Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Kuliner

Sirop Belum Benar-benar Mampus meski Terus Dihajar Minuman Kemasan Seribuan

Mohammad Ibnu Haq oleh Mohammad Ibnu Haq
24 Maret 2024
A A
Sirop Belum Benar-benar Mampus meski Terus Dihajar Minuman Kemasan Seribuan

Sirop Belum Benar-benar Mampus meski Terus Dihajar Minuman Kemasan Seribuan (Unsplash.com)

Share on FacebookShare on Twitter

Minuman kemasan seribuan kini mendominasi meja tamu di rumah-rumah, mengalahkan sirop yang dulu biasa disajikan kepada para tamu.

Suatu siang saya mengajak sahabat saya berkunjung ke rumah kerabat di pinggiran kota.

“Silakan diminum,” sambut tuan rumah kepada kami.

Sahabat saya bingung. Minuman yang biasa dibeli keponakannya—yang masih duduk di bangku taman kanak-kanak—kali ini disodorkan kepadanya. Tapi karena saking hausnya, dia menyedot saja minuman kemasan itu hingga tuntas. Dalam perjalanan pulang, barulah kami berdebat. Bagi sahabat saya, minuman kemasan seukuran gelas kurang sopan jika dihidangkan untuk tamu orang dewasa.

“Ah, tapi kalau disuguhi Aqua gelas pun kamu nggak akan protes, kan?” balas saya.

“Tentu saja beda. Ini teh, Bung! Bukan air putih.”

Sahabat saya adalah salah satu dari sekian banyak orang yang belum siap dengan perubahan zaman, khususnya dalam urusan sajian penyambutan tamu. Saya tahu, dia mengharapkan menu lain yang lebih konvensional seperti sirop. Atau kalaupun harus menyajikan teh, tentu adalah teh yang disajikan dalam gelas, bukan teh kemasan gelas plastik tipis.

Itu adalah nilai yang telah berjalan sepanjang hidupnya. Tentu sahabat saya ini nggak sendirian. Banyak orang yang memiliki nilai sama.

Baca Juga:

4 Rekomendasi Minuman Indomaret yang Mengandung Vitamin biar Stamina Nggak Gampang Ngedrop

Bukan karena Rasanya Enak, Biskuit Khong Guan Dibeli karena Bisa Memberi Status Sosial

Sirop disajikan untuk tamu dalam momen tertentu

Sebagai bagian dari hidangan menyambut, sirop biasanya disajikan dalam keadaan dingin. Entah itu dengan es batu maupun sekadar dicampur air suam-suam kuku. Cocok diberikan di siang hari, ketika mentari sedang terik-teriknya.

Sedangkan teh dikeluarkan dalam keadaan panas. Biasanya disuguhkan di pagi dan malam hari. Namun, dalam suasana hari raya, teh rasa-rasanya kurang istimewa. Sirop lah yang memiliki kedudukan paling tinggi. Minuman kemasan dulu hanya dianggap sebagai jajanan anak-anak.

Berbeda dengan teh, sirop lebih diterima sebagai hal istimewa dalam momen-momen tertentu. Mungkin ini disebabkan kebiasaan kita sebagai orang timur yang menjadikan teh sebagai minuman sehari-hari sehingga keberadaan teh dirasa sangat biasa. Sedangkan sirop, meskipun nggak dicari setiap waktu, ia memiliki pengaruh dan kesan unik.

Menjelang bulan Ramadan misalnya. Coba lihat betapa banyak orang-orang yang lebih ngeh akan tibanya bulan puasa justru dari iklan sirop alih-alih kotbah Jumat. Tengoklah pusat perbelanjaan jelang Lebaran. Mana ada yang nggak mempercantik dekorasi toko dengan parcel indah —yang lagi-lagi—diisi dengan sirop sebagai salah satu peran utama.

Dulu, nggak ada parcel tanpa sirop. Memperoleh parcel tanpa sirop rasanya seperti nonton konser band GIGI tanpa Armand Maulana.

Tergusur oleh serangan minuman kemasan seribuan

Bertahun-tahun kemudian, peradaban semakin berkembang seiring dengan evolusi teknologi yang kian simpel dan serba mudah. Norma-norma dan etika pun ikut berubah. Sirop yang telah beberapa dekade menjadi primadona, kini mulai tergusur eksistensinya oleh serangan minuman kemasan seribuan.

