Astor memang astor yang sesungguhnya. Ada yang udah pernah nyobain pelopor wafer stick satu ini?
Bagi kebanyakan orang, air mineral kemasan itu hanya ada dua: Aqua dan selain Aqua. Maklum saja, Aqua jadi pabrikan air mineral kemasan yang namanya kadung besar. Menjadi legendaris dan tak tergantikan itu bukan perkara sepele, perlu waktu yang tak sebentar dan pembuktian yang tak mudah.
Selain Aqua di dunia air mineral kemasan, ada satu merek lain yang juga serupa dengannya namun beda semesta, ia adalah Astor. Astor merupakan sebuah merek yang pada akhirnya menjadi kata ganti bagi wafer stick itu sendiri. Dengan kata lain, ia merupakan legenda dalam dunia wafer stick belang-belang di Indonesia.
Astor sudah menjadi kecintaan banyak orang sedari dulu. Ia mampu menjangkau pelosok Indonesia. Meski begitu, masih banyak orang yang mengira jika astor yang tak bermerek Astor adalah yang sejati. Asalkan itu wafer stick, orang akan menganggapnya itu astor. Padahal Astor yang sesungguhnya punya rasa yang membuatnya pantas dinobatkan sebagai wafer stick paling legendaris di negeri ini.
Sejujurnya saya sendiri baru mencoba astor yang asli saat sudah dewasa. Itupun karena didorong rasa penasaran yang menggebu. Sejak kecil hingga remaja, astor palsu kerap mengisi relung jiwa dan membela indra perasa saya. Dulu, produk keluaran Mayora Indah ini hanya bisa saya lihat gambar kalengnya di brosur keluaran minimarket atau supermarket. Saat bertamu ke rumah orang pun saya tak pernah bertemu yang asli. Pernah ada yang menyajikan kalengnya, namun dengan isi yang menipu.
Setelah hidup sekian tahun dengan menikmati astor palsu, saya putuskan untuk membeli yang asli. Harga wafer stick sesungguhnya ini memang jauh lebih mahal ketimbang wafer stick yang biasa berstoples plastik itu. Satu kaleng seberat kurang dari setengah kilogram hanya memberikan saya beberapa batang wafer stick. Sementara yang bukan Astor di harga sama mampu memenuhi kebutuhan camilan saya selama seminggu. Namun perkara rasa dan aroma, yang asli memang lebih digdaya.
Saat membuka tutup Astor pertama kali, aroma kuat terasa menusuk hidung saya. Aroma yang baru pertama kali saya rasakan, namun seolah sudah amat akrab bak kawan lama yang saling merindukan. Aroma cokelat itu terasa menggebu, memberikan sugesti bahwa rasanya pasti manis dan sedap.
Saya pun memegang batang wafer stick pertama, permukaan kulitnya terlihat mantap. Ia tak seperti wafer stick murahan yang ambyar begitu terkena sedikit tenaga dari ujung jari. Teksturnya yang renyah sudah pasti bisa saya rasakan. Isiannya pun padat berisi, tak ada bagian dari wafer stick itu yang tak dilapisi cokelat. Rasa cokelatnya yang kuat berpadu cangkang yang harum dan tak mudah ambyar membuat saya merasakan pengalaman memakan wafer stick yang benar-benar baru. Seolah semua yang saya butuhkan pada wafer stick ada padanya. Tak berlebihan jika saya bilang ia wafer stick terbaik yang pernah saya cicipi.
Cokelat Astor terasa lebih tajam di lidah saya, bahkan lebih kuat ketimbang cokelat Chocolatos di awal kemunculannya. Isian itulah yang menjadi pusat cita rasa. Ia manis, namun tak berlebihan. Mungkin karena kulit tebal dan renyahnya mampu mereduksi rasa manis dari isian, sehingga semua terasa seimbang.
Saat dipegang, Astor memang terasa jauh lebih berat dari wafer stick kebanyakan. Saya percaya itu menandakan bahwa merek satu ini memang tak pelit bahan. Meski akhirnya isian cokelat yang mantap dan kulit yang nikmat bikin satu kaleng Astor terasa sempit volumenya. Ia memang lebih mahal, namun tak mungkin awet jika jadi suguhan Lebaran.
Membeli dan mencoba Astor untuk pertama kalinya adalah salah satu keputusan terbaik dalam hidup saya. Bagaimanapun rasa adalah yang utama, dan rasa itulah yang membuat wafer stick satu ini pantas menyandang gelar astor sesungguhnya yang no tipu-tipu. Mumpung masih ada umur, gas cobain yang asli, deh.
Penulis: Bayu Kharisma Putra
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Cara-cara Orang Makan Astor, Snack Saingan Berat Khong Guan di Meja Hidangan Lebaran.