Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Pojok Tubir

Bekal Mi Instan dan Nasi: Sadar Gizi Itu Penting, tapi Jadi Manusia Juga Penting

Prabu Yudianto oleh Prabu Yudianto
1 Juni 2023
A A
4 Mekanisme Bertahan Hidup Anak Kos yang Bisa Dicoba Jika Harga Mi Instan Naik Beneran

4 Mekanisme Bertahan Hidup Anak Kos yang Bisa Dicoba Jika Harga Mi Instan Naik Beneran (Pixabay.com)

Share on FacebookShare on Twitter

Betapa sumringah muka saya ketika membuka ransel. Ada kotak makan berwarna hijau, hadiah dari Milo. Tersisa kehangatan setelah sekian jam saya berada di sekolah. Tanpa perlu membuka, saya sudah tahu apa isinya. Langsung saja kotak makan itu saya taruh di meja kelas. Komik One Piece volume 11 siap menemani makan siang ini. Kotak dibuka, dan aroma Indomie goreng menguasai udara. Senyum lebar saya menjadi rasa syukur atas makanan untuk hari ini. Memang cuman mi instan, tapi jangan salah, ini dibuat dengan cinta!

Tapi beberapa waktu lalu, ada yang mempermasalahkan bekal mi instan dan nasi. Ini perkara kesadaran gizi katanya. Gila, orang ini membuat hal harmless jadi sesuatu yang begitu gawat. Rasa-rasanya kita perlu mengumpulkan banyak ilmuwan untuk menggodok masalah ini. Ini sudah perkara kesadaran, Bung!

Tetap saja, melihat orang mengolok-olok sesuatu yang akrab dengan masa kecil saya terasa begitu bajingan. Apalagi harus jadi cuitan di Twitter. Saya jadi bertanya-tanya, hidup Anda sebegitu beratnya po? Padahal hidup saya Senin terus lho, saya nggak berakhir grumpy dan bitter kayak smean ini.

Tapi, perdebatan bekal mi instan dan nasi ini bukan masalah sepele. Anda tidak bisa mengambil kesimpulan dari satu sudut pandang saja. Ini persoalan yang sama pentingnya dengan penentuan capres 2024. Dan perdebatan macam ini harus segera berakhir. Sebelum kita harus pasang badan demi capres yang tidak peduli pada hidup pemujanya.

Bekal mi instan ada kaitannya dengan kemiskinan struktural?

Bekal mi instan dan nasi dipandang sebagai sikap tak acuh orang tua. Mereka dipandang tidak sadar dan paham tentang ilmu gizi dasar. Nah, mari kita bedah dari sudut pandang yang paling kiri dan ndakik-ndakik. Bekal serba karbo ini adalah produk dari kemiskinan struktural!

Kemiskinan struktural tidak hanya bicara uang semata. Tapi situasi di mana sekelompok masyarakat memang tidak bisa mentas dari kemiskinan. Tentu karena monopoli sumber daya dari masyarakat kelas atas. Kemiskinan struktural akan berdampak pada gaya hidup dan edukasi. Termasuk edukasi masalah gizi. Bukan hanya tidak tahu pentingnya gizi seimbang, tapi sampai sikap abai pada gizi.

Hal ini diperparah dengan situasi yang memaksa. Misal kerja yang menghabiskan waktu dan tenaga. Sehingga mi instan dipandang sebagai solusi konsumsi paling praktis dan murah. Mungkin masak sayur terkesan murah. Tapi tidak sebanding dengan waktu yang tidak dimiliki masyarakat kelas bawah ini.

Percayalah. Makan enak dan bergizi itu privilese.

Baca Juga:

Dosa Indomie Ayam Bawang: Nggak Ada Bawang Goreng sebagai Pelengkap

Pemilik Warung Membeberkan 5 Rahasia Indomie Racikannya Bisa Lebih Enak daripada Buatan Rumah

“Tapi orang berpunya juga sering memberi mi instan untuk anaknya?” Nah argumen ini menunjukkan masalah bekal mi instan dan nasi jadi makin tidak sederhana. Mari kita bahas itu nanti. Karena saya ingin bicara tentang hal paling njlimet di dunia: marketing.

