Saat adzan zuhur tiba, aku melihat segrombolan anak TK yang hendak pulang dengan wajah masam yang dijemput oleh para orang tua pada saat bulan puasa seperti ini. Hal ini membuatku teringat cerita di masa lampau yang efeknya cukup membekas hingga sekarang—di zaman yang serba tidak enakan menolak ajakan teman yang kadang menjelma menjadi setan.
Bagaimana tidak menjadi setan jika siang terik matahari di Jogja yang sudah jelas buat iman mencair seperti keringat mengalir di antara kaus singlet begini diajak masuk Mall Lippo buat beli Cha Cha Milktea—haduuuh mboke, anakmu tergiur nih.
Singkat percakapan mungkin seperti ini saat aku masih usia dini. Saat itu waktu azan zuhur.
Aku : Umi, aku udah nggak kuat. Buka sekarang saja ya nanti lanjut lagi puasa nya? (aku memasang muka melas sambal memegangi perut)
Umi : Sebentar lagi kok azan Maghrib.
Aku : Minum dikit aja, nggak makan kok.
Umi : Ya udah, nggak apa-apa minum aja. Nanti beli buat lebaran baju saja ya—celana nya nggak usah.
Aku : Yah, Umiii…
Aku merajuk hingga panjang sekali napas yang kuhela setelahnya—saat itu aku masih kecil dan duduk di bangku TK.
Itulah kunci belajar puasa yang diterapkan oleh seorang wanita yang kusebut sebagai Umi—mungkin untuk kebanyak orang yang biasa dipanggil ibu. Panggilan Umi ini mungkin dilatar belakangi pendidikan kedua orang tuaku yang bersekolah agama di pondok pesantren. Tapi jangan langsung berfikir sosok Umiku memakai jilbab nan panjang menjuntai dan Abiku yang memakai celana cingkrang dan memiliki brewok yang hampir menutupi bagian muka. Tidak semua orang yang mendapat panggilan Umi Abi berpenampilan seperti itu—asal kalian tahu.
Jika diingat lagi mungkin cara ini sedikit menyebalkan—ya bagaimana tidak—karena saat teman yang lainnya hanya puasa setengah hari namun tetap saja mendapatkan baju baru utuh tidak setengah porsi. Bahkan yang lebih beruntung lagi beberapa teman—eh tidak, banyak teman yang mendapatkan baju baru lebih dari satu stel. Ada juga yang 4-5 lengkap sepasang atas bawahnya.
Aku seseorang yang di kala kecil—iya sebut saya aku—yang hanya akan mendapatkan baju baru satu porsi lengkap hanya jika puasa ku utuh satu bulan. Meski sebenarnya saat mendekati lebaran baju baru yang dibelikan lebih dari satu stelan, tapi tetap saja ancaman membelikan baju setengah porsi sangat ampuh untuk seorang anak TK agar dapat menyelesaikan puasa full satu bulan.
Coba bayangkan saat salat Idul Fitri jika seorang anak TK yang hanya memakai baju baru tapi tidak dengan celananya sedangkan teman-teman yang sudah pasti baju lengkap atas dan bawah. Bahkan bisa jadi hingga celana dalam dan singlet yang mereka pakai pun baru dan masih berbau toko Cina. Setelahnya mereka telah siap berkeliling ke rumah-rumah yang siap mengantri untuk medapatkan jatah THR.
Memasuki Sekolah Dasar, jelas aku sudah mulai terbiasa menjalankan puasa, tapi ternyata masih banyak juga teman yang hanya setengah hari. Lebih gilanya lagi saat duduk dibangku MTs dan MA—setingkat SMP dan SMA yang merupakan sekolah yang berlatar belakang agama dengan mata pelajarannya lebih banyak dikarenakan pelajaran agamanya bercabang-cabang—tapi tetap saja tidak sedikit teman yang buka puasa begitu saja saat azan zuhur tiba.
Aku yang sudah terlatih dari TK jelas saja melongo melihatnya. Bagaimana tidak, badan sudah besar begitu tapi tidak tahan menahan haus di tenggorokan. Iya haus—orang puasa itu kan sebenarnya tidak terlalu lapar karena hanya hausnya saja yang benar-benar menguji keimanan, setidaknya menurutku begitu.
Tanya ku pada seorang teman yang dengan santainya menegak air putih,
Aku : Kamu nggak puasa?
Dia : Puasa, setengah hari.
Aku : Loh kok?
Dia : Nggak kuat, haus.
Dengan seenak jidatnya meminum air mineral yang siang itu terlihat amat mengiurkan—sedap sekali, bukan? Aku membayangkan betapa lancarnya air mengalir di tenggorokan—ya ampunnnn~
Jelas dong aku iri bukan kepalang melihat tingkah si dia yang seenaknya. Akhirnya kuceritakan kejadian ini pada Umi—dengan tujuan protes sebenarnya bukan mengadu agar temanku itu dapat teguran. Lha siapa juga Umiku yang harus repot menegur anak orang. haha.
