Universitas Airlangga (Unair) menjadi primadona bagi banyak orang. Namun, tidak semua orang berkesempatan mencicipi kuliah di salah satu universitas terbaik di Indonesia itu. Saya dan kawan saya Feni termasuk orang-orang yang nggak punya kesempatan itu. Akhirnya, saya kuliah di UNESA, sementara Feni kuliah di UIN Sunan Ampel Surabaya alias UINSA.
Awalnya, kekecewaan jelas ada, terutama bagi Feni yang sudah sejak SMA sangat mendambakan kuliah di Unair. Dia sebenarnya ingin masuk ke jurusan Ekonomi di pergurutan tinggi negeri favorit itu. Akan tetapi, realita nggak selalu berjalan sesuai dengan keinginan.
Daftar Isi
Terbentur, terbentur, dan terbentur
Menyadari bahwa kehidupannya harus terus berlanjut, Feni mulai beranjak dari kekecewaan tidak diterima di Unair. Dia mendapat informasi mengenai pembukaan pendaftaran UM-PTKIN—seleksi untuk perguruan tinggi negeri di bawah Kementerian Agama. Akhirnya, dia memutuskan untuk mendaftar UINSA dengan jurusan Ekonomi Syariah dan UIN Maulana Malik Ibrahim Malang di jurusan yang sama.
Berita baiknya, Feni lolos di pilihan pertama, UINSA. Berita buruknya, dia sama sekali nggak tertarik untuk kuliah di kampus tersebut. Akhirnya, dia mencoba satu usaha terakhir, mendaftar secara mandiri dengan berharap pada jalur Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIPK). Namun, kali ini dia mulai sedikit berkompromi dengan pilihan kampusnya, yakni Unair dan UPN Jatim.
Saat itu, Feni merasa sangat percaya diri akan lolos sebagai penerima KIPK karena dia telah menjadi penerima KIP sejak SMA. Namun, Feni harus menenggak kenyataan pahit sekali lagi. Dia nggak lolos bantuan KIPK. Otomatis impiannya untuk menempuh pendidikan di Unair pun pupus. Mau tak mau, Feni harus menerima untuk kuliah di kampus yang tak pernah dia harap sebelumnya, UIN Sunan Ampel Surabaya atau UINSA.
Menemukan titik terang dari berbagai permasalahan
Seolah kegagalan lolos Unair tidak cukup, Feni kembali diuji dengan pandemi Covid-19. Kondisi ekonomi keluarga carut-marut karena ayahnya kena PHK. Dia sempat ingin mengundurkan diri ketika menginjak semester 2 karena terkendala biaya. Beruntungnya, niat tersebut ditangguhkan karena masih bisa mengajukan keringanan UKT.
Permasalahannya perlahan menemui titik terak ketika masuk Semester 3. Dia menjadi salah satu penerima BSI Scholarship. Semua biaya kuliah mulai dari semester 3–8, uang saku, sampai tunjangan skripsi ditanggung oleh beasiswa. Feni cerita, beasiswa ini adalah titik balik yang mengubah hidupnya.
Akhirnya, Feni mulai mencoba banyak hal baru seperti aktif di berbagai organisasi kampus sampai mengikuti banyak perlombaan yang difasilitasi oleh kampus. Oleh karena itu, Feni mampu membangun hubungan baik dengan beberapa petinggi kampus mulai dari dekan, ketua prodi, hingga kemahasiswaan rektorat.
Praktis, kegigihan Feni untuk terus melangkah maju membuatnya berhasil menjadi wisudawan terbaik di jurusan Ekonomi Syariah dan prestasi non-akademik terbaik UIN Sunan Ampel Surabaya.
Apakah penyesalan karena nggak kuliah di Unair masih ada?
Di dalam lubuk hati saya, sejujurnya penyesalan karena nggak diterima di Unair masih sedikit berbekas. Namun, sejauh pengamatan, kawan saya Feni justru tidak tampak ada penyesalan. Dia tidak menyesal tidak diterima di Unair dan lanjut kuliah di UINSA. Banyak hal bisa dia syukuri dengan kuliah di kampusnya saat ini.
Akan tetapi, Feni nggak menutupi kalau bara impian untuk mengenyam pendidikan di Unair masih ada. Dia berharap ada kesempatan lain bisa mengenyam bangku pendidikan di sana. Feni percaya, selama seseorang masih berusaha dan berdoa, maka hal-hal baik akan datang dengan sendirinya. Lagi pula kalau gagal lagi, dia percaya hidupnya masih akan baik-baik saja seperti yang dia jalani di UINSA selama ini.
Penulis: Dito Yudhistira Iksandy
Editor: Kenia Intan
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.