Merek minuman kemasan seribuan ini pun macam-macam. Sebut saja ada Teh Gelas, Teh Jawa, Teh Bandulan, Teh Rio, Ale-ale, dan masih banyak lagi. Pada dasarnya semua sama. Sama-sama murah karena diracik massal menggunakan bahan baku berskala besar.

Meskipun banyak yang mengetahui dampak dari minuman kemasan seribuan, hal it nggak menyebabkan penjualannya menurun. Malah kian tahun kian ramai. Alasannya pun jelas. Minuman kemasan seribuan dipilih karena praktis.

Kita nggak perlu repot-repot pergi ke dapur. Nggak perlu repot-repot mencuci gelas kotor. Jika kemasan sudah berlubang meskipun masih ada isinya, maka—nggak perlu sakit hati karena sudah repot-repot membuatnya—tinggal dibuang ke tempat sampah. Selesai. Simpel. Harga per gelasnya pun sangat masuk akal. Lebih murah daripada parkir dadakan di Indomaret.

Kalaupun ada kekurangan itu cuma perkara cita rasa. Rasanya itu, lho, manisnya kebangetan pakai banget! Apalagi kalau sudah sampai tenggorokan. Beuuuh. Nggak tahu apakah manisnya beneran dari gula tulen atau gula jadi-jadian. Tapi yang pasti tingkat kemanisannya melebihi manisnya janji politisi.

Kalau dipikir-pikir sih perkara cita rasa memang sejatinya bukan urusan tuan rumah. Tanpa minuman kemasan sekalipun, mau menyuguhkan apa saja, ada kemungkinan nggak sesuai dengan selera tamu. Teh bisa kemanisan, kopi bisa terlalu pahit, dan sirop bisa hambar.

Lagi-lagi karena faktor kepraktisan di atas, perkara cita rasa bisa diselesaikan dengan menambah varian. Dari teh, sari buah, hingga—the one and only—air mineral. Kombinasi dari ketiganya tidak mungkin terlewatkan oleh siapa pun.

Jika minuman kemasan seribuan telah menguasai setiap jengkal meja ruang tamu, ke mana perginya botol-botol sirop itu?

Dalam tayangan iklan di televisi bisa kita cermati sebenarnya produsen sirop pun telah mengubah strateginya. Eksistensi sirop sudah bergeser. Dari yang sebelumnya produk diminum langsung dicampur air, beralih menjadi pemanis dalam produk olahan minuman atau makanan lainnya. Tengok iklan legendaris dari sirop Marjan. Adakah yang melihat scene seseorang sedang meminum sirup? Nyaris nggak ada.

Benarkah ini tanda akhir zaman orang-orang sudah nggak minum sirop lagi?

Berdasarkan pengamatan saya, 9 dari 10 orang sudah nggak minum sirop lagi dengan gaya konvensional. Masih dari pengamatan yang sama pula saya menemukan fakta bahwa lebih dari 75% orang masih menyimpan sirop dari Lebaran tahun kemarin. Entah sudah berkurang sedikit atau bahkan sama sekali belum dibuka segelnya. Anda juga, kan? Ngaku sajalah!

Sirop sebenarnya nggak benar-benar lenyap. Nilai kegunaannya saja yang telah bergeser. Sirop sudah nggak lagi dinikmati dengan segelas air seperti dulu. Ia masih bertahan meskipun terus diserang oleh geng minuman kemasan seribuan.

Sirop justru bersikap “agile” dan mencoba peruntungan di market yang lain. Ya dengan cara berkongsi sama minuman olahan macam es campur, es buah, dan es degan misalnya. Atau bisa juga berkolaborasi bersama roti macam waffle. Malah jadi menu makanan bernilai tinggi.

Jadi, jika sekarang masih ada yang minum sirop langsung dicampur dengan air, itu sama halnya seperti makan cenil pincukan dengan penusuk lidinya. Bukan hal yang salah apalagi keliru, justru berkarakter klasik dan penuh gaya.

