Dini hari tadi (13/10) di menit ke 62 pertandingan kualifikasi Euro 2020 Italia melawan Yunani, Lorenzo Insigne memberikan umpan kepada Marco Veratti ketika dia tidak mendapatkan ruang tembak. Veratti yang datang dari second line dan tidak dijaga langsung menghujam umpan tadi dengan tendangan. Tendangan tadi alih-alih menghujam gawang, mengarah ke lengan Andreas Bouchakalis, gelandang Yunani. Wasit meniup peluit dan menunjuk titik putih untuk Italia.
Jorginho maju sebagai eksekutor seperti biasa. Dengan jarak agak jauh, dia berlari kecil menuju bola dan melompat tepat sebelum bola ditendang. Kiper sudah oleng kekiri sebelum bola malah ditendang ke sebelah kanan. Gol pertama untuk Italia setelah bermain satu jam tanpa gol. Di akhir laga, Fernando Bernardeschi mencetak gol penutup dan mengunci kemenangan Italia. Sekaligus juga memastikan Italia akan berkompetisi di Euro 2020 tahun depan.
Gol pertama dari kemenangan tadi menjaga rekor 100% gol pinalti yang diambil oleh Jorginho sebagai eksekutor utama kala berbaju Italia. Sebagai penendang pinalti, maka Jorginho adalah yang terbaik saat ini di Tim Nasional Italia.
Sekilas Tentang Jorginho Hop
Bicara tentang tendangan pinalti, tendangan itu adalah cara paling mudah untuk mecetak gol di sepak bola. Situasinya hanya anda dengan kiper tanpa gangguan siapapun. Hanya tinggal memperdaya kiper sedikit lalu menendang bola masuk ke sudut gawang yang sulit dengan tenaga yang lumayan. Bisa dibilang keberhasilannya mendekati 90%.
Karena itu untuk beberapa klub tertentu (kebetulan klub Italia juga) apabila terlalu banyak mendapatkan pinalti akan dicurigai. Pada momen mendapat pinalti maka akan keluar ejekan seperti ‘gosok voucher’. Kebalikannya, ada juga klub tertentu yang mendapatkan banyak kesempatan menendang pinalti lalu dengan luar biasa tidak berbuah gol sama sekali. Momen antiklimaks itu juga yang membuar klub tersebut terjerembam di bibir jurang liganya sekarang.
Jorginho adalah si penendang yang cukup cerdik untuk memperdaya kiper. Gol pinalti ke gawang Yunani tadi adalah sebuah bukti sahih atas kemampuannya itu. Dengan ancang-ancang unik dan lompatan untuk menipu kiper, rekor menendang pinaltinya nyaris sempurna. Dan teknik unik tadi menjadi sebuah ‘jurus’ yang sering diberi nama Jorginho Hop.
Ide dasar dari Jorginho Hop ini adalah memperdaya kiper sebelum bola ditendang. Berbeda dengan kebanyakan penendang pinalti biasanya. Yang mana sudah memilih target dan akan tetap pada itu sebelum ditendang. Mungkin akan berubah ketika melihat situasi yang ada.
Jorginho mengambil sekitar 4 atau 5 langkah mundur sebelum menendang. Dengan setengah berlari dan sebuah lompatan di terakhir, dia akan wmemilih target sesuai reaksi kiper terhadap lompatan tadi. Jika kiper sudah condong ke sebelah kanan, maka dia akan menembak ke sebelah kiri. Begitu juga sebaliknya.
Kuncinya ada di lompatan kecil sebelum menendang bola. Lompatan itu adalah sebuah momen yang ‘terhenti’ dan akan membuat kiper pada umumnya akan terpancing untuk bereaksi sesaat sebelum bola ditendang. Dan ketika kiper sudah terjebak, maka dia mati langkah dan tidak akan bisa menghentikan tendangan sekalipun tendangannya lemah.
Momen yang ‘terhenti’ itu tidak harus sebuah lompatan. Mario Balotelli dan Eden Hazard yang mempunyai ‘jurus’ yang mirip menggantinya dengan berhenti sejenak sebelum menyepak. Balotelli adalah yang paling kentara berhentinya. Seperti Jorginho, dia akan ‘berhenti’ satu langkah sebelum menendang bola. Hazard melakukannya juga namun dengan interval yang lebih singkat dan langkah yang lebih pendek. Sering kali dikombinasikan juga dengan panenka kalau-kalau dirasa kiper bisa menebaknya.
