Menghabiskan libur semester di Madura adalah keputusan terbaik yang layak Anda coba. Sebagai anak muda yang lahir di Kalimantan, menginjakkan kaki di pulau Madura adalah keputusan yang berani, setidaknya bagi saya sendiri. Konflik Sampit pada 18 Februari 2001 adalah kisah kelam yang tak layak terulang, tragedi berdarah antara Suku Dayak dan Suku Madura di Kalimantan ini benar benar menghantui saya saat kecil, saat mendengar perbincangan yang membahas Madura, sudah dapat dipastikan hanya Konflik Sampit yang terbesit. Wajar, waktu sekolah dasar, saya terus dicekoki narasi konflik dua suku ini.
Dulu saya selalu berpikiran, kalau orang Madura dan orang Kalimantan pasti punya dendam. Setiap kali ketemu orang Madura saya pasti merinding ketakutan. Itu dulu waktu masih mengenyam pendidikan di sekolah dasar.
Berjalannya waktu, masuk kuliah di Jogja, stigma saya tentang orang Madura yang jahat dan punya dendam berubah drastis. Saat sosial pembelajaran ospek masuk kampus, kok ndilalah saya dipertemukan dengan kawan Madura yang baik hati dan bocahe dasa dharma banget. Namanya Faris Al Farisi, nama yang sangar dan membuat lawan ketar ketir, jeneng filsuf je!
Faris adalah orang pertama yang berhasil merevolusi mindset saya tentang suku Madura. Ia adalah sosok revolusioner, setara dengan Soekarno, kalau saya boleh lebay. Kita mulai akrab karena satu kelompok saat sospem, diakrabkan lagi karena punya hobi yang sama di bidang literasi. Ia adalah penyair ternama bagi sirkelnya. Cerita pendeknya dapat Anda temukan di Solopos, puisinya tembus Tempo.co kapan lalu, Faris membaca dan mengoleksi semua buku Alm. Cak Rusdi Mathari. Dan yang terpenting, dialah sosok yang meyakinkan saya untuk berani ke Madura.
Terminal Madiun-Terminal Bungurasih
Restu Panda Madiun–Surabaya adalah sebaik-baiknya bus untuk ke Terminal Purabaya. Kenyamanan dan kecepatan bus gemah ripah loh jinawi ini benar benar tak tertandingi, bus ini nyaman banget pokoknya, udah pernah diulas juga di Terminal Mojok.
Harganya memang lumayan, yaitu 70 ribu. Dengan uang segitu kalian bisa melibas Madiun-Surabaya dengan bus full AC, waktu tempuh 2 jam, dan perjalanan full tol. Kira-kira jam 14.00 WIB, bus yang membawa saya dan rombongan mendarat di Bungurasih. Masih butuh waktu 4 jam untuk sampai di Sumenep, Madura, kabupaten paling timur di pulau milik Boger Bojinov (Tiktokers Madura).
Untuk melanjutkan perjalanan dari Surabaya ke Madura, bus AKAS NR RN 285 jadi pilihan. Karena ini pertama kalinya saya naik bus trayek Madura, mau nggak mau saya harus masuk terminal dan menjawab pertanyaan template dari para kondektur. Agak kaget waktu masuk Terminal Purabaya, ada eskalatornya, wajar wong ndeso. Setelah tanya petugas tentang bus trayek Madura, saya diminta untuk naik ke lantai dua dan turun di peron bus nomor 03 bertuliskan Madura Patas. Sudah terparkir dengan gagah bus warna merah kuning yang akan membawa saya ke Sumenep.
Akhirnya saya sadar dengan potensi skill negosiasi yang saya miliki. Harga karcis Surabaya-Sumenep yang awalnya Rp90.000 berhasil saya nego jadi Rp70.000. Menang negosiasi dengan kondektur asli Madura adalah prestasi yang bakal saya masukkan CV. Kisah menyenangkan menang debat kali ini tak berlangsung lama, saya terkecoh dengan bocil terminal yang minta sumbangan lewat amplop di dalam bus. Dengan alasan kemanusiaan dan empati yang menggebu gebu, saya masukkan selembar uang 10 ribu ke dalam amplop.