Oh ya, ada yang mau sirop? Saya masih menyimpan 2-3 botol sisa Lebaran tahun lalu. Sudah saya coba tawarkan kepada beberapa orang, tapi mereka punya masalah yang sama.

Penulis: Mohammad Ibnu Haq
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Es Akuarium, Menu Buka Puasa Penyelamat para Pencari Takjil yang Kebingungan.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Terakhir diperbarui pada 24 Maret 2024 oleh

Tags: bulan ramadanLebaranminuman kemasansiropTamu
Mohammad Ibnu Haq

Mohammad Ibnu Haq

Sukanya mojok

ArtikelTerkait

megono

Belum Lebaran Kalau Belum Megono-an

6 Juni 2019
Lebaran Tahun Ini: Meski Raga Tak Bersama, Silaturahmi Tetap Harus Terjaga Berlutut dan Pakai Bahasa Jawa Kromo Adalah The Real Sungkeman saat Lebaran Selain Hati, Alam Juga Harus Kembali Fitrah di Hari yang Fitri Nanti Starter Pack Kue dan Jajanan saat Lebaran di Meja Tamu Mengenang Keseruan Silaturahmi Lebaran demi Mendapat Selembar Uang Baru Pasta Gigi Siwak: Antara Sunnah Nabi Atau Komoditas Agama (Lagi) Dilema Perempuan Ketika Menentukan Target Khataman Alquran di Bulan Ramadan Suka Duka Menjalani Ramadan Tersepi yang Jatuh di Tahun Ini Melewati Ramadan dengan Jadi Anak Satu-satunya di Rumah Saat Pandemi Memang Berat Belajar Gaya Hidup Eco-Ramadan dan Menghitung Pengeluaran yang Dibutuhkan Anak-anak yang Rame di Masjid Saat Tarawih Itu Nggak Nakal, Cuma Lagi Perform Aja Fenomena Pindah-pindah Masjid Saat Buka Puasa dan Salat Tarawih Berjamaah 5 Aktivitas yang Bisa Jadi Ramadan Goals Kamu (Selain Tidur) Nanti Kita Cerita tentang Pesantren Kilat Hari Ini Sejak Kapan sih Istilah Ngabuburit Jadi Tren Ketika Ramadan? Kata Siapa Nggak Ada Pasar Ramadan Tahun Ini? Buat yang Ngotot Tarawih Rame-rame di Masjid, Apa Susahnya sih Salat di Rumah? Hukum Prank dalam Islam Sudah Sering Dijelaskan, Mungkin Mereka Lupa Buat Apa Sahur on the Road kalau Malah Nyusahin Orang? Bagi-bagi Takjil tapi Minim Plastik? Bisa Banget, kok! Nikah di Usia 12 Tahun demi Cegah Zina Itu Ramashok! Mending Puasa Aja! Mengenang Kembali Teror Komik Siksa Neraka yang Bikin Trauma Keluh Kesah Siklus Menstruasi “Buka Tutup” Ketika Ramadan Angsle: Menu Takjil yang Nggak Kalah Enak dari Kolak Nanjak Ambeng: Tradisi Buka Bersama ala Desa Pesisir Utara Lamongan