Aku : Temanku ada yang puasa setengah hari.
Umi : Kamu mau begitu juga?
Aku : Pasti nggak boleh, kan ?
Umi: Puasa adalah cara allah biar kita bersyukur—biar tahu bagaimana rasanya orang-orang kelaparan di luar sana.
Oh siyapppppp, Umi~
Sesimpel itu penjelasannya, tapi cukup buat aku mengerti maksud nya—pada akhirnya. Mungkin cara ini bisa kugunakan kelak untuk mengajari anak-anakku agar puasa full sedari usia dini. hahaha—tertawa jahat dong. Biar mereka juga merasakan bagaimana strong-nya Ibu mereka ini yang sudah mulai berpuasa full saat TK—sambil kibas jilbab dan auto bak puteri berjalan diatas karpet merahnya wuss wusss dan kemudian naik karpet terbang bersama Aladdin mengitari Indonesia nan indah ini~
Sombong sekali ya. haha. Anyway, tiap orang boleh dong bangga sedikit saja atas usahanya. Toh siapa lagi selain Umi yang mengapresiasikan dengan baju lebaran full sesetelannya jika bukan diri sendiri? Uhuy!
Tapi ngomong-ngomong, semakin bertambah umur tanggung jawab yang diajarkan saat Ramadan bukan lagi hanya sekedar puasa full saja. Saat sekolah dasar ada lagi ajaran baru yang awal mulanya membuatku cukup menggelengkan kepala—duh Gusti, ajaran berat macam apalagi yang harus hamba lakoni.
Khatam Alquran—kitab suci yang full dengan tulisan arab itu. Syukurlah jika kita memiliki Alquran yang sudah ada terjemahnya karena saat sedang ingin dibaca ya baca—lah buku cerita yang tidak ada gambarnya saja belum tentu dibaca hingga selesai. Namanya juga anak SD, harap dimaklumi jika minat membaca terjemahnya itu kurang sekali.
Mungkin efek wilayah rumah yang teman-temannya juga anak guru—yang sama-sama diajarkan puasa sedari TK dan kemudian lanjut tahapselanjutnya—aku jadi semangat untuk menyelesaikan Alquran dalam sebulan. Aku ya seneng aja karena banyak temen yang saat itu berubah menjadi saingan. Lah baca Quran kok saingan?—jelas saja, yo malu toh jika memulai berbarengan jika pada akhirnya selesainya tidak berbarengan juga.
Aku : Sudah juz berapa?
Teman ngebut : Juz 5.
Aku : Lompat-lompat ya ngajinya? Kok cepet banget?
Suudzon sekaliiiiiiiiiii. Dasar anak kecil gak mau kalah~ Sesudahnya jelas saja aku mengurung diri tidak ikut ngabuburit di lapangan seperti biasa, kuhabiskan waktu untuk menyusul si anak juz 5. Kalo dipikir lagi, itu ngaji yang penting cepatnya saja, tidak memperhatikan hukum bacaannya. haha
Lain ceirita saat sudah duduk di bangku perkuliahan. Biasanya nih, seminggu pertama sahur rajin pol, Tahajud serta Dhuha tidak bolong. Eh, masuk minggu kedua luar biasa susah bangunnya. Mungkin biasa saja kalau buat anak rumahan yang sudah siap sedia dimasakin oleh ibu tersayang, kalau anak rantau yang hidup di kosan siapa yang mau masakin? Terlebih harus bangun lebih awal jika ingin sahur dengan sayur—ya jelas masak sendiri. Jika awal bulan masih bisa foya-foya masuk tanggal tua, Promag adalah teman paling setia.
Membicarakan khatam Quran saat memasuki masa dewasa dengan segudang deadline? Percayalah tetap diusahakan meski susahnya tak karuan dengan beribu macam alasan.
Berbicara pakaian baru setelah di bangku perkuliahan ? Teringat ucapan teman, “Pakai baju yang ada saja—yang jarang dipakai. Toh tetangga dirumah tidak tahu”. Salah satu kenikmatan yang dirasakan oleh anak rantau nih.
Satu lagi pelajaran yang amat melekat dari Umi selain belajar puasa demi baju baru utuh satu porsi. Kata Umi, “Belum tentu tahun depan kembali dipertemukan bulan Ramadan. Itu tuh yang selalu dikatakan hampir setiap hari saat masih jaman di rumah dan masih sekolah. Atuh sekarang makin besar makin paham sebenarnya agar tidak sia-siakan bulan Ramadan yang katanya pahala dilipat gandakan—kan lumayan buat tabungan masa depan.
Masa depan? Iyalah, masa depan setiap orang kan ya meninggal—tempat persinggahan terakhir kan ya kuburan.
Ora ibadah akhiratmu gerah, lur~