Kabar mengenai pemekaran Provinsi Jawa Timur menjadi beberapa provinsi baru terus bergulir. Salah satu wacana yang cukup santer adalah pembentukan Provinsi Mataraman. Provinsi ini disebut-sebut akan mencakup 13 kabupaten dan kota di wilayah barat dan selatan Jawa Timur, seperti Kediri Raya, Blitar Raya, Madiun Raya, Nganjuk, Trenggalek, Tulungagung, Ponorogo, Magetan, Ngawi, dan Pacitan.
Dari beberapa daerah tersebut, Kota Kediri digadang-gadang menjadi calon ibu kota Provinsi Mataraman. Namun, sebagai warga Kediri, saya merasa bahwa kota ini belum cukup siap untuk mengemban peran sebesar itu. Ada beberapa alasan mengapa saya berpendapat demikian.
Sebelumnya, saya disclaimer dulu. Betul, info ini memang sudah diklarifikasi sebagai hoaks. Tapi, saya yakin akan banyak orang yang mendorong wacana ini terjadi. Anggap saja, ini skenario andai Provinsi Mataraman beneran direalisasikan.
Renovasi Alun-alun Kediri yang mangkrak
Salah satu indikator ketidaksiapan Kota Kediri adalah proyek renovasi alun-alun kota yang mangkrak sejak 2023. Alun-alun yang seharusnya menjadi wajah utama kota, kini tertutup seng yang mengelilinginya dari semua sisi dan bahkan berubah menjadi tempat pembuangan sampah. Hal ini sangat disayangkan, apalagi alun-alun tersebut berada persis di depan Masjid Agung Kota Kediri tempat yang ramai dikunjungi warga, baik dari dalam maupun luar kota.
Dari Masjid Agung, pengunjung bisa langsung melihat kondisi alun-alun yang tak terurus. Padahal, kalau sebuah kota ingin dijadikan ibu kota provinsi, mestinya memiliki ruang publik yang bersih, layak, dan representatif. Alun-alun bukan hanya tempat santai warga, tetapi juga simbol dari keteraturan dan wajah kota secara keseluruhan.
Bandara Dhoho belum maksimal
Bandara Dhoho Kediri yang baru diresmikan pada April 2024 pun belum menunjukkan perkembangan berarti. Saat ini, informasi terakhir menyebutkan bahwa bandara ini hanya melayani satu rute penerbangan, yakni Kediri–Jakarta, dan itu pun hanya seminggu sekali. Kalau cuma rute Jakarta, lebih praktis dan hemat naik kereta api.
Minimnya rute dan frekuensi penerbangan ini menunjukkan bahwa pengelolaan bandara masih belum optimal. Padahal, keberadaan bandara bisa menjadi nilai plus bagi Kediri untuk menjadi ibu kota provinsi. Bandara Dhoho sangat potensial membuka jalur udara bagi wilayah barat dan selatan Jawa Timur, serta membantu mengurangi beban Bandara Juanda di Surabaya.
Pemerintah daerah dan pusat perlu hadir lebih serius, baik dengan mendorong pembukaan rute baru, menambah maskapai yang masuk, maupun memasarkan potensi wisata dan ekonomi kawasan sekitar bandara.
Belum ada jalan tol langsung ke Kota Kediri
Akses tol menuju Kota Kediri pun masih belum rampung. Memang, sedang dibangun dua ruas tol penting, yaitu Kertosono–Kediri dan Kediri–Tulungagung. Namun, proyek ini masih menghadapi berbagai kendala. Tol Kertosono–Kediri ditargetkan selesai pada 2027, sementara Tol Kediri–Tulungagung masih terkendala pembebasan lahan. Hingga akhir Februari lalu, sekitar 30 persen lahan terdampak belum selesai proses pelepasannya.
Ketersediaan infrastruktur jalan tol yang terhubung langsung sangat penting, terutama untuk mendukung mobilitas barang dan orang dari dan ke ibu kota provinsi. Tanpa itu, aksesibilitas Kediri akan tetap terbatas dan kurang kompetitif dibandingkan kota-kota lain.
Tata kota masih semrawut
Penataan kota juga masih menjadi pekerjaan rumah besar. Ambil contoh kawasan Jalan Dhoho, yang merupakan pusat perdagangan Kota Kediri. Jalan ini sering macet karena badan jalan dipenuhi parkir kendaraan dan pedagang kaki lima. Keadaan ini membuat lalu lintas tersendat, terutama di jam-jam sibuk.
Hal serupa juga terjadi di Jalan Pattimura, di mana banyak kendaraan parkir di badan jalan dan aktivitas bongkar muat barang mengganggu lalu lintas. Pada malam hari, pedagang angkringan bahkan menutup trotoar dengan lapak mereka, menyulitkan pejalan kaki untuk lewat.
Situasi ini menunjukkan bahwa tata kota belum tertib, dan ketidaktertiban ini akan semakin rumit jika Kota Kediri menjadi ibu kota provinsi. Pemerintah kota perlu menata ulang kawasan-kawasan ini dengan pendekatan yang adil bagi semua pihak, baik pengguna jalan, pedagang, maupun warga yang beraktivitas di sekitar sana.
Menjadi ibu kota provinsi bukan hanya soal nama dan status administratif. Ada banyak hal yang harus dipersiapkan: infrastruktur, tata ruang, transportasi, fasilitas umum, hingga kesadaran masyarakat terhadap keteraturan kota.
Saat ini, dengan berbagai persoalan yang masih membelit, dari alun-alun mangkrak, bandara yang belum aktif, tol yang belum rampung, hingga penataan kota yang amburadul, Kediri belum siap mengemban status sebagai ibu kota Provinsi Mataraman. Meskipun wacana pembentukan provinsi baru itu tidak benar, tidak ada salahnya kekurangan-kekurangan tersebut segera diperbaiki.
Penulis: Nurhadi Mubarok
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Bertahun-tahun Merantau di Kediri Bikin Saya Sadar, Nggak Semua Orang Bisa Cocok Hidup di Daerah Ini
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















