Publikasi artikel jurnal nyatanya kerap dibumbui drama yang tak menyenangkan. Salah satunya, tentu saja kalian sudah tahu: dosen yang numpang nama
Menulis artikel jurnal bagi mahasiswa bukan perkara mudah. Saya sendiri menghabiskan berbulan-bulan untuk menulis kata demi kata agar menjadi artikel yang layak dipublikasikan. Dari mencari literatur terbaru, mengolah data, hingga merangkai kata agar sesuai dengan standar akademik, semuanya kulakukan sendiri.
Setiap malam, saya rela begadang dengan ditemani kopi sebagai sahabat karib tiap malamnya. Laptop saya menjadi saksi bagaimana saya menuliskan paragraf demi paragraf, lalu menghapusnya lagi ketika merasa belum sesuai. Bahkan beberapa kali saya terdiam lama karena tulisannya yang tak cukup enak untuk dibaca. Tapi saya tetap bertahan, karena dalam hati saya ada tekad kuat untuk bisa menerbitkan karya sendiri, karya yang benar-benar lahir dari jerih payahnya sendiri.
Publikasi artikel jurnal itu ibarat ujian akhir bagi mahasiswa yang lagi sok-sokan menjadi seorang akademisi. Rasanya kayak naik roller coaster: tegang, bikin pusing, tapi bikin bangga juga kalau akhirnya terbit. Sayangnya kebanggaan itu harus dibagi dengan seseorang yang bahkan nggak pernah ikut begadang. Siapa lagi kalau bukan dosen pembimbing.
Nama beliau, bonus tak terduga
Bagaimana rasanya jika pekerjaanmu diakui orang lain, atau orang lain yang tak berkontribusi, minta dapat kredit? Nah, itu yang saya rasakan saat proses publikasi artikel.
Dosen pembimbing yang tak pernah hadir dalam setiap proses penulisan artikel, tetapi begitu saya bilang artikelnya hampir selesai, responnya santai sekali.
“Ya, Sudah bagus. Tinggal kirim ke jurnal. Oh iya, jangan lupa cantumkan nama saya juga”.
Buset. Saya yang jungkir balik, saya yang revisi sampai kepala mau meledak, saya yang pusing mikirin komentar reviewer, tapi tiba-tiba beliau dengan enteng ikut nebeng nama. Rasanya ibarat saya lari marathon sendirian, ngos-ngosan sampai garis finish, tapi pas sesi foto podium tiba-tiba ada orang lain nyelonong ikut angkat piala.
Momen itu persis kayak beli gorengan. Saya beli tempe isi lima ribu, eh teman saya nyelipin satu tempe mendoan ke kantong sambil bilang, “Nggak apa-apa ya, saya nitip” tapi pas di kost nggak diganti uangnya. Padahal ini tuh kantong gorengan penulis, bukan kotak amal.
Dan yang paling nyesek, saya nggak bisa menolak karena beliau dosen pembimbing sekaligus pengampu mata kuliah saya. Menolak berarti sama saja cari mati akademik. Bisa-bisa nilai ditahan dan bimbingan dipersulit. Jadi ya sudah, saya pasrah. Bonus nama beliau akhirnya tercantum mejeng di artikel yang lahir dari usaha dan keringat saya sendiri. Di proses publikasi artikel inilah, saya dibikin patah hati oleh dunia akademi.
Baca halaman selanjutnya




