Berlutut dan Pakai Bahasa Jawa Kromo Adalah The Real Sungkeman saat Lebaran

22 Mei 2020
Susahnya Orang Gemuk Cari Baju di Hari Raya dan Tips Mengatasinya

Susahnya Orang Gemuk Cari Baju di Hari Raya dan Tips Mengatasinya

23 Mei 2020
Kalau di Kota Ada Kirim Parsel, di Desa Ada Ater-ater Tipe-tipe Orang saat Menunggu Lebaran Datang Terima kasih kepada Tim Pencari Hilal! Ramadan Sudah Datang, eh Malah Menanti Bulan Syawal Ramadan Sudah Datang, eh Malah Menanti Lebaran Buku Turutan Legendaris dan Variasi Buku Belajar Huruf Hijaiyah dari Masa ke Masa Serba-serbi Belajar dan Mengamalkan Surah Alfatihah Pandemi dan Ikhtiar Zakat Menuju Manusia Saleh Sosial Inovasi Produk Mushaf Alquran, Mana yang Jadi Pilihanmu? Tahun 2020 dan Renungan ‘Amul Huzni Ngaji Alhikam dan Kegalauan Nasib Usaha Kita Nggak Takut Hantu, Cuma Pas Bulan Ramadan Doang? Saya Masih Penasaran dengan Sensasi Sahur On The Road Menuai Hikmah Nyanyian Pujian di Masjid Kampung Mengenang Asyiknya Main Petasan Setelah Tarawih Horornya Antrean Panjang di Pesantren Tiap Ramadan Menjadi Bucin Syar'i dengan Syair Kasidah Burdah Drama Bukber: Sungkan Balik Duluan tapi Takut Ketinggalan Tarawih Berjamaah Opsi Nama Anak yang Lahir di Bulan Ramadan, Selain Ramadan Panduan buat Ngabuburit di Rumah Aja Sebagai Santri, Berbuka Bersama Kiai Adalah Pengalaman yang Spesial Panduan buat Ngabuburit di Rumah Aja Pandemi Corona Datang, Ngaji Daring Jadi Andalan Tips Buka Bersama Anti Kejang karena Kantong Kering Mengenang Asyiknya Main Petasan Setelah Tarawih Rebutan Nonton Acara Sahur yang Seru-seruan vs Tausiyah Opsi Nama Anak yang Lahir di Bulan Ramadan, Selain Ramadan Drama Bukber: Sungkan Balik Duluan tapi Takut Ketinggalan Tarawih Berjamaah Sebagai Santri, Berbuka Bersama Kiai Adalah Pengalaman yang Spesial Aduh, Lemah Amat Terlalu Ngeribetin Warung Makan yang Tetap Buka Saat Ramadan Tong Tek: Tradisi Bangunin Sahur yang Dirindukan Kolak: Santapan Legendaris Saat Ramadan

Tipe-tipe Orang saat Menunggu Lebaran Datang

22 Mei 2020
Di Kampung Saya, Tarawih 8 Rakaat Dianggap Kurang Sopan. #TakjilanTerminal38

Di Kampung Saya, Tarawih 8 Rakaat Dianggap Kurang Sopan. #TakjilanTerminal38

2 Mei 2021
lebih baik setelah idul fitri

Akankah Kita Menjadi Lebih Baik Setelah Lebaran?

5 Juni 2019
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Logika Aneh di Balik Es Teh Solo yang Bikin Kaget (Unsplash)

Logika Ekonomi yang Aneh di Balik Es Teh Solo, Membuat Pendatang dari Klaten Heran Sekaligus Bahagia

30 November 2025
Mahasiswa UIN Nggak Wajib Nyantri, tapi kalau Nggak Nyantri ya Kebangetan

Mahasiswa UIN Nggak Wajib Nyantri, tapi kalau Nggak Nyantri ya Kebangetan

30 November 2025
Jogja Sangat Layak Dinobatkan sebagai Ibu Kota Ayam Goreng Indonesia!

Jogja Sangat Layak Dinobatkan sebagai Ibu Kota Ayam Goreng Indonesia!

1 Desember 2025
Bukan Hanya Perpustakaan Daerah, Semua Pelayanan Publik Itu Jam Operasionalnya Kacau Semua!

Bukan Hanya Perpustakaan Daerah, Semua Pelayanan Publik Itu Jam Operasionalnya Kacau Semua!

1 Desember 2025
Sudah Saatnya Bandara di Indonesia Menjadi Ruang untuk Mempopulerkan Makanan Khas Daerah

Sudah Saatnya Bandara di Indonesia Menjadi Ruang untuk Mempopulerkan Makanan Khas Daerah

3 Desember 2025
4 Aturan Tak Tertulis Berwisata di Jogja agar Tetap Menyenangkan Mojok.co

4 Aturan Tak Tertulis Berwisata di Jogja agar Liburan Tetap Menyenangkan

30 November 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=HZ0GdSP_c1s

DARI MOJOK

  • Lagu Sendu dari Tanah Minang: Hancurnya Jalan Lembah Anai dan Jembatan Kembar Menjadi Kehilangan Besar bagi Masyarakat Sumatera Barat
  • JogjaROCKarta 2025: Merayakan Perpisahan dengan Kemegahan
  • Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar
  • Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada
  • Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama
  • Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?


Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.