Ndlogoknya, setelah amplop diambil, bocil ini dijemput ibunya naik Scoopy. Saya yang sehari hari naik supra hanya bisa terdiam dan mbatin “bajingannn!”
Selama perjalanan penumpang disuguhkan oleh pemandangan yang menyenangkan. Selain kesenjangan sosial antara Surabaya dan Madura yang bisa kalian lihat dari Jembatan Suramadu, pinggiran laut yang ada di Kabupaten Sampang dan Pamekasan adalah view yang menyegarkan. Yang kurang menyenangkan hanya satu, bagi kalian yang sama sekali tidak paham bahasa Madura, maka bersiaplah untuk kelihatan goblok. Interaksi antarpenumpang full menggunakan bahasa Madura. Mau gimana lagi, hampir 95 persen penumpang adalah warga Madura. Kalau memang nggak bisa jangan memaksakan untuk mencoba, gunakan bahasa persatuan bahasa Indonesia saja.
Solo traveling ke Madura adalah keputusan terbaik
Singkat kisah, saya akhirnya turun di Guluk Guluk Sumenep pukul 19.00 WIB. Baru saja turun bus, saya langsung dipertemukan oleh kawan kawan yang menganut mazhab Jamet Kuproy, aliran yang dipimpin langsung oleh Uchiha Madura, Boger Bojinov, konten kreator panutan kita semua.
Ngomong-ngomong soal Boger Bojinov, ada puluhan atribusi yang layak melekat kepadanya: tiktokers, magician, aktivis, atau bahkan tokoh revolusioner. Goyang yang ia bawakan benar benar mengagumkan, menjelma menjadi sebuah ideologi populer di era modern. Dengan outfit khas jamet kuproy dan liuk tubuh yang spektakuler, Boger Bojinov berhasil menggempur FYP.
Kabar yang saya dengar, Liverpool sempat berencana memboyong Boger sebagai punggawa lini tengah, semua karena keseimbangan beliau yang bisa meliuk di galon. Keseimbangan Boger, diharapkan bisa bikin lini tengah Liverpool yang limbung bisa jadi seimbang.
Agak lama menunggu, akhirnya Faris Al Farisi muncul dengan kain sarung khas warga Madura. Dia adalah teman kampus sekaligus orang yang akan saya repoti selama liburan di Madura. Selama perjalanan menuju penginapan, di tengah pencahayaan yang kurang bersahabat, Faris terus mendongeng tentang Madura.
Ada satu budaya yang bagi saya agak unik, balian, kebiasaan orang Madura yang merantau dan bekerja keras untuk membangun rumah bagus, tinggi, dan estetik di tanah kelahiran. Kadang, mereka keduluan meninggal sebelum menikmati rumah hasil jerih payah kerja di perantauan.
Malamnya, saya terbangun karena suara speaker masjid. Dengan mata yang masih kriyip kriyip, saya mencoba sekuat tenaga untuk memahami isi pengumuman, eh ternyata pengumuman untuk sholat tahajud. Wah, tulisan Cak Rusdi tentang Madura yang ngeyel mendeklarasikan diri sebagai negara Islam ada benarnya juga. Ditambah lagi budaya sarungan yang mengakar kuat, hampir semua warga yang saya temui memakai sarung. Bahkan saya dilarang Faris menggunakan celana jeans pendek saat keluar rumah, “Minimal pakai sarung pak untuk menghargai warga sekitar,” ucapnya.
Cita rasa masakan Madura sungguh asoy!
Ada banyak masakan khas Madura yang saya tandaskan, salah satunya kaldu kokot. Cita rasa kaldu ini agak aneh bagi saya. Tak pernah terbayangkan rebusan kacang hijau dipadukan dengan kuah kaldu sapi. Pertama kali melihat tampilannya, hanya rasa manis yang terbayangkan. Dugaan saya salah, kaldu kokot memiliki cita rasa yang gurih, asin dan cenderung pedas.