Teknik tersebut sangat menjanjikan dan menjamin keberhasilan hampir 100%. Jorginho sendiri sudah mengambil tendangan pinalti di waktu normal sepanjang karirnya sebanyak 16 kali. Yang tidak masuk hanya satu kali ketika melawan Udinese November 2017 yang lalu. Dalam adu pinalti, terakhir kali tendangan Jorginho dimentahkan adalah ketika Final Carabao Cup melawan Manchester City Februari silam. Ya, teknik tersebut ternyata punya penawar yang ampuh.
Kuncinya lagi-lagi ada dalam lompatan sebelum menendang bola. Jika biasanya kiper akan langsung bereaksi, maka kiper yang mementahkan tendangan pinalti Jorginho tadi tidak bereaksi sama sekali.
Silahkan lihat cuplikan kompilasi tendangan pinalti Jorginho. Maka kita akan menemukan Simone Scuffet dan Ederson Moraes tidak termakan trik Jorginho. Alih-alih bergerak karena terpancing lompatan, mereka hanya diam dan menunggu bola ditendang. Karena ide dasarnya adalah menipu penjaga gawang, kebanyakan tendangan Jorginho lemah. Karena itu tendangannya akan mudah diantisipasi.
Namun untuk dalam pertandingan waktu normal masih bisa menguntungkan apabila bola yang ditepis malah mengarah ke penendang. Seperti Scuffet yang bisa mementahkan tendangan itu namun tetap gagal mencegah gol ketika Jorginho menendang bola rebound tersebut.
Dengan teknik ini dan rekor yang ada, Jorginho sudah pasti akan menjadi penendang tendangan pinalti utama baik di Chelsea maupun di Tim Nasional Italia. Terlebih lagi ketika Ross Barkley mengambil tendangan pinalti di laga Champions League melawan Valencia dan gagal berbuah gol. Sebagai sebuah tim yang mengejar kemenangan dengan serangan dan gol sebanyak mungkin, maka kalau bisa semua pinalti yang didapat harus dieksekusi Jorginho demi jaminan gol.
Jersey Renaissance, Sebuah Kebangkitan Italia
Masih dari pertandingan tadi malam. Italia memakai jersey yang berbeda ketika bertanding di kandang sendiri. Seharusnya Italia memakai jersey berwarna biru, warna kandang dan kebesaran mereka. Namun di Stadion Olimpico, Roma tadi malam Italia tampil dengan jersey ketiga berwarna dominan hijau dengan sentuhan biru dan emas pada logo Puma, federasi serta nameset dan nomor.
Lewat cuitan Twitter Puma, jersey yang berasal langsung dari masa renaissance adalah jersey dengan corak yang sama dengan yang dipakai pada tahun 1954, ketika Italia menang melawan Argentina 2-0. Warna hijau juga dipakai oleh tim junior Italia kala bertanding. Jadi Puma selaku apparel utama, merayakan kejayaan masa lalu dan sudah banyaknya pemain muda yang diberi kesempatan tampil dengan sebuah jersey ketiga tersebut.
Setali tiga uang dengan penampilan Italia secara keseluruhan. Mereka berhasil lolos ke putaran final Euro 2020 tahun depan biarpun laga masih menyisakan tiga pertandingan lagi. Dari tujuh laga, semuanya disapu bersih tanpa kekalahan atau hasil imbang. Kebetulan ketika menang dan memastikan tempat tahun depan, Italia memakai jersey ketiga mereka itu. Merayakan kejayaan masa lalu dan pemain muda dengan sebuah renaissance, kebangkitan.
Awan mendung memang sempat hinggap di Italia. Mereka tidak lolos di Piala Dunia 2018. Gagal lolos setelah gagal menang melawan Swedia di babak kedua Kualifikasi Zona Eropa. Membuat kapten sekaligus legenda hidup Gianluigi Buffon menitikkan air mata dan meminta maaf kepada publik Italia kala diwawancara.
Namun kali ini semuanya berbeda. Darah muda sudah menjadi bagian dari skuad senior Italia. Menggantikan kaki-kaki renta yang sudah seharusnya beristirahat saja. Dan dibawah tangan dingin sang pemenang bernama Roberto Mancini, Italia kembali perkasa. Menunjukkan kepada dunia bahwa dulu mereka pernah berkuasa.
Jorginho dan kawan-kawan sudah siap kembali ke trahnya. Sepak bola tertinggi di daratan Eropa dan dunia. Setelah lebih setahun merana, dengan lompatan kecil ala Jorginho Hop, mereka akan kembali lagi tahun depan di kancah sepak bola internasional. Mungkin tidak langsung favorit juara. Tapi, jangan pernah remehkan sepak bola Italia! (*)
BACA JUGA Liverpool Jangan Jumawa: Segerakan Meraih Gelar Liga Inggris! atau tulisan Indra Sinaga lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Forza Italia!