Teknik marketing paling berhasil (dan jahat)

Ketika bicara iklan mi instan, apa yang Anda bayangkan? Nikmat, praktis, dan murah. Bahkan sering menyinggung kandungan vitamin dan mineral. Bagaimana masyarakat bisa bertahan dari gempuran iklan yang menyentuh titik terlemah mereka. Ketika ada keengganan untuk repot memasak, dan takut masakannya tidak enak.

Tapi, marketing paling hebat adalah formula bumbu mi instan. Aroma yang langsung membelai bulu hidung ini adalah marketing luar biasa. Setiap Anda mencium aromanya, Anda akan kepikiran untuk membuat mi instan di rumah. Akhirnya pemikiran bahwa mi instan itu mudah, murah, dan super enak tertanam pada benak kita. Jadi kenapa harus mikir cara membuat masakan enak? Toh masak mi instan lebih mudah dan pasti enak.

Teknik marketing mi instan ini sungguh berhasil. Serta jahat luar biasa. Bahkan memanfaatkan kandungan vitamin yang tak seberapa itu, tanpa edukasi menyeluruh tentang gizi. Tapi bukankah semua teknik marketing itu jahat? Termasuk teknik marketing para timses capres.

Lagian apakah teknik promosi makanan sehat bisa bersaing? Kesadaran makanan dengan gizi berimbang tidak disampaikan dengan cara yang membangun. Yang ada malah sikap menghakimi seperti cuitan ra mashok itu.

Bekal mi instan adalah budaya

Mi instan bukan makanan eksklusif kaum miskin, tapi juga konsumsi kelompok masyarakat ekonomi menengah sampai atas. Realitas ini saja sudah bisa menunjukkan bahwa perkara mi instan ini tak sesederhana kesadaran gizi saja. Jika saya mau membikin masalah ini jadi makin rumit seperti cuitan tersebut, ini jatuhnya kepada pilihan. Pilihan untuk menjadi praktis, dengan mengabaikan beberapa hal (sementara) tak mengenal kasta.

Mari kita bicara hal lain. Kita tidak bisa mungkiri, mi instan adalah budaya kita. Hal ini sebenarnya tak eksklusif milik Indonesia saja. Kita bisa lihat di drakor dan anime atau serial Jepang, bahwa mi instan sudah jadi kudapan yang tak bisa dilepaskan dari kehidupan mereka. Apakah mi buatan Korea dan Jepang lebih sehat dan beda dengan yang ada di Indonesia? Bisa jadi. Tapi, bukan itu poinnya.

Ketika suatu makanan jadi budaya, artinya ada proses panjang dan alasan kenapa makanan ini disepakati oleh banyak orang untuk jadi budaya. Dan alasan-alasan tersebut tak berdiri sendiri, pasti punya faktor lain yang membikin alasan tersebut sahih.

Ini yang pemilik akun Twitter paling open minded sedunia itu luput. Bahwa makanan instan itu buruk, kita bisa saja setuju, tapi untuk dihakimi bahwa orang-orang tak sadar gizi, nanti dulu. Urusannya tak sesederhana itu.

Menjadi manusia, kadang jauh lebih penting

Kita tidak bisa menghakimi begitu saja pilihan orang meskipun itu bertentangan dengan kita. Dengan catatan, tak ada norma dan hukum yang dilanggar. Bekal mi instan dan nasi, saya kira, jelas tak melanggar norma dan hukum.

Lagian, bekal mi ini jelas dibuat dalam rangka kepepet. Artinya, momen ini mungkin tak terjadi setiap hari. Orang tua mana pun, tak ada yang cukup gila untuk memberi anaknya makanan instan tiap hari, selama masih ada pilihan. Ayolah, kita sama-sama tahu hidup itu sejatinya sudah berat. Jangan ditambah dengan opinimu yang sebenarnya nggak ada satu orang pun yang minta.