Berhari-hari di Madura akhirnya saya punya kesimpulan kalau makanan di sini punya cita rasa yang kuat dan dominan. Kalau asin ya asinnya terasa banget, kalau gurih ya gurihnya kerasa banget, tidak tanggung-tanggung perihal bumbu.
Daun kelor di Madura bukan lagi pepatah, ia mengalami evolusi menjadi sayuran. Daun bundar berwarna hijau ini jadi sayur khas yang tak terpisahkan bagi warga Madura, baik swasta maupun negeri. Dari penampakannya terlihat sederhana, sayuran dengan bumbu bawang putih, gula, garam dan sedikit terasi diulek sampai halus kemudian dimasak dengan air dan daun kelor. Oh iya, tidak lengkap rasanya jika tidak menandaskan sayur kelor dengan nasi jagung, gilingan jagung yang dimasak dengan sedikit beras jadi nasi yang saya nikmati selama di Madura.
Saya sempat bertanya kenapa orang Madura memilih nasi jagung ketimbang nasi putih biasa. Selain alasan hemat karena beras mahal, dengan tambahan jagung, rasa kenyang yang dihadirkan mampu bertahan lama. Tak butuh artikel ilmiah untuk membuktikannya, yang saya rasakan memang benar, nasi jagung membuat rasa kenyang jauh lebih panjang.
Nasi jagung juga jadi lambang kekayaan bagi sebagian warga Madura, karena masih banyak dari mereka yang mengganti nasi putih dengan singkong yang diparut lalu dijadikan pelaku utama di meja makan.
Keunikan Madura yang terdefinisikan
Banyak hal baru yang saya dapatkan. Untuk menjadi goblok atau setidaknya terlihat goblok, coba ke Madura dan ikut ngopi dengan mereka, bagi kalian yang TOEFL Madura-nya di bawah standar, saya jamin hanya linglung tidak paham apa yang mereka bahas. Orang Madura masih kenceng banget megang tradisi, cenderung konservatif tapi masih wajar. Saat turun bus di pertigaan Guluk Guluk Sumenep, saya mengambil kesimpulan kalau orang Madura cenderung males untuk bertanya duluan apalagi kalau nggak kenal.
Apakah ini benar? Ya itu yang saya rasakan saat nunggu jemputan di pertigaan, tidak ada satu pun yang basa basi.
Hal yang agak menyita perhatian lainnya adalah kebiasan ibu-ibu Madura yang memikul beban di kepala. Mereka punya keseimbangan tubuh di atas rata-rata, setara dengan keseimbangan gerak badan milik Stephen Chow. Saat mengantar sarapan ke sawah, ibu-ibu di Madura menolak sistem dijinjing, dipikul di atas kepala adalah harga mati.
Soal outfit juga jadi hal yang menarik, hampir semua kaum hawa di Sumenep menggunakan hijab segi empat/pashmina. Jarang banget saya temui yang pakai hijab plisket/blusukan ala ala ukhti outfit of the day. Ya memang ada yang pakai, tapi jarang banget.
Jamet Kuproy juga tak lepas dari pandangan, fenomena yang selama ini hanya saya lihat di kanal media sosial, akhirnya bisa saya rasakan kehadirannya di dunia nyata. Persinggungan dengan murid Mas Boger Bojinov adalah salah satu pengalaman terbaik saat di Madura. Melihat mas-mas rambut panjang warna pirang, pakai sarung hitam polos, kaos merah maroon naik motor tiger ceper yang sudah dimodifikasi adalah candu yang bikin rindu.
Madura adalah tempat terbaik untuk menghabiskan libur semester. Anda tidak percaya? Silakan coba. Mari kita tutup dengan langgam lagu khas Kota Istimewa, “Ku percaya selalu ada sesuatu di Madura”.
Penulis: Geza Xiau
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 4 Alasan Orang Madura Bakal Sulit Betah di Singapura