Tanjung Pinang, adalah ibu kota provinsi dari Kepulauan Riau. Sama seperti daerah lain yang memiliki “kembaran”, seperti Purwokerto dengan Purwokerto, Banyumas dengan Banyuwangi, Tanjung Pinang juga sering dikira Pangkalpinang.
“Masnya kerja di mana?”
“Tanjung Pinang, Mbak”
“Oh, yang di Bangka Belitung itu ya?
“ … ”
Selain sering kena salah paham, Tanjung Pinang merupakan salah satu kota yang amat sangat slow living. Banyaknya wisata pantai, kedai kopi khas melayu yang ada setiap hampir 5 meter, jalanan yang masih lengang. Wis pokoknya sangat mendukung untuk dijadikan tempat slow living lah.
Sayangnya dengan segala ke-slow living-an itu, kemajuan Tanjung pinang pun ikut-ikutan slow. Untuk ukuran ibu kota provinsi, bahkan masih kalah dengan Purwokerto tempat di mana saya tinggal dulu. Setidaknya 3 tahun ke belakang saya tinggal di sini, banyak tempat-tempat makan yang notabene viral di kota besar tapi di sini cepat tutup karena hanya laku ketika pembukaan dan ketika ada promo.
Selebihnya, sepi.
Banyak pariwisata, tapi ekonominya bergantung pada UMKM
Sebenarnya kalau dilihat potensinya, Tanjung Pinang ini bisa loh jadi seperti Bali. Pantai banyak dan mayoritas masih sangat bersih. Jika dilihat secara letak geografis, letak Tanjung Pinang malah lebih besar lagi potensinya. Jarak yang kurang lebih hanya 45 menit sampai 1 jam ke Singapura dan Malaysia kalau dimanfaatkan dengan naik pasti bakal membuat wisatawan asing tertarik untuk berkunjung. Apalagi rate harga di sini pastinya akan lebih murah dibandingkan kedua negara tetangga tersebut.
Sayangnya semua potensi-potensi ini ya hanya mengendap sebagai potensi saja.
Meskipun pariwisatanya melimpah, warga Tanjung Pinang malah cenderung bekerja sebagai pedagang UMKM. Hampir setiap halaman ruko kosong pasti dipenuhi oleh pedagang-pedagang ini. Di sekitar kontrakan saya saja, bazar UMKM ada hingga 3 lokasi, dan yang ramai paling hanya di 1 lokasi, sisanya hanya terlihat terang oleh lampu-lampu saja. Hal ini sebenarnya tidak lah buruk, tapi jika dilihat dari potensinya, sebenarnya peluang warga untuk bekerja di sektor wisata sangat terbuka lebar jika difasilitasi dengan baik.
Misalnya saja, jika dibandingkan dengan Bali. Pantai-pantai di sini sebenarnya tidak kalah bagus apalagi hampir semua pantai memiliki pasir putih. Namun, cara mengemasnya atau brandingnya masih kalah jauh dibandingkan dengan Bali yang selalu ada festival atau acara-acara bertema budaya lainnya.
Selain itu, jalan dan transportasi umumnya memang sudah ada dan terawat. Tapi ya balik lagi, karena tidak adanya promosi yang memadai, transportasi yang sudah bagus tadi hanya terparkir saja di terminal. Saya saja yang tiap kali turun dari bandara dan pelabuhan malah langsung ditawari taksi lokal yang harganya mahal dan kualitas mobilnya cenderung kurang terawat.
Akhirnya untuk cari yang lebih terjangkau sering kali memilih transportasi online, itu pun harus disinisin dulu sama opang atau taksi lokal.
Daya beli masyarakatnya rendah, padahal di Tanjung Pinang banyak orang-orang pakai mobil mewah
Meski menjadi ibu kota dari Provinsi Kepulauan Riau, daya beli masyarakat di sini tergolong rendah. Dalam waktu 1 tahun terakhir saja sudah ada 3-4 gerai makanan yang buka dan tutup. Rata-rata warung makan atau gerai yang buka di sini pasti akan ramai ketika baru buka, kemudian sepi setelah 3 bulan kemudian.
Sebenarnya kalo dilihat secara umum, daya beli yang rendah ini bukan karena perekonomiannya yang lesu. Soalnya ketika saya tinggal di sini saya banyak menemui mobil-mobil mewah yang bahkan beberapa saya tidak pernah saya temukan ketika sedang di Jakarta.
Usut punya usut, ternyata memang karakteristik orang sini yang seperti itu, atau istilah kerennya FOMO dan cepat bosan. Warung makan atau gerai tidak akan bisa bertahan lama di sini kalau cuma mengandalkan viral atau promo di awal. Warung atau gerai yang dapat bertahan lama di sini memang karena makanannya enak atau murah.
Ingin bersaing dengan Malaysia dan Singapura, tapi sama Batam saja masih kalah pamor
Jika dibandingkan dengan kota atau kabupaten lain di Kepulauan Riau, Tanjung pinang jadi salah satu kota yang jaraknya cukup dekat dengan Singapura dan Malaysia. Impian untuk bersaing, khusus pada sektor wisata, dengan dua negara tersebut sebenarnya cukup masuk akal.
Oleh karena jarak yang dekat, berkunjung ke sini hanya perlu naik kapal yang tentu harga tiketnya lebih murah ketimbang pesawat. Dengan potensi besar seperti ini, sebenarnya Tanjung Pinang hanya perlu berbenah sedikit, terutama di pelabuhan yang mereka miliki.
Sayangnya, selama 3 tahun saya tinggal di sini, yang berubah hanyalah harga tiket boarding pass yang menjadi semakin mahal. Jika kenaikan ini dibarengi dengan fasilitas pelabuhan yang makin bagus sih saya tidak masalah. Sayangnya masih sama saja sejak pertama kali saya sampai di sini.
Tidak perlu jauh-jauh bersaing dengan Malaysia dan Singapura, dengan Batam saja yang notabene masih tetangga pulau, Tanjung Pinang masih kalah. Jika disandingkan lewat fasilitas pelabuhannya memang tidak semua bagus, tapi setidaknya di Batam pelabuhan standar internasionalnya sudah ada, kotanya lebih hidup dan branding mereka sebagai kota besar di Sumatera cukup berhasil.
Jika dibandingkan dengan fasilitas umum dan rekreasi kotanya, Batam juga cukup terdepan dibandingkan Tanjung Pinang. Buktinya hanya untuk belanja saja, warga sini lebih memilih untuk pergi ke Batam ketimbang menghabiskannya di Tanjung pinang. Mereka bilang “nanggung” kalau belanja di sini, mending ke Batam sekalian, lebih lengkap.
Imbasnya, mal hanya menyisakan Hypermart dan bioskop. Jokes tentang mengapa daerah ini panas karena terdapat banyak Matahari sudah tidak relate, karena sudah tutup akhir bulan kemarin.
Ya begitu lah Tanjung Pinang. Kotanya memang slow living, tapi karena terlalu slow, jadinya sulit untuk bersaing.
Penulis: Hardika Ilhami
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Salah Kaprah tentang Kepulauan Riau yang Harus Segera Diluruskan




















