Tinggal di pedesaan memang tidak selalu sepenuhnya membahagiakan. Salah satunya adalah urusan transaksional menggunakan ATM. Percaya tidak percaya kita akan sedikit mengalami kesusahan untuk menemukan ATM. Ya walaupun ada sih. Bahkan usulan saya untuk membangun ATM di halaman rumah ditolak dengan sangat tegas oleh orang tua. Entah mengapa? Namun begitulah seninya hidup, kadang seneng tapi kadang pula malah banyak sedihnya, lho?
Bagi saya ATM merupakan sebuah penemuan yang sangat luar biasa. Hanya berbekal kartu saja kita bisa melakukan berbagai macam transaksi yang dibutuhkan. Dalam sekejap saja semua bisa dalam genggaman kita, termasuk juga genggaman tangan mantan yang sekarang sudah tinggal serumah dengan lelaki pilihannya. Hora umum…hora umum…hora umum…
Sebenarnya saya sudah terlanjur jatuh cinta dengan amat sangat dengan ATM. Bukannya saya tidak memiliki fasilitas bank lainnya. Sebenarnya saya punya juga kok. Mobile banking ada juga kok tertanam di smartphone saya. Tapi ya itu, kembali ke masalah dimana saya bermukim. Kadang kala sinyalnya mirip film India, harus kejar-kejaran. Sudah beruntung betul saya masih bisa mengirimkan pesan. Jadi saya tak perlu berharap lebih untuk bisa melakukan aktivitas mobile banking dengan lancar dan membahagiakan. Sekali lagi saya harus tetap bersyukur. No sambat-sambat club!
Beberapa waktu lalu, kesetiaan dan kecintaan terhadap ATM diuji. Waktu sudah menunjukkan sekitar pukul 23.30, perut saya mendadak disergap oleh lapar. Otak saya lalu memilihkan bakmi Jawa sebagai jawabannya. Saya tersadar bahwa seharian ini baru makan sekali. Pantas saja perut saya meronta meminta jatahnya.
Berhubung dompet saya isinya hanya angin maka saya putuskan untuk menarik uang. Sekalian jalan-jalan malam gitu konsepnya. Bergegas saya menyambar celana panjang yang tergantung di dinding kamar. Tak lupa pula mengenakan jaket agar ada yang memberikan kehangatan. Kalau bukan jaket, siapa lagi yang bakalan kasih kehangatan?
Sepeda motor bebek matik saya pun meluncur pelan keluar dari desa. Tujuannya mencari ATM terdekat. Fyi, bank yang saya pakai itu termasuk minoritas, jadi mohon dimaklumi kalo gak bisa ditemui dengan mudah di setiap ruas jalan. Paham kan perjuangan yang harus dihadapi? Pilihannya ya saya harus menuju kota. Ya paling jaraknya palingan cuma 12 kilometer gitu kok. Gak jauh tapi lumayan.
Papan nama bank tempat saya menyimpan uang dari kejauhan sudah nampak. Syukurlah, gumam saya dalam hati. Karena ATM tersebut buka 24 jam hanya saja tidak memiliki layanan UGD. Kecepatan sepeda motor perlahan mulai saya kurangi. Akhirnya saya tiba di ATM tersebut sekitar pukul 00.00. Dan saya baru sadar bahwa bertepatan dengan hari Jumat Kliwon. ATM tersebut sepi. Letaknya sedikit masuk dari jalan raya. Bagoossss…
Setelah memakirkan sepeda motor. Saya perlahan mulai jalan menuju ATM. Pohon-pohon besar menjulang di kanan kirinya. Daun-daun berserak tak beraturan. Setiap kaki melangkah mau tak mau harus menginjak dedaunan tersebut. Suara daun terinjak menjadi teman menuju ATM. Angin sesekali menerpa tengkuk dengan lembut. Beberapa kali saya sengaja untuk menengok ke sekeliling. Memastikan semuanya baik-baik saja. Sekaligus berdamai dengan bulu kuduk yang sudah mulai meremang. Duh!
Memasuki ATM perasaan saya tak kunjung tenang. Bagaimana tidak? Hawa dingin dari AC menyergap dengan cepat. Sekali lagi saya melihat sekeliling, apakah aman atau tidak? Kaca di ruangan ATM sudah mulai berembun yang nampak hanya sorot lampu jalan. Itu pun remang-remang tertutup embun. Bulu kuduk semakin merinding tak karuan.
Uang sudah berhasil ditarik. Saya segera menuju sepeda motor dengan sedikit berlari. Tiba-tiba suara srekk…srekk…srekkk mulai terdengar di belakang. Langkah kaki saya terhenti. Pundak saya ada yang menahan. Saya tak bisa meneruskan langkah. Bayangan akan bakmi Jawa berubah menjadi keinginan segera pulang. Teror macam apa ini.
“Mas…mas…mas…” suara itu semakin meruntuhkan keberanian di dalam diri saya. Tetapi sebagai lelaki yang punya harga diri walaupun sering disakiti, saya beranikan untuk melihat ke belakang.
Sesosok lelaki dengan badan besar. Wajahnya tidak nampak jelas karena gelap, tajam menatap ke arah saya. Sejenak saya amati, kakinya masih menyentuh tanah. Sedikit berkuranglah rasa takut saya. Setidaknya yang saya hadapi masih manusia.
“Oya ada apa mas?” jawab saya masih sedkit terbata.
“Bayar parkir dulu mas,” suruh lelaki itu.
Mematung dan tak bisa berkutik, segera saja tangan saya tanpa dikomando langsung merogoh saku celana. Lumayanlah masih ada sisa uang di saku celana. Kemudian saya mengulurkan tangan dan memberikan uang tersebut kepadanya.
Setelah menerima uang itu lantas ia membalikkan badannya dan mulai berjalan. Membawa uang yang saya berikan dan kembali menghilang di balik kegelapan. Tak ada percakapan lagi di antara kami berdua. Sungguh pengalaman tak kasat mata yang sangat nganu.
BACA JUGA Cerita Hantu Adalah Kearifan Lokal yang Harus Dipertahankan atau tulisan Diaz Radityo lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.