah itu saya belajar banyak hal tentang kesabaran, tentang rasa syukur, dan tentang kebaikan orang asing yang tanpa pamrih menolong di tengah gelapnya jalur pendakian.
Penulis: Assyifa Furqon Gaibinsani
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 9 Jam “Menghilang” di Gunung Lawu Magetan hingga Bisa Kembali berkat Kiriman al-Fatihah
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

















