Setidaknya ada 3 hal dalam hidup yang tidak bisa kita memilih. Pertama, dari siapa kita akan lahir. Kedua, di mana kita akan lahir. Dan ketiga, apa nama yang akan melekat pada diri kita sejak lahir. Soal yang pertama dan kedua, sudah sangat jelas. Nah yang ketiga, bagi saya menjadi menarik untuk dibahas.
Dalam agama, nama adalah doa. Nama yang melekat pada diri kita adakah repesentasi doa dari orang tua, atau siapa saja, yang memberikannya kepada sang jabang bayi. Diharapkan, ia akan menjadi orang seperti nama yang melekat padanya sebagai doa. Kalau kata Cak Lontong, nama membawa rasa. Nama yang tersemat pada diri akan membawa makna tertentu, lebih bebas pemaknaanya sesuai konteks dan lingkungan.
Lain lagi kalau menurut Shakespsare, ia bilang apalah arti sebuah nama. Bunga mawar akan tetap harum baunya meski namanya bukan mawar. Saya pribadi, mungkin akan sepakat dengan Shakespare. Keindahan orang bukan ditentukan oleh keindahan nama yang melekat, tapi buah pakarti yang dilakukan kepada dirinya dan lingkungannya, baik alam maupun masyarakat. Namun demikian, saya pun tidak menafikkan kalau nama adalah doa.
Nama pula, tidak bisa selamanya menjadi representasi siapa dia. Saklitinov, bukan berarti dia orang Rusia. Rosman, bukan pasti orang Jawa ndeso kluthuk. Lukman,belum tentu ia Islam. Dan tentu saja saya, Kristianto, belum tentu beragama Kristen.
Persoalan nama memang unik. Kata orang yang pandai bersajak, ada cerita di balik sebuah nama, istilah jawanya “asma kinarya carita”. Saklitinov, belum tentu ia orang Rusia, bisa jadi ia adalah keturunan Jawa tulen. Orang tuanya memberi nama demikian karena dia lahir pada hari sabtu kliwon, tanggal tiga november. Jadilah gabungan nama semuanya nama Saklitinov.
Ada lagi orang bernama Dalwe. Ia diberi nama demikian karena waktu lahir sangatlah gampang. Dalwe adalah akronim dari medal dhewe (keluar sendiri). Ada lagi saya punya saudara bernama Tiara. Sebab, waktu ibunya dibawa ke rumah sakit ketika hendak lahiran, ia sudah lahir duluan di angkot yang membawa sang ibu ke rumah sakit. Yap, di badan angkot tersebut tertulis nama “Tiara”.
Lalu nama Rosman, belum tentu ia orang ndeso. Bisa jadi, karena orang tuanya pandai menanam bunga. Sehingga orang tuanya berharap ia akan menjadi orang yang “wangi” seperti bunga mawar.
Sebagai orang yang sejak lahir diberi nama Kristianto, ada banyak kisah yang saya alami karena nama saya sejak lahir hingga kini usia menginjak 21 tahun. Sudah tentu agama adalah soal yang sangat gampang menyulut perhatian. Ketika pertama kali orang mendengar nama Kris, Kristian, atau nama semacamnya, jamak dipresepsikan sebagai orang yang, setidaknya seminggu sekali, beribadah di gereja.
Saya masih ingat betul ketika hari pertama masuk SMA. Secara diam-diam saya mengamati nama teman-teman baru saya melalui nametag yang terjahit di baju mereka. Kala itu, saya menemukan teman yang bernama Gabriel. Tentu saya berpikir kalau dia adalah seorang nasrani. Pasalnya dia duduk bersama teman saya yang lain bernama Kristondo, yang saya tau memang seorang nasrani. Sampai pada siang hari, ketika waktu ishoma siswa muslim wajib solat jamaah di masjid, saya mendapati hal yang bagi saya mengejutkan. Saya melihat teman saya tadi, Gabriel, juga ada di masjid sedang memakai sarung habis wudhu bersiap hendak solat dzuhur berjamaah.
Setelah kembali ke ruangan, kita ngobrol sebentar. Saya mengutarakan kekagetan saya karena rupanya dia seorang muslim. Ternyata, saya pun tidak sadar kalau dia rupanya juga “mbatin” hal serupa. Dia heran juga ternyata saya seorang muslim. Sejak saat itu, saya memutuskan untuk mengganti nama panggilan saya. Ketika berkenalan dengan orang baru saya memperkenalkan diri dengan nama “Tian”, meninggalkan nama panggilan “Kris” yang sudah tersemat di keluarga, orang desa, dan teman-teman hingga bangku SMP. Kalau orang menanyakan nama lengkap baru saya bilang, “Kristianto, nama lengkap saya Kristianto, sudah paling lengkap. Tidak lebih tidak kurang.”
Ya karena memang nama lengkap saya yang paling lengkap itu satu cuma terdiri dari 10 huruf yang tersusun menjadi satu kata.
