Andai Maudy Ayunda atau Najwa Shihab masih sekolah dan mendapati kenyataan bahwa UN ditiadakan, mungkin mereka akan patah hati sepatah-patahnya. Mungkin setara dengan perasaan ngenes pergi tidur masih punya pacar pas bangun tidur udah jomblo (apasih). Jika mereka sekarang masih SMA, bukan tidak mungkin kemarin beranda media sosial akan dipenuhi kekecewaan kedua orang yang mengaku sangat suka ujian ini. Terus netizen bahu-membahu meramaikan dengan komen-komen ikut bersedih, lalu ngirim protes ke Menteri Nadiem, dan membuat hestek di Twitter meminta UN dikembalikan. Totalitas bener.
Saya kira semua siswa sekarang tidak ada yang berasal dari jenis seperti Maudy atau Mbak Nana. Eh nyatanya ada. Eh ternyata salah satunya adik saya sendiri. Dia mengaku sangat kecewa Ujian Nasional batal dilaksanakan.
Saya jelas heran dan merasa perlu bertanya, kenapa kok sedih sementara anak-anak lain sorak-sorak lega? Jawabannya sederhana, karena ia sudah mempersiapkan diri menghadapi ujian tersebut. Dia ingin membuktikan diri mampu melewati ujian tersebut dengan nilai memuaskan.
Penjelasannya bikin saya sedikit paham. Bayangkan saja, sudah usaha belajar ekstra dimulai dari bangun subuh, sekolah pagi, lalu les seusai sekolah–semua kerja keras bagai kuda itu endingnya… tiba-tiba udah lulus begitu aja. Ibarat timnas yang udah latihan berbulan-bulan, tetiba pas hari-H timnas lawan mengundurkan diri karena kaos tim ketinggalan, kerasa kan sakitnya? Woiii… udah panas nih, masak nggak jadi tanding?
Belum lagi akhirnya nanti nggak ada momen perpisahan dengan teman-teman. Begitu wabah reda (amiiin), sekolah ngumumin kalau mereka sudah resmi jadi alumni. Ya ampun, mereka nggak akan mengalami prosesi pengakuan dosa selama tiga tahun sekolah, nggak akan sempat ngungkapin perasaan ke gebetan, nggak sempat bayar utang di kantin, nggak ada coret-coret. Belum lagi kalau mereka sudah berbulan-bulan juga menyiapkan konsep acara perpisahan: nyiapin baju seragam, film dokumenter, dan air mata buat nyanyiin lagu “Sampai Jumpa”-nya Endang Soekamti.
Bayangin itu saya kok jadi ikut kecewa dan sedih. Tapi ya apa boleh bikin, taat pada keputusan pemerintah saat ini sangat utama untuk kepentingan lebih besar.
Masa sekolah yang hanya terjadi sekali seumur hidup, apalagi masa SMA katanya adalah masa terbaik terpaksa harus diikhlaskan oleh adik saya dan jutaan anak sekolahan di Indonesia. Tetiba lulus, tetiba alumni; kelihatannya menyenangkan saja lulus tanpa ujian, tapi nggak ada perasaan berdebar-debar menghadapi ujian, menunggu pengumuman, berpuas diri dengan nilai hasil kerja keras.
Jadi sebenarnya UN dihapuskan tidak selalu menyenangkan. Ada kok banyak hati yang patah. Tapi ya gimana lagi.
BACA Menyantuni Anak Yatim agar Doa Pribadi Terkabul, kok Terasa Salah ya? dan tulisan Indah Setiani lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.