Geger tentang babi ngepet menemui titik akhir. Ternyata, kasus babi ngepet di Depok tersebut adalah rekayasa AI. AI melakukannya atas dasar motif keuntungan pribadi. Namun, meski sudah tertangkap, gegernya belum mereda. Tanpa kita sadari, ada yang terluka dan tersinggung atas kasus babi ini.
Zhu Bajie, atau yang kita kenal dengan nama Pat Kai, adalah pihak tersebut. Tokoh yang dulunya bergelar Tianpeng ini merasa bahwa akibat rekayasa tersebut, dia kembali terkenal namun tidak dengan cara yang baik. Saya langsung ambil kesempatan ini untuk mewawancarai beliau, dan beliau setuju.
Sebenarnya beliau sempat diundang oleh Deddy Corbuzier untuk masuk ke podcast, tapi dia menolak. Entah apa alasannya, dia diam saja waktu saya tanya.
Langsung saja, inilah wawancara saya dengan Pat Kai, alias Zhu Bajie, alias Tianpeng.
“Selamat malam, Mas Pat Kai, atau enaknya saya panggil Zhu Bajie saja? Mengingat itu nama jenengan yang bener. Jenengan dipanggil Pat Kai kayaknya gara-gara sinetron Kera Sakti itu dulu kan?”
“Selamat malam, Mas Rizky. Bebas mau panggil apa, Mas. Pat Kai juga nggak apa-apa. Paraban itu bikin kita makin dekat dengan umum kan. Saya itu orangnya andhap asor kok.”
“Aseeek tenan, Djarum Super mau, Mas? Enak lho udud iki.”
“Ha kene, gelem aku. Iki kopine yo nggo aku to, Mas?”
“Oh ya jelas, iki Senncoin, Mas. Enak pokoke. Saya langsung masuk saja ya, Mas?”
“Monggo, Mas.”
“Menurut Mas, babi ngepet itu ada nggak?”
“Yo nggak ada, Mas. Gawe-gawene menungso wae kui.”
“Lho, tapi agak aneh. Mas kan siluman, yang artinya, sama saja dengan babi ngepet, hantu, dan semacamnya. Kok bisa siluman bilang hantu itu nggak ada?”
“Lha aku kan tokoh fiktif yang dibuat untuk memberikan pelajaran hidup ribuan tahun yang lalu. Saya dan babi ngepet itu sama-sama tokoh fiktif, ya jelas tau lah status masing-masing. Cuman karena saya harus menegaskan status saya, saya mewujud ada untuk jenengan, Mas.”
“Ha kok saya jadi pusing ya dengerin penjelasan Mas Pat Kai?”
“Yo ojo dipikir, lanjut takok wae.”
“Anda kemarin bilang bahwa Anda tersinggung gara-gara kasus babi ini. Apa yang bikin Anda tersinggung sebenarnya?”
“Wo ya jelas saya tersinggung. Masak babi ngepet tersebut disamain dengan saya? Saya ini siluman yang menjaga Tang Sanzang mengambil Sutra ke Barat. Sun Wukong, kalau mau berantem geden, itu pasti ngajak saya. Gini-gini saya punya status yang tinggi. Saya kan jadi babi juga karena kutukan, bukan keinginan saya sendiri.”
“Sebetulnya, Anda tidak harus tersinggung. Sebagai ‘Cleanser of the Altar’—gelar yang Anda dapatkan ketika perjalanan selesai—Anda kan harusnya nggak ngurus urusan duniawi gini. Aku bener ora, Mas?”
“Wah sek, iki tetep kudu dilurusne. Ya memang itu urusan duniawi, tapi kan saya juga punya hak untuk tersinggung. Saya ini udah menerima kutukan paling asu, yaitu jadi babi…”
“Asu opo babi?”
“Sek to…”
“Shap”
“Bayangkan, aku dulunya adalah panglima gagah, ganteng, berwibawa, terus hingga akhir hayat yang tak tau kapan ini, saya harus jadi manusia separo babi. Penderitaan saya ini udah paripurna, kok ya saya dibawa-bawa ke urusan babi ngepet. Apalagi, kasus ini motifnya kepentingan pribadi.”
“Sek-sek, Mas. Rasane kok hipokrit yo, Mas. Semasa jenengan pergi ke Barat, bukannya jenengan selalu menempatkan kepentingan pribadi?”
“Nah itu bedanya, saya siluman. Pelaku rekayasa babi ngepet itu manusia, kok polahnya macam siluman? Yang rugi malah siluman beneran lagi.”
“Saya kok masih bingung jenengan ruginya di mana, ya?”
“Koe wae sing goblok, haesh. Ngene, saya kan udah damai. Saya mengabdikan diri menjadi pembersih altar, melakoni apa yang sudah digariskan buat saya. Saya nggak merugikan manusia. Lha kok saya sekarang kerep di-mention gegara kasus babi ngepet ini. Saya jelas nggak terima. Ini kan cuman ulah segelintir manusia yang cari-cari masalah, kalau kedamaian saya terusik, ya nggak terima lah ya. Manusia dari dulu kayak gitu, suka mengusik dan mengurusi yang bukan urusannya… “
“Emang siluman nggak?”
“Bukan begitu. Siluman nggak punya kode etik dan moral, lha manusia kan punya. Bagaimana bisa mereka yang punya etik dan moral malah bertindak ngawur macam siluman?”
“Wah dalem iki, koe jebul sangar ya Bung Pat Kai.”
“Lha aku je. Kamu bakal ngerti seberapa pedihnya yang saya rasakan sekarang setelah melalui penderitaan ribuan tahun. Saya pikir lagi, kok hidup saya nggak bahagia-bahagia ya. Baru tenang dikit, malah diusik oleh manusia.”
Tiba-tiba Bung Pat Kayi menitikkan air mata sembari menyulut batang kedua Djarum Super milik saya. Saya lihat lagi, ha kok tinggal dua batang. Ternyata, dia menyulut dua batang, tapi ngambil separuh lebih isi rokok saya. Taek.
“Sepertinya ini terakhir saja, Bung Pat Kai, sebelum saya tutup. Ada yang ingin disampaikan tentang ontran-ontran ini? Kalau bisa yang agak masuk. Kemarin saya wawancara Jose Mourinho, malah disuruh patuhi protokol kesehatan.”
“Kalian, manusia, ini kenapa terlalu terobsesi dengan yang namanya ketenaran dan rela berbuat apa aja demi keuntungan pribadi. Mbok ya sing tenang, sing kalem, rasah serakah. Segala bikin hoax babi ngepet segala, ini apa coba. Mbok ya belajar dari perjalanan hidup saya, demi memenuhi nafsu, harus jadi babi selamanya meski sudah dapat pencerahan. Begitulah fitnah, deritanya tiada akhir.”
“Anjir, upamane koe ra dadi babi ngono wis patut dadi musisi indie, Bung Zhu Bajie.”
“Koyo Fiersa Besari, Hindia, ngono kae?”
“Hooh.”
“Prei, nggak mau aku jadi kaumnya mereka.”
Setelah itu, saya pamit. Rasa-rasanya, saya nggak akan bisa menjalani hidup menderita, namun diterima dengan lapang hati seperti Zhu Bajie. Tapi, setelah wawancara ini, saya jadi kepikiran satu pertanyaan yang bakal mengganggu saya.
Kok bisa orang-orang di Depok saat itu percaya kalau itu babi ngepet beneran?
BACA JUGA Korupsi Bansos dan Dana Haji, Mana yang Lebih Bajingan? dan artikel Rizky Prasetya lainnya.