Terminal Batu adalah tempat penuh kenangan. Sayangnya, kini tempatnya berangsur sunyi
Kenangan terkadang lahir dan muncul dari tempat-tempat yang tak terduga. Dari kamar mandi, dari gang sempit sudut jalan, dari warung makan kumuh di pinggiran kota, dan di warung kopi sempit di tengah deretan gedung. Kenangan juga kerap lahir dan muncul dari sebuah terminal kecil yang perlahan sunyi. Terminal yang perlahan kehilangan fungsi sebenarnya, terminal yang seperti hidup segan mati tak mau.
Terminal, seperti halnya stasiun atau bandara, adalah tempat yang cukup sentimental bagi banyak orang. Terminal adalah tempat di mana orang datang dan pergi. Di terminal kita kerap menjumpai orang-orang yang sedang melepas kepergian, atau orang-orang yang sedang menanti kedatangan. Kenangan tentang datang dan pergi inilah yang membuat sentimental. Dan di terminal kecil yang hidup segan mati tak mau inilah tersimpan kenangan-kenangan itu.
Iya, saya sedang berbicara tentang Terminal Batu, terminal satu-satunya yang ada di kota tempat saya tinggal, Kota Batu. Terminal Batu adalah terminal kecil, terminal yang perlahan sunyi, terminal yang sepertinya perlahan kehilangan fungsinya. Mengapa saya bilang terminal ini perlahan sunyi dan kehilangan fungsinya, ya karena mulai minimnya angkutan umum (entah itu angkot atau bus dalam dan luar kota) yang beroperasi di Kota Batu.
Era kejayaan Terminal Batu
Dulu, di era kejayaan angkutan umum, terminal ini nyaris tak pernah sepi. Setiap hari, terutama di jam-jam sibuk (jam pulang sekolah atau kerja), Terminal Batu nyaris penuh oleh angkot berbagai macam warna dan jalur yang siap mengantar siapa pun untuk pergi/pulang. Terlebih lokasinya yang berada di depan pasar besar Kota Batu, yang membuat riuh rendah terminal ini ini selalu ada. Meski kecil, tapi nyaris tak pernah sepi saat itu.
Kini, setelah era kejayaan angkutan umum mulai redup, riuh rendah Terminal Batu seperti kehilangan nyawanya. Riuh rendah dan kesibukan yang pernah terlihat perlahan sirna. Sudah tak banyak angkutan umum yang bersarang, yang menunggu orang pulang dari pasar atau anak yang pulang dari sekolah. Orang-orang lebih memilih untuk naik kendaraan pribadi atau ojek online yang lebih praktis. Terminal Batu perlahan menjadi tempat yang sunyi.
Meskipun kini perlahan sunyi dan kehilangan fungsinya, kenangan di Terminal Batu tak ikut hilang. Bagi saya dan beberapa orang, terminal ini menyimpan kenangan yang bermacam-macam. Kenangan yang tak sekadar soal mengantar orang pergi atau menanti orang datang, melainkan kenangan tentang kenakalan anak-anak remaja. Dan Terminal Batu menjadi salah satu saksi bisunya.
Di Terminal Batu, saya tidak punya kenangan terkait hal-hal sentimental seperti mengantar kepergian atau menunggu kedatangan seseorang. Tapi, saya punya kenangan tentang bagaimana kenakalan kecil yang pernah saya lakukan. Saya masih ingat sekitar lima tahun lalu, ketika saya masih kuliah, di mana saya sering sekali pergi ke Terminal Batu ketika bulan puasa.
Baca halaman selanjutnya
Warung “pojok”, warung sejuta cerita…