Peringkat Indonesia dalam dunia pendidikan internasional masih sangat mengecewakan. Sudah bukan hal yang mencengangkan lagi kalau Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 yang diterbitkan pada Maret 2019 lalu meneropong sekelumit masalah pendidikan Indonesia. Dalam kategori kemampuan membaca, sains, dan matematika, skor Indonesia tergolong rendah. Bayangkan, dari 79 negara, kita berada di urutan 74.
Berbicara masalah pendidikan Indonesia tentu amat kompleks. Apalagi jika tak mengategorikan antara perguruan tinggi, sekolah menengah, hingga sekolah dasar. Saya mengajak kawan-kawan berselancar sejenak untuk melihat sekelumit masalah pendidikan Indonesia. Setidaknya ada 5 masalah utama pendidikan kita dalam kacamata saya.
#1 Tidak punya visi yang terarah
Kalau membuka Undang-Undang mengenai pendidikan, mungkin saja kita akan menemukan berbagai macam visi, misi, tujuan hingga bermacam “tetek bengek” soal pendidikan. Kemendikbudristek sendiri punya visi pendidikan nasional.
Tapi, yang saya maksud di sini adalah kita tidak punya semacam goal yang jelas. Sederhananya, kita tak mengerti mau dibawa ke mana pendidikan kita. Pendidikan kita hari ini seakan seperti kapal di tengah lautan yang tetap berlayar, tapi tak punya tujuan yang jelas.
Sebelum berbicara soal sistem, semestinya kita harus punya arah mau dibawa ke mana pendidikan nasional 10 sampai 20 tahun ke depan. Sebagai contoh misalnya, pendidikan kita harus merumuskan setidaknya di tahun 2030, anak-anak Indonesia sudah bisa “begini.” Sementara di tahun 2040, sudah bisa “begitu.” Sehingga saat satu goal sudah tercapai, kita bisa meningkatkan ke arah berikutnya.
Jika ini teraplikasikan, semua pelaku pendidikan hingga tingkat bawah akan mengerti apa yang akan mereka lakukan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
#2 Kurikulum usang
Zaman berkembang sangat pesat. Dulu mungkin orang sibuk mencari cara bagaimana bisa mendapatkan pekerjaan. Tapi, hari ini orang lebih banyak berbicara soal bagaimana menciptakan lapangan pekerjaan.
Disrupsi yang terus bergulir tidak hanya membuat kita sibuk menyiapkan generasi yang adaptif terhadap perkembangan zaman. Namun, di saat yang bersamaan pendidikan juga harus mampu membentuk karakter manusia yang sesuai budaya timur.
Meski merdeka belajar dan kampus merdeka terus digulirkan. Namun, Lihatlah beberapa hal mendasar yang bisa kita sorot dari kurikulum kita: (a) Mata pelajaran yang terlalu banyak menyebabkan siswa tak mampu menguasai satu bidang keilmuan dengan baik, (b) metode pembelajaran yang lebih fokus pada menghafal bukan memahami, (3) kurang praktik, (4) mendewakan nilai. Akibatnya, anak-anak lebih mencari cara agar nilai bagus dengan cara apa saja, tapi lupa untuk menjadi cerdas. Ada banyak masalah dalam kurikulum kita, setidaknya 4 poin di atas adalah hal yang dasar.
#3 Rendahnya minat baca
Anak-anak Indonesia sedari kecil tidak diajari menumbuhkan minat baca secara intens. Bahkan fakta yang paling menyedihkan juga adalah bahwa kaum akademik sangat sedikit yang mau menulis. Sebuah fakta yang menjadi ironi kita bersama. Saat bertanya kepada seorang teman beberapa waktu yang lalu, kapan terakhir kali membaca, ada yang menjawab satu tahun yang lalu.
Bagaimana mungkin kita mampu merumuskan sistem yang sehat literasi, jika kaum akademik saja enggan untuk membaca dan menulis? Sebuah pepatah klasik kiranya cocok dengan keadaan ini, yaitu ayah kencing berdiri, anaknya akan kencing berlari.
#4 Kekurangan kualitas dan kuantitas pendidik
Anak yang baik dan cerdas tentu tidak lepas dari hasil didikan guru. Tapi juga harus diingat bahwa anak-anak yang bertolak belakang dengan itu juga tidak boleh dilepaskan dari pengaruh guru. Indonesia tak hanya membutuhkan tambahan kualitas, tapi juga kekurangan guru secara kuantitas.
Tentu permasalahan ini bukan tanpa sebab. Salah satu yang menjadi sumber penyebabnya adalah di mana guru di Indonesia tidak mendapatkan tempat yang baik dalam segi penghargaan. Gajinya minim, apalagi guru honorer.
Itulah kenapa sarjana-sarjana pendidikan saat lulus banyak yang tidak mau menjadi guru. Selalu ada profesi lain yang lebih menjamin untuk bertahan hidup.
#5 Infrastruktur belum merata
Saya sering menyebut dalam berbagai diskusi sebuah istilah begini: bahwa apa yang didapatkan anak di Jawa tidak sama seperti apa yang didapatkan oleh anak-anak di timur sana. Pembangunan yang kurang merata berdampak banyak bagi berlangsungnya proses pendidikan.
Tak jarang kita lihat ada sekolah yang masih terbuat dari papan, atapnya bocor, belum lagi kita berbicara soal perpustakaan, laboratorium, dan lain-lain. Tidak meratanya pembangunan ini menyebabkan terlambatnya satu langkah teman-teman kita di pelosok dalam pendidikan.
Lima hal di atas merupakan sekelumit masalah nyata pendidikan kita. Masih banyak masalah lain, tapi setidaknya 5 di atas adalah masalah dasar kita semua. Masukan dan kritik tentu boleh saja kita layangkan. Namun, kita juga bisa bergerak, mengubah lingkungan sekitar, minimal ruang kelas, lewat hal-hal kecil.
Penulis: Awaluddin
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Fenomena Sekolah Kekurangan Murid, Apa yang Salah dari Sistem Pendidikan Kita?