Historical walking tour menjadi salah satu medium mengenalkan sejarah melalui kegiatan rekreasi, khususnya jalan-jalan.
Sejauh pandang saya, sejarah menjadi subjek yang membosankan dan sulit dipahami. Beberapa orang yang saya kenal bahkan terang-terangan menganggap bahwa sejarah itu tidak menarik dan entah apa gunanya dalam kehidupan.
Saya kira, pandangan ini pun tidak lepas dari cara kita dalam mempelajari sejarah. Di sekolah misalnya, pembelajaran sejarah jamak menggunakan metode hafalan, alih-alih menanamkan pemahaman komprehensif nan kontekstual.
Terlebih, pelajaran sejarah di sekolah pun banyak disampaikan dengan metode ceramah dan terkesan sangat textbook. Jika mata pelajaran sejarah diberikan di jam-jam siang, ini menjadi sarana yang tepat untuk membantumu cepat terlelap dalam kelas.
Benar, ada argumen bahwa yang bilang pelajaran sejarah membosankan itu mungkin dirinya sendiri bosan dengan sejarah, terlepas metode pengajarannya. Tapi, kita sepakat, metode yang digunakan kebanyakan kurang engaging, untuk tidak bilang membosankan.
Berkaca dari hal tersebut, sudah sepatutnya metode penyampaian sejarah diubah menjadi lebih menarik dan down-to-earth. Salah satu metode yang baru saya temui dalam menikmati sejarah yaitu melalui walking tour.
Historical walking tour
Kalau saya tidak salah ingat, sejarah memiliki beberapa fungsi. Pertama yakni sejarah sebagai pengetahuan, kemudian sejarah sebagai informasi, dan yang ketiga sejarah sebagai rekreasi.
Historical walking tour menjadi salah satu medium mengenalkan sejarah melalui kegiatan rekreasi, khususnya jalan-jalan. Dari kegiatan tersebut, kami diajak untuk mengelilingi beberapa ikon kota yang memiliki nilai historis. Mengenalkan kami kepada sejarah kota yang tenggelam oleh peradaban.
Sebenarnya konsep ini bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia. Pasalnya, konsep serupa juga dapat ditemui di beberapa tempat wisata populer seperti Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Hanya saja, penyelenggara walking tour yang saya temui ini menawarkan pengalaman lebih kepada para pesertanya.
Alih-alih mengajak peserta ke tempat wisata sejarah populer, walking tour yang saya ikuti mengarahkan kami ke tempat-tempat yang tidak menarik untuk dikunjungi sebagai lokasi wisata. Nampaknya, tempat tersebut pun tidak terpikirkan untuk dijadikan sebagai tempat berlibur masyarakat umum.
Sebabnya, historical walking tour mengajak kami menelusuri sejarah kota sampai ke tempat-tempat yang tidak pernah saya sadari memiliki cerita menarik di dalamnya. Di Jakarta misalnya, ada beberapa destinasi yang bisa kamu pilih seperti kawasan Chinatown Glodok, Cikini, Gambir, Djuanda, Cilincing, Menteng, hingga makam kehormatan Belanda di Ereveld Menteng Pulo.
Bayar berapa pun yang kamu mau
Beberapa waktu lalu, saya sempat merasakan sendiri dengan mengikuti historical walking tour bersama kawan-kawan dari Jakarta Good Guide. Kebetulan, destinasi yang saya pilih adalah kawasan pecinan di Glodok, Jakarta Barat.
Bagi saya, rute ini adalah rute yang paling menarik dibanding rute lain yang tersedia. Sebabnya, kawasan Pecinan tidak hanya menawarkan cerita sejarah kota saja. Lebih dari itu, saya bisa merasakan kebudayaan masyarakat keturunan Tionghoa secara langsung yang sangat berbeda dari kebudayaan asal saya.
Dalam tur tersebut, kami diajak untuk menelusuri beberapa tempat yang tentunya mempunyai cerita menarik. Jika kamu pernah mendengar Pantjoran Tea House, Petak Sembilan, Wihara Dharma Bakti dan Wihara Dharma Jaya Toa Se Bio, Gereja Santa Maria de Fatima, dan Gang Gloria, itu adalah beberapa tempat yang dijadikan destinasi dalam tur ini.
Sejujurnya, tur yang berdurasi sekitar dua jam ini tidak begitu berasa lelah. Justru kebalikannya, durasi dua jam terlalu cepat karena banyak cerita yang bisa dikulik dari kawasan pecinan Glodok.
Sebagai pencinta jalan-jalan, keikutsertaan saya dalam tur ini juga menjadi pengalaman yang menarik. Rasanya hanya mengikuti satu kali tur saja tidak cukup untuk mendengar keseluruhan cerita dari secuil sejarah kota Jakarta.
Kabar baiknya, buat kamu yang tinggal di luar Jakarta pun bisa mengikuti kegiatan walking tour ini. Sejauh yang saya tahu, ada beberapa kota lain yang memiliki penyelenggara serupa seperti Bogor, Bandung, Jogja, dan Palembang dengan variasi rute yang tersedia dalam kota tersebut.
Hebatnya lagi, penyelenggara historical walking tour pun tidak mematok tarif khusus untuk kegiatan reguler mereka. Kamu bisa membayar seikhlasnya sesuai dengan tingkat kepuasan kamu selama mengikuti tur. Walaupun seikhlasnya, berilah nominal yang wajar dan manusiawi, ya!
Sebagai penutup, saya kira sudah waktunya beberapa kota lain pun mempunyai konsep tur serupa. Di samping bisa sambil berwisata, para peserta tentunya jadi lebih bisa mengenal sejarah dan identitas kota sendiri. Terlebih dengan konsep yang diusungnya, saya rasa sejarah akan kembali hidup dengan cara yang menyenangkan.
Penulis: Muhamad Yoga Prastyo
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Hei, Sejarah Bukan Hanya Ditulis oleh para Pemenang!