Untuk mahasiswa rantau macam saya, sudah jarang mendengar nasihat-nasihat langsung dari orang tua, terutama Ibu. Salah satunya karena faktor jarak dan waktu. Dulu waktu SMA, saya dan teman-teman pernah berandai-andai kalau kami punya kesempatan kuliah di luar kota dan jauh dari rumah, tidak perlu lagi setiap hari mendengarkan omelan dari orangtua. Dikit-dikit ditanya mau kemana, dikit-dikit ditanya mau main sama siapa, dikit-dikit ditanya pulang jam berapa.
Kami membayangkan hidup di perantauan akan bebas. Iya sih bebas, tapi ternyata cerewet-nya dan nyinyir-nya orang tua itu perlu untuk perkembangan kehidupan kami. Kalau tidak ada yang nyinyirin, tentu kami tidak akan tau hal mana yang boleh kami lakukan dan hal mana yang tidak boleh kami lakukan. Ya, suka-suka kami saja.
Kebanyakan dari kita mengonotasikan kata “nyinyir” sebagai kata yang negatif. Biasanya kalau ada orang yang terkenal dengan karakter “nyinyir”-nya pasti orang-orang memilih malas berteman atau bahkan sekedar ngobrol. Anggapan kita bahwa orang yang “nyinyir” itu adalah orang yang mulutnya pedas, tukang gosip, pembawa kabar burung lalu hinggap kesana kemari. Ngomong ke si A begini tapi ketika ngomong ke si B begitu, sulit dipercaya. Tapi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata “nyinyir” sendiri berarti adalah mengulang-ulang perintah atau permintaan dan cerewet.
Serius nih nggak boleh “nyinyir”?
Nyinyir itu sudah jadi bagian dari keseharian manusia, itulah kenapa di setiap perusahaan ada kontak customer service sebagai sarana nyinyirisasi konsumen terhadap segala sesuatu yang bisa dinyinyiri dari perusahaan. Lalu kalo si konsumen sudah nyinyir panjang lebar, mbak atau mas di belakang telepon akan minta maaf dan berjanji akan memperbaiki kesalahan, persis kata-kata dari mantan ketika ngajak balikan.
Tapi ternyata untuk kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN) nyinyir bukan lagi aktivitas manusiawi bagi mereka, soalnya mereka bisa dipecat kalau ketauan nyinyir. Apalagi di media sosial.
Saya jadi sedih, soalnya ibu saya pernah menyarankan saya jadi PNS. Kata beliau dari pada kerjaan yang lain tidak jelas gajinya, mending PNS saja, gaji tetap, santunan ada, kerja cepat, bisa terlambat, bisa istirahat lebih cepat, bisa pulang duluan, dan segudang kelebihan lainnya. Kalau ada peraturan tidak boleh nyinyir, mungkin saja saya akan jadi orang pertama yang dipecat. Soalnya kadar nyinyir dalam darah saya tinggi sih, makanya saya nulis di mojok. Otomatis saya tidak bisa mengabulkan permintaan Ibu untuk jadi ASN.bisa bolos,
Zaman sekarang sepertinya sudah kurang relevan lagi dengan pribahasa diam itu emas. Nyatanya, diam tidak selalu emas. Ada kalanya kita sebagai rakyat juga berkesempatan untuk mengemukakan keluhan, kritik serta saran kita kepada pemerintah.
ASN juga bagian dari masyarakat Indonesia, tidak ada bedanya dengan pegawai swasta, pegawai startup, ibu rumah tangga, pengangguran dan calon pengangguran (baca: mahasiswa) seperti saya. Semua bebas “nyinyir”, mengulang-ulang permintaan mereka, dan cerewet dalam mengingatkan para wakil rakyat di atas sana. Nyinyir nggak apa-apa, asal jangan mengata-ngatai terus sembari ngajak orang lain setuju dengan perkataannya. Untung orang tua saya bukan ASN, kalau mereka berhenti nyinyir bisa makin liar saya. hehe
Nyinyir ini pada dasarnya sebagai pengingat. Pengingat janji yang belum ditepati, pengingat program kerja yang belum selesai, pengingat kalau di bawah sini masih banyak rakyat-rakyatnya yang belum sejahtera. Soalnya sudah diingatkan saja kadang tidak didengarkan, apalagi tidak pernah diingatkan.
Negara ini ibarat seorang anak yang sedang tumbuh, perlu dukungan tapi juga harus sering diingatkan supaya tidak salah melangkah. Dan masyarakat berperan sebagai orang tua yang sangat hobi nyinyirin anaknya sampai kuping si anak panas dan akhirnya nurut kata ibu bapaknya, tidak lain dan tidak bukan demi kebaikan si anak sendiri.
Dulu saya pernah komplain ke orangtua, mungkin karena saya sudah merasa dewasa dan bisa mengurus kebutuhan sendiri, saya jadi kesal kalau orang tua mulai nyinyir ke saya. Lalu ibu saya bilang kalau nyinyir dan cerewet itu adalah salah satu bentuk kepedulian, dimana orang tua masih memperhatikan dan mengkhawatirkan anaknya. Sama seperti orang-orang Indonesia yang masih sering nyinyir dan cerewet sama keadaan negara ini, entah di dunia nyata atau di medsos mereka. Itu artinya mereka masih perduli dengan carut-marutnya negara ini, masih ikut mikir. Masih mau ngingetin wakil-wakil rakyat itu yang suka tiba-tiba pikun kalau ditagih janji kampanyenya.
Bayangkan, kalau tidak ada lagi orang yang perduli dengan negara ini. Tidak ada yang nyereweti, tidak ada yang nyinyiri. Mau bagus ya syukur, mau jelek ya mboh lah, sakarepmu wae. Mau maju ya bagus, mau mundur ya tinggal masukin gigi mundur. Mau berkembang ya alhamdulilah, mau bubar ya sudah, ini seperti nasib saya dengan mantan.
Tapi sekali lagi, nyinyir tentu dalam kapasitas mengingatkan yhaaa~ Inget ngingetin dan ngehina itu beda, Bung!
Bersyukurlah Indonesia masih dinyinyirin rakyatnya, soalnya kemarahan paling besar adalah ketika seseorang tidak lagi mau peduli. (*)
BACA JUGA Guru Honorer Adalah Calon Penghuni Surga, Lainnya Hanya Sampai Gerbang atau tulisan Sabrina Mulia Rhamadanty lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.