Suatu malam, sepulangnya saya dari kuliah, Ibu memasang wajah waswas dan penuh curiga ketika saya masuk rumah. Tanpa basa-basi, Ibu langsung mengajak saya duduk di ruang tengah. Ibu ingin bicara. Setelah itu Ibu mengambil sebuah plastik dari kamar saya dan menaruhnya di meja. “Ini apa?” tanya Ibu. Saya yang sedari tadi bingung, langsung menjawab singkat. “Tembakau, Bu.” Jawaban saya langsung disambar Ibu dengan pertanyaan lain. “Bukan tembakau yang aneh-aneh, kan?”
Seketika saya langsung paham dengan sikap waswas dan curiga Ibu. Dia mengira tembakau berwarna hijau kecoklatan yang dia ambil dari kamar saya itu adalah ganja. Ibu sempat kaget ketika siang harinya sedang membersihkan kamar saya dan menemukan tembakau itu. Saya langsung menenangkan dan menjelaskan kepada Ibu, bahwa tembakau itu namanya tembakau gayo atau bakong gayo. Warna dan baunya memang mirip dengan ganja. Tapi itu bukan ganja.
Wajar jika Ibu saya khawatir. Ibu saya tidak pernah tahu seluk beluk rokok dan pertembakauan. Ibu saya juga tidak suka dengan bau dan asap rokok. Bahkan Ibu saya sempat melarang saya untuk merokok, sebelum akhirnya memperbolehkan. Ibu saya hanya tahu rokok bentuknya kecil memanjang, dan tembakau itu daun kering yang dicacah kecil. Maka ketika tahu ada tembakau gayo berwarna hijau di kamar saya, saya bisa memaklumi kekhawatirannya. Ibu hanya tidak mau anaknya terjerumus ke hal-hal yang tidak benar.
Ganja bukan, tapi aromanya mirip
Saya tentu bukan satu-satunya yang mengalami hal seperti ini. Bahkan ada banyak yang lebih parah. Coba saja ketik tembakau gayo di mesin pencarian Google. Kalian akan menemukan beberapa berita yang isinya adalah salah kaprah tentang tembakau gayo. Beritanya tidak jauh dari aparat yang menangkap warga dengan barang bukti tembakau gayo yang dikira ganja. Padahal, tembakau gayo bukan ganja, bahkan bukan jenis narkoba.
Itulah tembakau gayo dan dilemanya. Tembakau gayo itu kadang posisinya seperti tidak jelas. Di satu sisi, tembakau gayo itu tidak ada bedanya seperti tembakau-tembakau lain yang dijual di toko. Namun di sisi lainnya, tembakau ini selalu dikaitkan dengan ganja, mengingat warna dan baunya yang nyaris sama. Tidak heran jika banyak yang masih salah paham dengan tembakau gayo.
Ketika tren tembakau linting, tingwe atau ngelinting dewe naik sekitar lima tahun lalu, saya adalah orang yang ikut dalam tren tersebut. Dengan alasan menghemat, saya mengganti asupan asap tembakau dari rokok bungkusan ke tembakau linting. Cukup memangkas pengeluaran memang, tapi effort melintingnya itu yang kadang bikin agak capek. Tapi setidaknya saya bertahan hingga nyaris dua tahun dengan tembakau linting itu.
Nah, dari sekian banyak varian tembakau yang pernah saya coba, tembakau gayo adalah salah satunya. Ada satu masa di mana tembakau ini seperti menjadi primadona. Di sebagian besar toko tembakau, tembakau ini laris manis. Bahkan saking larisnya, ketika kita masuk ke toko tembakau, aroma tembakau gayo yang mirip ganja ini langsung semerbak. Mirip-mirip aroma coffeeshop di Red Light District Amsterdam, lah. Bedanya nggak ada yang giting aja karena tembakau ini memang bukan narkoba.
Sedikit tentang tembakau gayo
Seperti namanya, tembakau gayo atau bakong gayo ini berasal dari dataran tinggi Gayo, Aceh. Tembakau ini memang beda dari tembakau lainnya. Warnanya yang cenderung hijau dan aromanya yang mirip ganja karena ada perbedaan treatment panennya. Tembakau ini dipanen dari daun tembakau yang masih muda, yang dijemur dalam kondisi mendung atau ketika malam hari. Jadi, kelembabannya masih terjaga.
Dari perbedaan proses inilah yang membuat tembakau ini punya kekhasan sendiri. Selain warnanya yang khas, aromanya juga khas. Iya, aromanya mirip sekali dengan aroma daun ganja yang dibakar. Tak heran jika tembakau ini banyak sekali diminati oleh orang-orang, meskipun harganya sedikit lebih mahal. Tembakau gayo dibanderol sekitar 30-50 ribu per 50gr. Bandingkan saja dengan varian tembakau lain, yang dengan harga 30-50 ribu sudah dapat setidaknya 100gr atau 1 ons.
Dengan kekhasan ini, tak heran jika banyak yang suka tembakau gayo, termasuk saya. Entah karena memang benar-benar suka atau sekadar untuk keren-kerenan saja. Maklum, ketika tembakau lain tak menawarkan banyak sensasi, tembakau ini menawarkan sensasi mengisap tembakau seperti sedang menghisap ganja. Kalau saya ya sekadar penasaran saja sebenarnya. Toh saya juga tidak cocok dengan rasanya. Saya juga hanya beli dua kali, dan yang kedua itulah yang dicurigai Ibu sebagai ganja.
Tak sepopuler dulu
Kini, mungkin tren tembakau linting ini sudah tidak sepopuler dulu. Bukan redup juga, tapi memang sudah nemu pasarnya saja dan sudah ajeg. Pun dengan tembakau gayo. yang juga sudah tidak sepopuler dulu dan sudah menemukan pasarnya sendiri. Saat ini, mungkin sudah tidak ada yang mengira atau salah paham dengan menyebut tembakau gayo sebagai ganja. Literasi soal tembakau ini juga sudah banyak, dan aneh aja kalau masih ada yang mengira sebagai ganja.
Sekarang, saya juga sudah tidak merokok tingwe. Capek aja, effort-nya terlalu banyak. Mending rokok bungkusan saja. Praktis. Tapi, gara-gara menulis ini saya jadi penasaran pengin nyicipin lagi tingwe, dan mungkin saya akan coba lagi tembakau gayo. Saya penasaran apakah rasanya masih sama. Semoga Ibu saya juga tidak curiga dan khawatir lagi.
Penulis: Iqbal AR
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Tembakau Tambeng, si Gurih Manis Asal Situbondo yang Cocok Jadi Suguhan Saat Lebaran