Belakangan ini ramai tren ikoy-ikoyan yang kemudian menyebabkan pro-kontra di kalangan selebritas dan influencer. Beberapa setuju, beberapa lainnya menolak bahkan menentang. Salah satu selebritas yang menentang adalah Febby Rastanty.
“Netizen adalah masyarakat. Karakter masyarakat mencerminkan bangsa. Masa mau dicap sebagai bangsa yang malas dan punya mental pengemis?” ujar Febby. Pernyataan tegas tersebut dikritik, warganet tak terima disebut bermental pengemis. Febby kemudian meminta maaf di Instastory untuk kata-katanya yang keras. Konteks dari penolakan Febby adalah warganet yang biasanya masih muda seharusnya bisa mencari uang dengan usaha sendiri. Pernyataan serupa juga datang dari selebritas yang lain.
Ikoy-ikoyan menurut Arief Muhammad sebenarnya dimaksudkan untuk berbagi rezeki dan hanya seru-seruan saja, bukan untuk memberantas kemiskinan. Ia mengirim barang dan uang pada follower-nya di Instagram secara random, syaratnya follower harus kirim DM meminta bantuan. Tren ini kemudian diikuti sebagian influencer. Tapi, lambat laun trennya berubah dari konsep awal ikoy-ikoyan ala Arief Muhammad, warganet mulai “memaksa” selebritas lain ikut berbagi dengan cara mengirim DM.
“Cuma yang gue sayangkan kenapa jadinya seakan-akan spam banget terus jadi annoying, terus jadi kok jadi kayak ngemis, minta ini minta itu,” jelas Arief Muhammad di kanal YouTube Denny Sumargo.
Banyaknya kritik pada tren ikoy-ikoyan sambil menyebut “mental pengemis” membuat Tiara Pangestika, istri Arief Muhammad, bersuara di unggahan akun Instagram pribadinya: “Padahal mungkin kita pernah ada di posisi begitu, kok. Nggak nyadar aja kali, karena mungkin bukan dalam konteks ngemis uang. Tapi kan bisa jadi mungkin kita pernah ngemis projekan? Ngemis jabatan? Ngemis bantuan? Ngemis viewers? Vote? Ngemis ‘don’t forget to subscribe like and share’, atau segala bentuk apapun itu yang sifatnya minta pertolongan orang lain.”
Lewat pernyataan tersebut Tiara menjelaskan bahwa semua orang bisa ada di posisi penerima bantuan. Kata “ngemis” di sini dimaknai “meminta bantuan”. Dengan kata lain, meski nggak setuju ada label “mental pengemis” untuk warganet yang ikut ikoy-ikoyan, tetap saja penerima bantuan menurut Tiara Pangestika adalah pengemis: semua orang pernah mengemis, hanya beda obyeknya.
Sebenarnya mengemis itu bagaimana, sih? Siapa yang bisa kita sebut pengemis?
Berasal dari kata dasar “emis”, di KBBI mengemis artinya meminta-minta sedekah atau meminta dengan merendah-rendah dan dengan penuh harapan. Sedangkan pengemis adalah orang yang meminta-minta. Definisi lain menurut Mittachul Huda (2009), pengemis adalah orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan mengharap belas kasihan orang lain.
Berarti sudah benar dong warganet yang “memaksa” selebritas ikut tren ikoy-ikoyan disebut pengemis? Arief Muhammad dan Tiara Pangestika pun juga menyebut kata “ngemis”, bukan?
Pernyataan Febby Rastanty malah lebih halus, ia bilang “mental pengemis”, bukan “mengemis” atau “pengemis”. Lantas, kenapa warganet malah keberatan? Padahal, jelas-jelas di Twitter sempat ramai beredar definisi ikoy-ikoyan yaitu “mengemis dengan gaya”. Waktu itu kenapa nggak terlihat ada protes dengan kata “mengemis” yang dipakai warganet?
Saya pikir warganet yang keberatan dengan pernyataan Febby, dan Tiara Pangestika yang menganggap pemakaian frasa “mental pengemis” itu berlebihan, sebenarnya hanya tidak suka saja dengan perbedaan pendapat. Atau lebih tepatnya, tidak suka dikritik perihal ikoy-ikoyan.
Lalu, bagaimana dengan “ngemis” beda obyek yang disebut Tiara Pangestika bahwa bisa saja suatu saat nanti meminta bantuan orang lain dalam bentuk selain uang? Dikembalikan ke definisi “mengemis” saja lah supaya perkara yang sudah jelas ujung pangkalnya tidak berubah menjadi mbulet. Plus jangan lupakan konteks.
Febby Rastanty mengkritik ikoy-ikoyan, konteksnya dibatasi pada warganet yang mengirim DM meminta ini itu pada selebritas atas nama ikoy-ikoyan. Berbeda dengan konteks yang diberikan oleh Tiara Pangestika, yang cenderung melebar dari definisi “mengemis” yang baku. Pernyataan tersebut bisa dibilang ingin menormalisasi ikoy-ikoyan yang dipelopori suaminya supaya tidak terus-menerus dituduh bersalah oleh publik.
Terlepas dari benar-salah, dampak dari ikut-ikutan tren “ngemis” seperti ini akan balik ke diri sendiri, Gaes. Ikoy-ikoyan yang didefisinikan sebagai “mengemis dengan gaya” bisa membuat seseorang punya mental “pengemis banyak gaya”. Kadung tahu enaknya minta-minta, tanpa susah payah berkeringat, lalu jadi terbiasa dan lupa caranya bekerja.
Demikian juga dengan influencer atau selebritas yang permisif pada tren sejenis ikoy-ikoyan tanpa peduli dampaknya bagi masyarakat, ada saatnya nanti kehabisan modal karena tak lagi tenar. Lagian kenapa nggak bikin konten give away yang normal saja, sih?
Ya, baiklah, berharap influencer berpikir sebelum bertindak adalah perbuatan yang sia-sia. Sudah menjadi pekerjaan influencer untuk bikin heboh di media sosial, minus berpikir tentang tanggung jawab sosial. Influencer nggak punya kewajiban memikirkan dampak kontennya pada masyarakat. Satu-satunya kewajiban influencer adalah membuat konten. Kalau ramai dikritik nanti tinggal bikin klarifikasi, dalam bentuk konten tentu saja.
BACA JUGA Fenomena Ikoy-Ikoyan yang Bikin Mundur Dunia Perkontenan dan tulisan Aminah Sri Prabasari lainnya.