Cerita-cerita serupa, tentang kekagetan teman, masih sering saya alami hingga kini usia saya 21 tahun lebih. Sudah entah berapa orang, saya tidak bisa menghitung lagi, yang mengira saya seorang nasrani, atau menanyakan apakah saya ini seorang mualaf. Tentu setiap pertanyaan saya jawab dengan santai, “Tidak, saya muslim sejak lahir. Keluarga saya 100% muslim. Warga desa saya juga 100% muslim.“ Kadang juga saya tambahi guyonan, “Dan 100 % NU.“ Tentu, setelah itu kami tertawa bersama.
Tersesat karena salah tanya nama panggilan
Sejak saya memperkenalkan diri dengan nama “Tian”, praktis ada dua panggilan yang tersemat pada diri saya. “Tian” untuk teman SMA sampai sekarang. “Kris” untuk keluarga, orang–orang desa, dan teman yang saya kenal hingga lulus SMP. Panggilan “Tian” sama sekali asing bagi orang-orang di desa saya, bahkan tetangga samping rumah sekalipun.
Ada sebuah cerita cukup menggelitik dan merepotkan ketika teman saya harus nyasar cukup jauh ketika bertanya di mana rumah saya. Padahal, yang ditanya adalah tetangga persis samping rumah saya. Tentu itu karena tetangga saya kebingungan siapa itu Tian.
Karenanya, setiap kali teman saya hendak ke rumah saya pasti saya briefing dahulu, kalau tanya rumah sebut saja nama Kris, jangan Tian. Sekali saja saya lupa mem-briefing, nyasar sudah pasti jadi kebiasaan.
Hal yang membimbangkan lagi adalah ketika perkenalan dan deep intro bersama teman-teman baru di lingkungan islami. Ketika masuk arti nama, boleh mereka mengutarakan arti dari nama mereka. Tentu, kebanyakan berarti doa. Saya kira, mereka adalah pengikut “asma kinarya japa” yang berarti nama adalah pengharapan atau doa. Dengan pede bin semangat arti nama mereka dijelaskan secara terperinci. Tentu, sebagai teman saya mengaminkan.
Ketika giliran saya, terpaksa saya harus memutar akal agar nama saya menjadi mashook dengan identitas keimanan saya. Betapa tidak, nama Kristian, dalam bahasa Yunani berarti “pengikut Kristus“. Lakyo edan kalau saya, yang muslim sejak lahir dan InsyaAllah selalu berusaha meningkatkan keimanan ini, menggunakan definisi nama yang demikian.
Alhasil saya ceritakan saja cerita dibalik penyematan nama Kristianto pada saya. Nah kali ini jurus “Asma Kinarya Carita” saya gunakan sebaik-baiknya.
Berdasarkan cerita dari orang tua, pemberi nama pada diri saya adalah bapak saya. Ketika itu saya lahir bulan Juni 1998. Tentu kita semua paham betul kalau medio 1997-1998 adalah masa kelam perekonomian negara kita. Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika terjun bebas menyentuh Rp 16.000 per 1 USD. Uang jadi tak bernilai, barang menjadi mahal, daya beli masyarakat menurun. Kondisi inilah disebut dengan krisis moneter.
Yaaaa, sekarang Anda tau kan nama saya berasal dari mana? Dari kata krisis. Kurang jelas? Bhaik saya eja : K-R-I-S-I-S.
Bapak saya memberi nama saya Kristianto karena lahir ketika keadaan krisis. Bukan karena saya pengikut Kristus. Catat bhaik bhaik.
Tapi setelah saya pikir lama dan tentu saja dengan rasa khusnudzon, rupanya nama saya juga bisa diartikan sebagai doa. Nama saya mengingatkan pada masa kelam ekonomi negara. Diharapkan dengan menyebut nama atau setidaknya ingat nama saya, orang akan ingat untuk kemudian berupaya agar kejadian sama tak terulang. Nama saya mengandung doa agar bangsa ini tak akan pernah lagi mengalami krisis moneter. Nama saya mengandung doa agar saya bisa menjadi orang yang berguna pada stabilitas ekonomi negara. Nama saya mengandung doa agar saya bisa memberikan manfaat ekonomi bagi sesama.
Gimana, othak athik gathuk saya sudah cocok belum??
Tapi di sisi lain, nama singkat itu sangat bermanfaat ketika ujian nasional. Waktu itu, teman sebelah saya belum selesai mengisi identitas nama, saya sudah sampai kolom tanda tangan dan menuliskan kata, “Saya mengerjakan dengan jujur.”
Andai nama bisa bicara, tentu ia akan mendeskripsikan siapa empunya secara jelas. Andai nama bisa bicara, tentu tidak ada lagi rasan-rasan akibat kata dan frasa yang melekat di badan. Tapi sayangnya, nama bukanlah benda hidup. Ia hanyalah kumpulan huruf yang memiliki makna tertentu atas pemilihannya. Empunyalah, manusia, yang akan membawa nama itu menjadi besar dan harum. Ataupun sebaliknya, menjadi kotor dan dan penuh dosa.
Itulah cerita, sambat, dan curhat saya atas identitas dasar yang melekat pada diri saya. Terima kasih, Bapak. Sudah memberikan nama yang luar biasa bermakna.
Lalu, bersama namamu, kamu punya kisah apa, Slurrr?
BACA JUGA Berbahagialah Bagi Kita yang Punya Nama Pasaran atau tulisan Kristianto lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.