Buat beberapa orang, sekali lagi, beberapa orang, masuk ke coffee shop itu menakutkan. Menghadapi mbak-mbak pelayan di beberapa tempat minum kopi sekelas Starbucks, atau tempat lain yang berusaha mengikuti standar pelayanan kopi Starbucks itu kadang menakutkan. Kita seperti sedang menghadapi sebuah ujian lisan yang taruhannya nyawa.
Di tempat-tempat seperti itu, pertanyaan kopi jenis apa dan seberapa besar takarannya tidak cukup, ada serangkaian istilah lain yang saya jamin setelah melewati setengah dari list pertanyaan itu, kita tidak akan pernah tahu lagi mbak ini menawarkan kopi atau sejenis campuran kimia tertentu untuk meledakkan dunia.
Pertanyaan pertama soal mau kopi apa biasanya masih aman, meski jelas tidak ada term “kopi susu” di sana, kecuali diganti dengan nama-nama aneh yang intinya tetap sama: kopi campur susu. Paling pertanyaan mau jenis kopi apa, atau jenis lain yang membuat beberapa—sekali lagi beberapa—peminum kopi Torabika sachet biasanya bingung.
Setelah jenis kopi berikutnya adalah seberapa besar gelasnya. Ini juga rentan menjebak, sebab di dunia nyata kita cuma kenal: kecil, sedang, dan besar. Kalau untuk baju ada S, M,L, XL, atau XXL. Tapi di tempat seperti itu jelas tidak ada ukuran gelas yang kita kenal; yang ada: short, tall, grande, venti, dan trenta. Heh? Bahasa apa itu? Belum lagi ternyata ukuran venti untuk kopi panas dan dingin saja beda. Di sini kita sudah merasa bukan ditawari gelas minuman, tapi tabung reaksi untuk percobaan kloning hewan atau sejenisnya.
Jika kita lolos dari ukuran gelas, anggaplah kita menjawab sekenanya dan mbak pelayan hanya mengangguk-tersenyum, kita belum tentu lolos dari pertanyaan berikutnya. Mau dicampur susu apa? Ada almond, soy, dan susu sapi. Susu sapi juga terbagi menjadi nonfat, full cream, atau heavy cream. Mau ditambah gula? Gula apa? Brown sugar? Gula pasir? Pemanis buatan? Tambah whipped cream? Atau bisa tambah sirup, ada sirup vanila, karamel, hazelnut, pralin, nambahnya mau berapa pump? Mau tambah shot juga? Decaf atau half-decaf?
Matilah. Di sini kita benar-benar tidak bisa membayangkan jenis kopi yang akan disajikan, kita tidak yakin lagi benda yang nanti keluar dari dapur masih tampak seperti kopi. Coffee shop, tak ada bedanya dengan tempat interogasi.
Mungkin di titik ini ada saja yang membayangkan memesan kopi itu harusnya sesederhana warteg, cukup teriak, “Mbok, kopi satu!” Lalu datanglah kopi hitam yang masih mengepul-ngepul panas. Selesai. Tidak ribet, semua bahagia.
Baca halaman selanjutnya