Rasa-rasanya saya belum yakin apakah dimampukan untuk memberikan warisan berupa harta dunia dalam jumlah yang banyak untuk anak saya.
Tempo hari usai makan malam anak pertama saya yang masih TK bertanya ke Ibunya, “Bu, nanti sebelum kamu meninggal, aku bakalan dikasih apa?”
Saya yang sedang khusyuk minum teh pun jadi tersedak mendengar pertanyaan yang sangat tidak terduga tersebut. Saya menatap istri dan responnya sudah dapat ditebak. Kaget dan diam. Saya sih menduga batinnya sedang terkoyak. Kalau ini adalah salah satu adegan sinetron, kamera sudah pindah fokus ke wajah istri dan samar-samar terdengar suaranya, “Asem ik, cah cilik minta warisan”. Hahaha.
Beberapa saat kemudian suara istri yang lemah lembut memecah keheningan di meja makan kami, “Memangnya kamu tau dari mana kalau orang mau meninggal harus ngasih sesuatu?”
Anak saya segera mengambil salah satu buku di ruang baca dan kemudian dia berkata, “Ini lho, rajanya ngasih emas permata kepada anak-anaknya sebelum dia meninggal”.
Alhamdulillah, batin saya. Bisa repot dan panjang urusannya nanti kalau istri mengira pertanyaan barusan adalah akal-akalan saya. Lagian tanya hal begituan kok yo dalam situasu situasi yang sangat embuh seperti sekarang ini to, Nduk. Bapak Ibumu kan jadi mak-deg kaget. Huft.
Situasi di meja makan kami akhirnya membawa ingatan saya pada salah satu episode dalam serial The Simpsons. Saat itu Homer Simpson sedang berdiskusi dengan anak lelakinya, Bart Simpson. Homer berkata kepada Bart, “Son, if you really want something in this life, you have to work for it. Now quiet! They’re about to announce the lottery numbers”.
Ingin rasanya saya mengucapkan kalimat yang sama kepada Si Sulung. Tapi, takutnya nanti dijawab lagi oleh dia, “Ya tapi kan aku ndak minta dilahirkan. Bapak Ibu harus tanggung jawab dengan amanah yang diberikan Tuhan dong! Lagian hidup ini kan cuma perkara memilih dan mengambil keputusan. Kalian sudah memutuskan untuk punya anak, tanggung jawab dengan segala risikonya dong!” Terus dia buat utas di Twitter, di-retweet sama so-called influencer njuk jadi viral. Blaik…
Tapi memang benar, sedari awal menikah, keputusan kami untuk mempunyai anak merupakan hasil kesepakatan bersama dan dengan kesadaran penuh akan segala konsekuensinya. Tentu saja karena kami menyadari bahwa proses merawat dan mendidik anak adalah kegiatan pembelajaran yang tidak ada hentinya.
Fujiko F. Fujio melalui Doraemon juga pernah menulis bahwa “membuat” manusia itu merepotkan. Kalau sudah jadi, ada kewajiban untuk memberi kebahagiaan dan orang tua harus bertanggung jawab seumur hidupnya.
Tentu saja apa yang disampaikan oleh Fujiko lewat perantara Nobita dalam panel buatannya adalah salah satu alasan kenapa ada beberapa pasangan yang memutuskan untuk menunda atau tidak segera punya anak. Dan itu nggak masalah karena setiap orang tentu punya pertimbangannya sendiri.
Masih ingat toh akan kisah Mas Raphael Samuel? Seorang pebisnis yang tinggal di Mumbai, India.
Pada 2019, dia pernah berencana menuntut keluarganya lewat jalur hukum karena menganggap Ibunya telah melahirkan dirinya tanpa persetujuannya terlebih dahulu. Kasus ini pada akhirnya tidak dapat diproses karena nggak ada pengacara yang bersedia mewakili Mas Samuel di pengadilan. Meskipun demikian, media sudah menyoroti hal tersebut dan Mas Samuel sukses menyampaikan apa yang selama ini dia yakini tentang anti-natalisme.
Saya dan istri bukan termasuk penganut anti-natalisme, bukan pula pengikut aliran menikah-harus-punya-anak (dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya). Ya posisinya di tengah-tengah saja lah. Moderat.
Bagi kami, perkara mempunyai anak atau tidak adalah urusan internal dan sudah masuk ke ranah privat masing-masing keluarga. Bukan urusan kami dan nggak mau bertindak sebagai agen promosi juga. Emangnya kalau kami manas-manasin kenalan yang baru nikah untuk segera punya anak njuk segala biaya yang mungkin timbul bakalan kami bayari? Lak ya ndak to? Mikir keluarga sendiri saja sudah mumet. Lha gimana, tiga miliar per anak je…
Menurut kami, yang selama ini sering menjadi masalah adalah naluri untuk mendapatkan keturunan ini kemudian dinormalisasi, bahkan pada beberapa kasus diglorifikasi, sehingga berakhir sebagai suatu tekanan sosial di masyarakat. Seolah-olah pasangan yang sudah menikah kemudian tidak segera punya anak adalah kesalahan besar. Padahal kita nggak pernah tahu ada kisah dan alasan apa di balik semua itu.
Di sisi lain, pada beberapa kasus di keluarga dengan banyak anak, sebenarnya mereka sudah menyampaikan kalau tidak ingin punya anak, atau misalnya sudah cukup dengan tiga anak saja. Akan tetapi mereka tidak memahami bagaimana kiat-kiat yang tepat untuk mencegah atau menunda kehamilan.
Salah satunya tentu saja terkait dengan hambatan dalam keterbukaan pendidikan seks sedari dini di sekolah. Lha gimana, pada level pengambil kebijakan masih terbawa wacana dari kelompok tertentu yang melihat pendidikan seks hanya sekadar isu moral belaka, bukan sebagai kebutuhan utama.
Saya jadi teringat sebuah kisah yang sudah melegenda. Jadi dalam suatu pertemuan desa, seorang penyuluh program Keluarga Berencana memperagakan cara menggunakan kondom dengan jempolnya. Satu tahun berlalu ada seseorang yang mendatanginya dan protes, kenapa kok istrinya masih hamil padahal tiap kali berhubungan intim sudah menggunakan kondom. Ternyata selama ini Si Suami benar-benar mencontoh apa yang disampaikan oleh Si Penyuluh dahulu: memakai kondom pada jempol.
***
Sebagai pasangan yang memutuskan untuk mempunyai anak, maka tugas kami sebagai orang tua salah satunya adalah mendidik dengan cinta dan membahagiakan mereka tanpa mengharapkan balasan. Termasuk menyiapkan segala sesuatunya untuk masa depan mereka.
Pertanyaan anak sulung saya tadi pun sempat membuat ngelu, apakah cara membahagiakan mereka adalah dengan menyiapkan warisan berupa harta dunia yang melimpah? Nggak mungkin dong berharap sepenuhnya ke masyarakat? Edan po?
Masalahnya, rasa-rasanya saya belum yakin apakah dimampukan untuk memberikan warisan berupa harta dunia dalam jumlah yang banyak untuk mereka. Selama ini yang dapat kami berikan baru dalam bentuk kesan dan pengalaman. Yah, mudah-mudahan masih ada kesempatan bagi saya dan istri untuk menyusun rangkaian kisah yang indah, tidak perlu megah, tapi layak untuk dikenang dan ditancapkan dalam ingatan mereka sebagai warisan.
BACA JUGA Plis Deh, Salah Sebut Singkatan SD sebagai Tamparan Pendidikan Itu Terlalu Berlebihan dan tulisan Bachtiar Mutaqin lainnya.