Kadang, manusia lupa, bahwa suatu pilihan diambil karena ada banyak hal yang membuat manusia tersebut (terpaksa) melakukannya. Faktor-faktor ini sering tak tampak mata, dan membuat kita hanya bisa menerka. Alih-alih memaksa diri terlihat sebagai si paling kontra, bagaimana kalau memilih jadi manusia, yang tahu bahwa dunia ini kadang ora peduli karo raimu?

Lagian, mi instan tak seburuk itu kok. Itu Naruto tiap hari makan mi cup, nyatanya jadi Hokage. Koe sih ra mangan mi, makane dadi wong bitter, ora dadi Hokage.

Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA 5 Kombinasi Mi Instan Paling Enak yang Pernah Saya Cicipi

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Terakhir diperbarui pada 1 Juni 2023 oleh

Tags: kadar gizikemiskinan strukturalmarketingMi InstanTwitter
Prabu Yudianto

Prabu Yudianto

Penulis kelahiran Yogyakarta. Bekerja sebagai manajer marketing. Founder Academy of BUG. Co-Founder Kelas Menulis Bahagia. Fans PSIM dan West Ham United!

ArtikelTerkait

Belajar Digital Marketing dari Blunder Txtdaripemerintah dan Puan Maharani terminal mojok.co

Belajar Digital Marketing dari Blunder Txtdaripemerintah dan Puan Maharani

8 Desember 2021
Netizen Twitter Adalah Antagonis Paling Kejam dan Fakta-fakta Lainnya Kenapa Becandaan di Twitter Nggak Laku Dibawa ke Facebook?

Kenapa Becandaan di Twitter Nggak Laku di Facebook?

10 Maret 2020
facebook

Menjadi Orang yang Berbeda di Facebook, Twitter, dan Instagram

21 Agustus 2019
maia estianty twit viral kritik pemerintah donasi kitabisa apd rumah sakit tes untuk masyarakat sosialita arisan tempey twitter mojok.co

Bunda Maia Estianty Jangan Ikut Memperkeruh Suasana ya, ya?

11 April 2020
31 Istilah yang Wajib Dihafal Mahasiswa Manajemen Pemasaran

31 Istilah yang Wajib Dihafal Mahasiswa Manajemen Pemasaran

13 Oktober 2023
julid

Julid Online: Maraknya Auto Base Twitter yang Mewadahi Julid Together

7 Oktober 2019
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

4 Hal yang Membuat Orang Solo seperti Saya Kaget ketika Mampir ke Semarang Mojok.co

4 Hal yang Membuat Orang Solo seperti Saya Kaget ketika Mampir ke Semarang

3 Desember 2025
Lamongan Megilan: Slogan Kabupaten Paling Jelek yang Pernah Saya Dengar, Mending Diubah Aja Mojok.co Semarang

Dari Wingko Babat hingga belikopi, Satu per Satu yang Jadi Milik Lamongan Pada Akhirnya Akan Pindah ke Tangan Semarang

30 November 2025
Alasan Orang Solo Lebih Hafal Jalan Tikus daripada Jalan Utama

Alasan Orang Solo Lebih Hafal Jalan Tikus daripada Jalan Utama

30 November 2025
Nasi Goreng Palembang Nggak Cocok di Lidah Orang Jogja: Hambar!

Nasi Goreng Palembang Nggak Cocok di Lidah Orang Jogja: Hambar!

1 Desember 2025
Rekomendasi 8 Drama Korea yang Wajib Ditonton sebelum 2025 Berakhir

Rekomendasi 8 Drama Korea yang Wajib Ditonton sebelum 2025 Berakhir

2 Desember 2025
Menambah Berat Badan Nyatanya Nggak Sesederhana Makan Banyak. Tantangannya Nggak Kalah Susah dengan Menurunkan Berat Badan

Menambah Berat Badan Nyatanya Nggak Sesederhana Makan Banyak. Tantangannya Nggak Kalah Susah dengan Menurunkan Berat Badan

29 November 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=HZ0GdSP_c1s

DARI MOJOK

  • JogjaROCKarta 2025: Merayakan Perpisahan dengan Kemegahan
  • Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar
  • Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada
  • Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama
  • Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?
  • Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra


Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.