Skripsi menjadi momok bagi mahasiswa yang duduk di semester akhir. Proses ini menuntut mahasiswa mampu menyusun karya tulis ilmiah sebagai syarat kelulusan perguruan tinggi. Walau ada dosen yang membimbing dalam proses penyusunannya, skripsi tetap jadi tantangan tersendiri bagi beberapa mahasiswa. Apalagi bagi mereka yang tidak terbiasa dengan penulisan ilmiah.
Terhitung sejak 2023, sejumlah perguruan tinggi sebenarnya sudah menghapuskan skripsi sebagai syarat kelulusan dan menggantinya dengan tugas akhir dan proyek. Tentu saja pergantian itu menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Ada kelompok yang merasa skripsi sudah tidak relevan. Di sisi lain ada yang merasa skripsi diperlukan demi mengasah logika dan pola pikir.
Terlepas dari pro dan kontra itu, saya merasa penghapusan skripsi bisa berdampak besar mengingat proses ini sudah menjadi tradisi yang sudah lama ada. Dampaknya tidak hanya dari sisi dosen dan mahasiswa, tapi bisa menjalar hingga lingkungan kampus. Saya jadi membayangkan, apa yang akan terjadi ya kalau skripsi tidak pernah ada atau benar-benar lenyap dari perguruan tinggi ya.
#1 Usaha fotokopi dipastikan lekas bangkrut kalau skripsi lenyap
Pernah memerhatikan jika mayoritas pemilik jasa fotokopi membuka usahanya di seputaran kampus? Ya, mahasiswa adalah penyumbang terbesar utama bagi mata pencaharian mereka. Apalagi, bila para mahasiswa memercayakan penggandaan dan penjilidan skripsi mereka di tempat fotokopi tersebut.
Bahkan, di era digitalisasi saat ini, sederet perguruan tinggi tetap mengharuskan mahasiswa menyertakan hasil penelitian dalam bentuk cetak. Tak hanya itu, beberapa dosen pembimbing juga lebih menyukai naskah cetak untuk dikoreksi daripada dikirim via email. Dari sini saja, bisa diperkirakan berapa banyak peluang rupiah yang mesti pupus jika skripsi dihapus.
#2 Skripsi lenyap, jumlah peminat studi lanjut bisa anjlok
Bagi mahasiswa S2, pengalaman menyelesaikan skripsi di jenjang S1 merupakan batu loncatan untuk mendalami penelitian yang lebih berbobot. Jika pondasi krusial tersebut hilang, boleh jadi mahasiswa tingkat master akan membutuhkan waktu jauh lebih lama lantaran kebingungan. Sebab, mereka jadi sama sekali tidak memiliki bayangan soal proses penelitian di perguruan tinggi.
Ditambah lagi, mungkin saja mahasiswa justru membuat tesis dalam bentuk penelitian bertipe duplikasi yang seharusnya sudah dilewati. Seharusnya, di jenjang master atau magister mereka sudah mampu menjalankan penelitian analitis. Karena potensi menemui keruwetan ini dapat menjadi batu sandungan dan menurunkan level kepercayaan diri, boleh jadi calon mahasiswa master lantas mengundurkan diri.
Baca halaman selanjutnya: #3 Profesi psikolog …