Tiga bulan berlalu sejak GPH Sujiwakusuma atau lebih dikenal sebagai KGPAA Mangkunegara IX wafat. Wafatnya Mangkunegara IX menimbulkan beberapa pertanyaan, khususnya tentang siapa calon penerus takhta Keraton Mangkunegaran dan bagaimana nasib Keraton di masa yang akan datang.
Calon penerus takhta
Sejauh ini, ada dua kandidat kuat penerus takhta. Kedua calon tersebut yaitu GPH Paundrakarna Jiwo Suryonegoro, anak pertama Mangkunegara IX dari pernikahannya dengan Sukmawati Sukarnoputri. Yang dikenal oleh publik sebagai anak dari presiden pertama Indonesia, Sukarno. Ia dilahirkan ketika sang ayah belum naik takhta. Calon kedua yaitu GPH Bhre Cakrahutomo Wira Sudjiwo, anak kedua Mangkunegara IX dari pernikahannya dengan Prisca Marina Haryogi Supardi, anak dari mantan komandan Seskoad dan mantan duta besar Indonesia untuk Jepang, Yogi Supardi. Berbeda dengan sang kakak, ia dilahirkan ketika sang ayah telah naik takhta.
Calon penerus takhta sudah didapat, tapi masih belum ada kepastian siapa yang berhak menyandang gelar Mangkunegara X. Sesuai dengan tradisi, pemilihan raja ditentukan melalui musyawarah keluarga inti dan biasanya hasilnya akan diketahui 100 hari setelah wafatnya raja terdahulu. Jadi harap sabar, paling bulan depan sudah menemukan raja baru. Setidaknya sudah ada calonnya dulu jadi tidak menimbulkan pertanyaan dan keributan tentang siapa yang berhak menjadi calon Mangkunegara X.
Masa depan Mangkunegaran
Selain menunggu siapa yang berhak menjadi Mangkunegara X, nasib Mangkunegaran di masa depan bersama raja baru patut ditunggu. Masa depan sekarang tergantung dengan jalannya suksesi raja. Bila suksesi raja berjalan mulus tanpa menyebabkan perpecahan di internal Mangkunegaran, bisa dipastikan masa depan Mangkunegaran tetap cerah. Bila suksesi malah terjadi sebaliknya, bisa dipastikan masa depan bakal suram.
Keributan yang dialami Kasunanan ketika suksesi Pakubuwana XII ke Pakubuwana XIII bisa dijadikan pembelajaran bagi Mangkunegaran ketika mencari pengganti raja baru. Jangan sampai terjadi konflik keluarga gegara pergantian kekuasaan yang mengakibatkan Kasunanan pecah. Untungnya, dua kubu, yaitu kubu Hangabehi dan kubu Tedjowulan, sudah berdamai walaupun masih ada keributan kecil. Keluarga inti Mangkunegaran harus duduk bersama, menyingkirkan ego pribadi, dan salah satu pihak harus menerima hasil dengan lapang dada. Itu jika Mangkunegaran tak menginginkan apa yang terjadi pada Kasunanan terjadi pada mereka.
Suksesi yang lancar tanpa konflik ini juga demi masa depan yang lebih baik. Jangan sampai hanya karena rebutan siapa yang berhak menjadi penguasa baru Mangkunegaran akhirnya malah menimbulkan konflik keluarga berkepanjangan. Akhirnya malah mengabaikan masalah lain, seperti perawatan aset-aset milik Mangkunegaran misalnya.
Sebagai rakyat biasa, tentunya saya menginginkan suksesi ini berjalan lancar tanpa menimbulkan konflik apa pun. Masyarakat Solo sudah jenuh dengan konflik Kasunanan yang berkepanjangan, jangan sampai Mangkunegaran juga ikut-ikutan terjadi konflik di internal keratonnya. Kalau sampai terjadi konflik, siap-siap saja masyarakat mulai acuh dengan Mangkunegaran dan wibawa di mata masyarakat mulai berkurang. Jangan sampai aset-aset milik Mangkunegaran menjadi tak terawat dan tak terurus. Upaya pelestarian budaya Jawa yang juga menjadi tanggungjawab keraton menjadi terhambat hanya karena konflik keluarga karena rebutan gelar raja.
Seandainya terjadi konflik, coba pikir kembali. Buat apa sih ribut-ribut rebutan gelar raja padahal itu hanya sebuah gelar? Lagian gelar raja juga tak dibawa sampai mati, jadi buat apa mati-matian rebutan gelar raja sampai-sampai terjadi konflik internal yang akhirnya keraton yang jadi tumbalnya. Jadi jangan sampai ribut nggih, bicarakan baik-baik dan terima hasilnya dengan lapang dada, toh ini juga demi kebaikan Mangkunegaran di masa depan dan menjaga citra di mata masyarakat tentunya.
Sumber gambar: Pixabay