Informasi ini jelas tidak baru, tapi saya tak pernah absen menceritakannya pada orang-orang (baru) yang saya temui: Bekerja di Mojok adalah impian saya sejak artikel pertama media ini terbit.
Ketika akhirnya saya diterima bekerja di Mojok, rasa bahagia saya memuncak dan saya betul-betul menunggu hari pertama kerja di Mbesi, kantor Mojok. Yang jadi masalah adalah, jadwal kerja Mojok pagi (meski nggak pagi-pagi amat), sedangkan selama setahun sebelumnya, saya bekerja shift malam di sebuah perusahaan game.
Tapi tentu saja hal itu tak menghalangi saya bekerja. Meski akhirnya jam tidur saya terpangkas banyak, saya tetap menjalaninya dengan (lumayan) semangat di awal kerja. Alasannya jelas, mimpi yang jadi nyata, itu tak terjadi dua-tiga kali dalam satu siklus kehidupan.
Fakta inilah yang bikin saya tak pernah mengerti apa yang ada di pikiran Eden Hazard, ketika datang ke Real Madrid dengan berat badan berlebih, meski ia mengulang-ulang Madrid adalah klub impiannya mirip seperti kaset rusak.
Akhir cerita Eden Hazard
Siapa pun tak menyangka, kalau akhir cerita Real Madrid dan Eden Hazard benar-benar tragis. Diputus kontrak, dan tetap tak diberi menit bermain bahkan di laga yang tak penting. Amat berbeda dengan ketika dia datang, pujaan yang ada tak kunjung putus, dan harapan dibebankan pada pundaknya.
Meski di bursa transfer musim panas tersebut Real Madrid mendatangkan banyak pemain dengan harga yang tak bisa dibilang murah, jelas Eden Hazard jadi sorotan utama. Ia baru saja menyelesaikan musim yang kelewat bagus bersama Chelsea. Status kebintangannya tak bisa diragukan. Apalagi skill bermainnya, sudah, tak bisa didebat.
Tapi saat dia menemui publik Bernabeu dengan badan membulat, semua orang, terlebih saya, mengernyitkan dahi. Bagaimana bisa kau datang sebagai pemain termahal, tapi terlihat seperti pemain gurem tanpa integritas?
Benar, Hazard membuktikan bahwa lemak menggumpal di perutnya bukan halangan. Kita semua sepakat, bahwa malam saat Madrid melawan PSG, ia sendirian mengajari bagaimana cara bermain sepak bola. Bak pisau panas membelah mentega, ia sendirian mengacak-acak PSG dan memberikan pesan pada dunia: sepak bola bukan hanya tentang Messi dan Ronaldo.
Tapi sialnya, malam di mana ia tampil brilian, justru jadi momen terakhir ia menunjukkan kebintangan. Thomas Meunier mengganjal kaki Eden, dan sedetik kemudian, teriakan Eden menggema.
Beberapa saat kemudian, Eden dipapah keluar lapangan. Saat itulah, semuanya berakhir.
Kesempatan kedua, ketiga, keempat…
Absennya Hazard, sedikit banyak, membuka kembali ruang untuk Vini untuk bersinar. Vini, sedikit demi sedikit, membuat publik lupa magis Hazard, dan mengisinya dengan liukan ala Brasil yang kita rindukan semenjak Neymar lebih memilih untuk diving.
Tapi memang itulah Madrid. Jika kau tak bisa memberi hasil, kau akan ditendang. Mungkin kau akan ditaruh di bangku cadangan, untuk memberi tahumu bahwa kau begitu payah dan tak pantas menginjak rumput lapangan.
Hazard seharusnya tahu itu. Tapi kesempatan demi kesempatan yang datang untuknya, tak ia balas dengan begitu baik. Terkadang ia meliuk, terkadang mencetak gol, atau asis. Tapi itu terjadi sesekali. Dia lebih sering membuat orang-orang bertanya-tanya kenapa dia masih berani mengenakan seragam Madrid, alih-alih membikin orang berdecak kagum.
Orang-orang tentu tak lagi percaya perkataannya, bahwa Madrid adalah tim impiannya. Sebab jika betul, harusnya ia melihat bagaimana Valverde berlari tanpa henti, terjerembab dan bangkit, hingga ia tergeletak kelelahan. Seperti itulah seharusnya seorang bermain untuk tim impiannya.
Seharusnya, pada musim kedua, ia memperbaiki diri. Menurunkan berat badan, berlari tanpa henti, dan memaksa diri di latihan. Setidaknya, bikin pelatih tak punya alasan untuk tak memainkannya. Tapi tiap kesempatan diberikan, ia memilih untuk jadi manusia paling menyebalkan.
Jika penonton saja tak bisa diyakinkan, bagaimana pelatih, apalagi direksi?
Baca halaman selanjutnya
Jika memang tak ditakdirkan bersama, selamanya tak akan bersama